Membaca Arah Kurikulum Merdeka di Tingkat SMA

Kurikulum Merdeka

Kurikulum Merdeka sarat akan kebebasan yang bersifat sekuler. Hal ini dapat dilihat dari minimnya mata pelajaran pendidikan agama di sekolah. Padahal, kerangka dasar, paradigma, tujuan, dan target yang hendak diraih dari implementasi kurikulum merupakan perkara mendasar yang akan memengaruhi kemajuan peradaban suatu negara.

Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Berdasarkan hasil survei PISA (Program Asesmen Siswa Internasional), kondisi pendidikan Indonesia dari tahun 2000 hingga 2018, tidak menunjukkan perbaikan maupun peningkatan yang signifikan. Hal tersebut menjadi salah satu dasar yang membuat pemerintah merombak Kurikulum 2013 menjadi Kurikulum Merdeka melalui Kemendikbud Ristek. Akan tetapi, menurut beberapa para pakar pendidikan, penyederhanaan dan fleksibilitas dalam Kurikulum Merdeka memiliki sisi gelap yang dapat mengancam karakter generasi bangsa.

 
Memasuki tahun ajaran 2023/2024 ini, sekolah tingkat SMA akan menggunakan sistem pembelajaran Kurikulum Merdeka. Namun, salah satu pakar pendidikan, Darmaningtyas menilai bahwa Kurikulum Merdeka bersifat ribet dan tidak realistis. Menurutnya, penghapusan jurusan di tingkat SMA dan membebaskan peserta didik memilih pelajaran sesuai minat dan cita-citanya memang terkesan indah, namun berpotensi menimbulkan kendala-kendala teknis. Dikhawatirkan bahwa perombakan kurikulum hanya berkutat pada perubahan administrasi dan nomenklatur pembelajaran, tetapi tidak mengubah kualitas dan esensi proses pembelajaran (Kompas.id, 10/8/2023).

Membedah Kurikulum Merdeka

Kurikulum Merdeka diluncurkan pada 11/2/2022, dan tahun 2023 ini merupakan tahun kedua dibukanya pendaftaran implementasi dari kurikulum tersebut. Kurikulum Merdeka pada jenjang SMA diterapkan dengan kegiatan belajar yang lebih fleksibel, bebas, dan relevan, mulai dari materi pelajaran hingga alokasi waktu. Kurikulum ini juga memberikan hak otonomi atau kemerdekaan bagi peserta didik dan sekolah.

Salah satu yang paling mencolok adalah menghapus pembagian jurusan, seperti kelas Bahasa, IPA, dan IPS. Sub-sub mata pelajaran seperti Kimia, Biologi, Fisika, Geografi, Ekonomi, Sosiologi, dan lain sebagainya akan disajikan secara terintegrasi dengan menggunakan tematik atau kontekstual. Dengan begitu, peserta didik bebas memilih sendiri mata pelajaran apa yang diminati.

Pada kelas X, seorang siswa harus sudah mengetahui bakat dan passion-nya, serta ingin berkarier sebagai apa di masa depan. Misalnya, seorang siswa yang bercita-cita menjadi arsitek, maka saat di kelas XI dan XII nanti, ia cukup memilih mata pelajaran yang berhubungan dengan minatnya, seperti Fisika dan Matematika lanjutan. Ia tidak perlu lagi belajar Kimia dan Biologi atau mata pelajaran yang tidak ada hubungan dengan minatnya. Adapun untuk mengembangkan kompetensi dan karakter peserta didik, dilakukan melalui proyek keterampilan yang diminati, misalnya keterampilan kreator konten untuk membuat berbagai video sesuai tema.

Namun, cenderung membebaskan anak memilih secara mandiri apa yang ingin dipelajari, akan membuatnya malas mengerjakan tugas dari guru dengan dalih bukan “minatnya”. Kebebasan juga akan membuat peserta didik tidak terpacu untuk bersaing pada hal-hal yang positif.

Pembebasan memilih jurusan juga akan berdampak pada nasib generasi bangsa ke depan. Jika dianalisis lebih dalam, generasi muda sekarang lebih menyukai pelajaran seni, sastra, olahraga, dan materi pelajaran lain yang tidak berdampak secara langsung dalam kehidupan masyarakat. Alhasil, peserta didik kurang berminat pada pelajaran-pelajaran yang berdampak pada kemaslahatan umat, seperti pertanian, perikanan, guru, dan lain sebagainya. Pada akhirnya, negeri ini akan kekurangan ilmuwan maupun para ahli yang bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara.

Jika dilihat sekilas, Kurikulum Merdeka seolah terlihat modern karena konsepnya mengikuti negara-negara maju, seperti Finlandia dan Amerika. Namun, perlu diketahui bahwa variabel SDM yang ada di Indonesia sering berganti, sehingga tradisi “ganti Menteri Pendidikan, ganti kurikulum” akan berpengaruh pada sistem pendidikan. Seringnya berganti menteri dan berganti kebijakan, tak menuntut kemungkinan bahwa kurikulum merdeka akan bernasib sama dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya, yakni diganti sebelum mengalami kematangan.

Merdeka Sama dengan Bebas?

Kurikulum merupakan bagian dari sistem pendidikan, sehingga penerapannya otomatis akan mengikuti hukum yang berlaku di negara tersebut. Jika dicermati, Kurikulum Merdeka sarat akan kebebasan yang bersifat sekuler. Hal ini dapat dilihat dari minimnya mata pelajaran pendidikan agama di sekolah. Padahal,kerangka dasar, paradigma, tujuan, dan target  yang hendak diraih dari implementasi kurikulum merupakan perkara mendasar yang akan memengaruhi kemajuan peradaban suatu negara.

Kebebasan tanpa pemahaman agama, apalagi hanya bertumpu pada minat siswa akan berpotensi masuknya pembelajaran nirfaedah di sekolah. Alhasil, sekolah tidak hanya menjadi tempat transfer keahlian, namun juga sebagai tempat penanaman budaya yang jauh dari nilai-nilai agama.  Lebih dari itu, sekolah berpeluang sebagai wadah masuknya budaya dan ideologi asing. Tentu saja, ruh kebebasan dalam sistem pendidikan berpotensi membajak generasi muda demi melanggengkan eksistensi peradaban Barat.

Jika demikian, hadirnya Kurikulum Merdeka hanya akan membentuk generasi muda yang kapitalistik atau mengedepankan manfaat materi. Inilah yang menjadi bahayanya, dunia pendidikan tidak mampu menghasilkan generasi muda yang dapat membantu masyarakat dalam menemukan solusi terhadap berbagai persoalan bangsa. 

Standar keberhasilan kurikulum hanya berfokus pada materi esensial sesuai penilaian PISA, yang menjadikan materi sebagai standar keberhasilan pendidikan. Akhirnya, pola pendidikan hanya menyesuaikan proses industrialisasi, dan generasi bangsa dipersiapkan sebagai tenaga produktif yang dijual dalam bursa kerja. Tentu saja, hal ini akan membentuk generasi bangsa yang berwatak sekularis, hedonis, individualis, dan pragmatis.

Perlu diketahui bahwa sebagus apa pun kebijakan pendidikan, namun selama tidak bermuara pada pemenuhan hak pendidikan yang memadai bagi seluruh warga negara, tetap tidak akan mampu membangun peradaban bangsa yang unggul. Pendidikan yang seharusnya menjadi solusi, justru menimbulkan persoalan lain, seperti persoalan biaya, lingkungan, sarana dan prasarana yang tidak memadai, serta kesejahteraan guru yang sering diabaikan negara. Sayangnya, minimnya peran negara terhadap pelayanan pendidikan masih menimpa implementasi kurikulum baru ini. 

Maka dapat dipastikan, keberhasilan Kurikulum Merdeka hanya bersifat konseptual dan kebahagiaan peserta didik maupun guru hanya sebatas penampakan di permukaan. Walaupun secara teknis memang terdapat perbedaan dengan kurikulum sebelumnya, terutama terkait model pembelajaran berbasis proyek yang lebih dinamis. Namun, kehadiran kurikulum baru sejatinya tidak bisa menghilangkan kelemahan mendasar yang ada di balik sistem pendidikan kapitalisme. Ujung-ujungnya pendidikan akan mengikuti logika kapitalisme, di mana ilmu pengetahuan hanya beredar di kalangan orang kaya saja.

Arah Pendidikan Islam

Pendidikan dan negara adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, di mana kurikulum  didesain untuk mengokohkan sistem negara yang ada. Jika negaranya sekuler maka sistem pendidikannya akan dirancang untuk mengokohkan sekularisme. Ironisnya, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, justru menjadikan sekularisme sebagai asas negaranya, tak terkecuali sistem pendidikannya. Alhasil, generasi muslim tidak akan mampu meraih ketakwaan yang totalitas kepada Allah Swt.

Dalam Islam, tujuan dasar dari pendidikan Islam adalah membangun kepribadian Islam dan penguasaan ilmu kehidupan demi kemaslahatan umat. Sehingga, output dari pendidikan Islam adalah menghasilkan peserta didik yang kokoh keimanannya, pemikirannya mendalam, dan mampu menghubungkan ilmu pengetahuan dengan hukum Allah. Dampaknya, peserta didik akan menjadi agen yang mampu memecahkan problem kehidupan, sekaligus mampu menegakkan amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, negara akan menyusun kurikulum pendidikan formal yang berlandaskan akidah Islam. Sekolah negeri maupun swasta hanya akan menetapkan kurikulum yang ditentukan oleh negara. Pada jenjang pendidikan usia balig, peserta didik akan mempelajari bahasa Arab, syakhshiyah Islam, matematika, komputer, sains, teknologi, dan  aneka keterampilan lain. Pada tingkat ini, sekolah akan menyediakan berbagai program pembelajaran khusus, seperti pertanian, perdagangan, materi kerumahtanggaan (khusus perempuan), dan lain sebagainya. 

Materi pelajaran yang berhubungan langsung dengan pembentukan kepribadian Islam, seperti bahasa Arab dan tsaqofah Islam akan diajarkan di setiap tahapan dengan porsi waktu yang lebih besar. Adapun keterampilan dan seni yang bertentangan dengan Islam tidak akan diajarkan. Oleh karena itu, tenaga didik haruslah berkualitas, amanah, berkompeten, mampu menjadi teladan, dan memiliki etos kerja yang baik. Selain itu, negara juga wajib memberikan pendidikan berkelanjutan yang berkualitas, tunjangan, dan jaminan kesejahteraan bagi para pendidik. Khilafah juga berkewajiban membangun sarana dan prasarana belajar seperti perpustakaan, laboratorium, asrama, pusat kajian, dan lain sebagainya. Dengan begitu, di dalam sistem Islam meniscayakan lahirnya ulama mujtahid dan para ahli yang menghasilkan karya inovasi.

Kurikulum pendidikan Islam terbukti berhasil menghasilkan peradaban cemerlang yang ditandai dengan banyaknya lembaga-lembaga pendidikan Islam, lahirnya ulama, dan ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu. Beberapa lembaga Islam menjadi mercusuar peradaban dan rujukan dunia, seperti Nizhamiyah (1067-1401 M) di Baghdad, Al-Azhar (975 M hingga sekarang) di Mesir, Al-Qarawiyyin (859 M-sekarang) di Fez, dan masih banyak lagi. Lembaga pendidikan Islam pun sering menerima para siswa dari Barat, seperti Paus Sylvester II yang sempat menimba ilmu di Universitas Al-Qarawiyyin. Montgomery Watt, seorang Cendekiawan Barat menyatakan bahwa peradaban Eropa bukanlah apa-apa tanpa peradaban Islam.

“Barang siapa yang mempelajari ilmu yang dengannya dapat memperoleh keridaan Allah Swt., (tetapi) ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan kesenangan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan harumnya surga di hari kiamat nanti.” (HR. Abu Daud)

Sistem pendidikan Islam yang mengintegrasikan pembelajaran dan kesadaran belajar sebagai perintah Allah Swt., terbukti banyak melahirkan ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu. Di bidang kedokteran ada Ibnu Sina, az-Zahrawi, dan Ibnu Rusyd. Pakar fisika dan penggagas optika, Ibnu Al-Haitsam. Pakar kimia dan penggagas karakterisasi unsur logam dan nonlogam, Jabir Ibn Hayyan. Selain mereka, masih banyak lagi para ilmuwan muslim yang hasil temuannya bisa dinikmati hingga saat ini. Semua ini membuktikan bahwa dalam sistem pemerintahan Islam, peserta didik dan para pendidik bertujuan memberikan kemaslahatan yang besar bagi umat demi meraih rida Allah Swt. Wallahu a’lam bishawwab 

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Muthiah Al Fath Salah satu Penulis Tim Inti NarasiPost.Com. Pemenang Challenge NP dengan reward Laptop 256 GB, penulis solo Meraki Literasi dan puluhan buku antologi NarasiPost.Com
Previous
Antara Aku, Mom Andrea, dan Jejak Literasiku
Next
Tak Lelah Meraih Kesempurnaan
4.7 3 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

9 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Hanimatul Umah
Hanimatul Umah
1 year ago

Kurikulum merdeka tapi sesungguhnya tak merdeka. Anak dipaksa mengikuti, namun aqidah mereka rapuh, karena sistem pendidikan yg sekuler.

Novianti
Novianti
1 year ago

Kurikulum merdeka demi kepentingan politik. Untuk meloloskan agenda besar yaitu moderasi beragama. Nampak dalam muatan2 materinya. Membentuk karakter adalah perbincangan tak pernah usai jika bongkar pasang kurikulum tidak berdasarkan akidah Islam

CY KA
CY KA
1 year ago

Mencontoh kok ya, tanggung amat. Sistem pendidikan kapitalisme baru eksis brp lama, itu pun banyak kelemahan di sana-sini. Kenapa enggak nyontoh yg sdh jelas eksis 14 abad dan terbukti berhasil mencetak generasi2 cerdas, bertakwa, karyanya berguna hingga saat ini bagi umat manusia.

Sartika Rempaka
1 year ago

Betul nih, semua orang dibuat pusing dengan kurikulum yang terus berganti, dari guru, murid, termasuk orang tua. Sering bergantinya kurikulum pendidikan sebenarnya menunjukkan kalau negeri ini tidak punya metode baku untuk sistem pendidikannya. Meski kurikulum berganti setiap ganti Menteri Pendidikan, tapi output anak-anak didiknya juga tetap memprihatinkan karena menghilangkan agama dari pendidikan.

diadwi arista
diadwi arista
1 year ago

Para pelajar akan dibentuk sebagai pelajar yang kreatif, bebas, tanpa kekangan atau beban. Namun, cara berpikir dan bertingkah laku yang didasari sekularisme dan liberalisme tentu akan jauh dari agama. Yang ada, akan banyak kerusakan.

Asma Faoriyah
Asma Faoriyah
1 year ago

Kurikulum yang sering kali berganti membuat para pendidik sibuk menyesuaikan diri, dan tak jarang berbagai kendala dan berbagai akibat dari pergantian praktek mendidik di lapangan kurang mendapat perhatian.

bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram