Wacana Dwifungsi TNI: Solusi atau Mencari ‘Kursi’?

”Jika pemerintah menyetujui revisi UU TNI, maka bukan mustahil sejarah dwifungsi militer kembali berulang. Bukan mustahil pula jika negeri ini akan menjadi era Orde Baru jilid 2.”

Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan pilar pokok untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari berbagai ancaman. Namun, apa jadinya jika profesionalitas TNI kini kembali diusik.

Setelah 24 tahun gerakan reformasi berlalu, para elite militer kembali menginginkan agar TNI aktif dapat menduduki jabatan sipil. Terang saja usulan tersebut menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak. Bukan tanpa alasan, kekhawatiran tersebut berkaitan dengan kisah getir masa lalu ketika tentara ikut campur dalam mengatur permasalahan sipil di negeri ini.

Usulan tersebut dikemukakan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, dalam acara Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat, pada Jumat, 5 Agustus 2022. Luhut mengusulkan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) untuk mengatur penempatan tentara di jabatan-jabatan kementerian.

Luhut menilai, undang-undang yang ada saat ini telah membatasi peran tentara di berbagai kementerian. Dia pun mencontohkan jika lembaga yang dipimpinnya tidak bisa diisi oleh tentara. Menurutnya lagi, apabila perwira aktif bisa bertugas di kementerian ataupun lembaga, maka TNI-AD akan lebih efisien. Sebab, para perwira tingginya tidak perlu berebut jabatan karena bisa berkarier di luar institusi militer. (Tempo.co, 08/08/2022)

Mengapa isu dwifungsi militer kembali muncul ke permukaan, padahal telah lama dibubarkan? Apa dampak pemberlakuan dwifungsi militer? Benarkah wacana tersebut demi mencari solusi atau justru sebagai ajang bagi-bagi ‘kursi’? Lantas, bagaimana pandangan Islam tentang peran militer?

Awal Mula Munculnya Dwifungsi Militer

Unsur angkatan perang RI dahulu bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Kemudian sejak Oktober 1971, unsur angkatan perang pada ABRI berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Nama TNI pun masih digunakan hingga saat ini. Dalam sebuah jurnal yang bertajuk “Konsep Dwifungsi ABRI dan Perannya di Masa Pemerintahan Orde Baru Tahun 1965-1998”, disebutkan bahwa awal mula munculnya konsep dwifungsi ABRI dicetuskan oleh Abdul Haris Nasution pada 12 November 1958. Tepatnya saat peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN). (Kompas.com, 19/03/2021)

Dwifungsi ABRI berlandaskan pada ketetapan MPRS No. II Tahun 1969. Sesuai dengan namanya, dwifungsi atau dua fungsi, menunjukkan jika ABRI memiliki dua fungsi yang berbeda. Yakni fungsi untuk bertempur dan membina wilayah atau masyarakat. Munculnya ide ini dilatarbelakangi oleh semangat nasionalisme yang tinggi dari para perwira anggota ABRI. Dengan tujuan untuk menyelamatkan bangsa, mereka merasa perlu melibatkan diri dalam urusan politik.

Singkatnya, ABRI memiliki fungsi sebagai kekuatan militer dan pengatur pemerintahan negara. Dwifungsi ABRI berada di puncak kejayaannya di tahun 1990-an saat berada di bawah kabinet Soeharto. Saat itu, banyak peran-peran penting di pemerintahan dipegang oleh anggota ABRI. Mulai dari jabatan bupati, wali kota, duta besar, pimpinan perusahaan milik negara, pemerintah provinsi, peradilan, dan lainnya.

Surplus di Tubuh TNI

Persoalan militer seperti tidak pernah usai dari perbincangan publik sejak rezim Soekarno, Soeharto, hingga di era Reformasi. Beberapa hal yang masih menjadi topik pembicaraan adalah tentang surplusnya perwira di tubuh TNI, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dan perilaku represif militer. Misalnya tentang surplusnya perwira TNI yang hingga akhir 2018 saja, masih menjadi satu dari sekian permasalahan yang menjerat negeri ini.

Pasalnya, para perwira berbintang yang tidak memiliki jabatan ada sekitar 150 orang, sedangkan kolonel tanpa jabatan berjumlah 500 orang yang seluruhnya tersebar di matra darat, laut, dan udara (BBC, 2019). Untuk mengatasi surplus perwira dan kolonel aktif, pemerintah memberikan berbagai jabatan dan menambah jangka waktu pensiun para perwira tersebut. Tak hanya itu, sebagian mereka bahkan ada yang ditempatkan pada lembaga/kementerian (L/K) sebagai ASN. Sayangnya, upaya tersebut belum berdampak signifikan, apalagi menyelesaikan permasalahan di tubuh TNI. Persoalan inilah yang kemudian memicu munculnya wacana dwifungsi TNI sebagaimana yang terjadi pada era rezim Soeharto.

Pemerintah pun mengeklaim bahwa pelibatan tentara di kelembagaan atau kementerian adalah wujud demokratisasi. Wacana ini pun kian menguat dengan dikeluarkannya Perpres Nomor 37 Tahun 2019 dan wacana revisi UU TNI. Revisi tersebut disinyalir menjadi celah kembalinya peran militer ke institusi sipil. Sebagian pihak bahkan menilai, Perpres tersebut hanya mengakomodasi praktik bagi-bagi jabatan para perwira tinggi non-job yang justru akan menimbulkan permasalahan baru.

Dampak Penerapan Dwifungsi Militer

Kekhawatiran sebagian pihak akan kembalinya peran militer ke institusi sipil, bukan tanpa alasan. Hal ini terkait dengan sejarah pahit masa lalu ketika militer ikut campur mengurusi persoalan sipil. Sebut saja di era Orde Baru, di mana militer saat itu tak hanya berperan dalam bidang pertahanan, tetapi telah masuk ke ranah sipil, ekonomi, dan politik. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, pemerintah sering kali menggunakan pendekatan militeristis ketika menyelesaikan persoalan sipil.

Keterlibatan militerisme paling sempurna adalah timbulnya sikap otoriter yang terwujud dalam bentuk kekerasan terhadap masyarakat sipil. Sebut saja berbagai konflik antara sipil dan negara yang terjadi karena ketidakpuasan masyarakat, justru diselesaikan dengan cara kekerasan yakni pengerahan militer. Sebagaimana yang terjadi pada peristiwa Malari, Talangsari, dan Tanjung Priok.

Selain terjun di ranah sosial dan politik, militer juga berkuasa di sektor ekonomi. Sekitar tahun 1950-an tepatnya di awal kemerdekaan, karakter bisnis di tubuh tentara Indonesia telah bersarang (Crouch, 1999). Bahkan, menurut Julianto Ibrahim (2012), konsep dwifungsi militer di era Orde Baru telah membinasakan jiwa enterpreneurship rakyat sipil. Hal ini disebabkan militer dengan pangkat dan senjatanya mempunyai kedudukan atau daya tawar yang kuat di hadapan para pengusaha maupun militer lain yang saat itu menjabat sebagai kapitalis birokrat.

Solusi atau Mencari ‘Kursi’?

Jika pemerintah menyetujui revisi UU TNI, maka bukan mustahil sejarah dwifungsi militer kembali berulang. Bukan mustahil pula jika negeri ini akan menjadi era Orde Baru jilid 2. Padahal, adanya keterlibatan militer di institusi sipil sangat berpotensi mengembalikan fungsi kekaryaan TNI yang dahulu berasal dari doktrin dwifungsi ABRI. Sedangkan dwifungsi ABRI telah dihapus dalam gerakan Reformasi 1998. Ini artinya, upaya mengembalikan dwifungsi militer telah mencederai semangat Reformasi 1998. Salah satu tuntutan pembubaran dwifungsi militer saat itu adalah untuk mengembalikan profesionalitas TNI sebagai aparat pertahanan negara.

Munculnya wacana revisi UU TNI justru memunculkan kecurigaan lainnya. Apabila menilik kebijakan penguasa dalam sistem demokrasi yang cenderung membela kepentingan segelintir orang, bukan tidak mungkin bahwa revisi tersebut hanya dalih agar militer kembali menduduki posisi di lembaga atau kementerian. Lihat saja bagaimana selama ini penguasa tak segan mengutak-atik undang-undang demi memuluskan berbagai kepentingannya.

Padahal, ikut campurnya tentara dalam menyelesaikan permasalahan di lembaga sipil, tidak menjadi jaminan akan menyelesaikan persoalan. Apalagi tentara hakikatnya dilatih untuk menjaga kedaulatan dan keamanan negara, bukan menyelesaikan permasalahan yang terjadi di kementerian atau lembaga sipil.

Banyak fakta menunjukkan bahwa pelibatan tentara dalam pekerjaan sipil justru berakhir dengan kegagalan. Misalnya saja proyek lumbung pangan di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Proyek lumbung pangan (singkong) yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto itu justru gagal mencapai target. Tak hanya mengalami kegagalan, proyek food estate yang telah menghabiskan ratusan hektare lahan tersebut telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan mengundang bencana banjir secara berkala.

Militer dalam Islam

Hadirnya Islam di tengah karut-marutnya sistem kehidupan saat ini adalah solusi bagi semua manusia. Sebab, Islam adalah agama paripurna yang menyelesaikan seluruh persoalan hidup dari yang mudah hingga berat, dari urusan individu hingga negara, termasuk di dalamnya mengatur peran militer.

Dalam Islam, semua hal yang berkaitan dengan angkatan bersenjata (militer) berada di bawah Departemen Peperangan (Da’irah al-Harbiyah). Seperti pasukan, persenjataan, peralatan, amunisi, logistik, akademi-akademi militer, misi-misi militer, serta pemikiran Islam dan pengetahuan umum yang dibutuhkan tentara. Selain itu, departemen ini juga menangani segala hal yang berkaitan dengan peperangan dan persiapannya. Juga berwenang menyebarkan mata-mata atau intel untuk memata-matai kaum kafir harbi, serta membentuk lembaga intelijen.

Selain menjadi penjaga keamanan dan pertahanan, tentara Islam memiliki misi mulia yakni turut menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan jihad. Hanya saja, peperangan dalam Islam bukan menjadi ajang kekuatan negara untuk menguasai dan menjajah bangsa lain. Perang dilakukan oleh kaum muslimin semata-mata untuk memenuhi seruan jihad yang diperintahkan Allah Swt. dan merupakan salah satu metode untuk mengemban dakwah Islam yang akan menghilangkan halangan fisik.

Halangan fisik tersebut yakni adanya penguasa zalim yang menutup rakyatnya dari keberkahan cahaya Islam. Kewajiban tersebut tertuang dalam surah At-Taubah ayat 29, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian; mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya ….”

Sementara itu, pasukan militer dalam Islam diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Pertama, pasukan cadangan. Yakni setiap muslim yang mampu mengangkat senjata untuk berperang. Artinya, siapa pun dari kalangan kaum muslimin yang telah memenuhi syarat, maka dia wajib ikut berjihad.

Kedua, pasukan reguler. Yaitu seseorang yang kontinu menjadi anggota tentara dan diberi gaji sebagaimana pegawai negeri lainnya dalam Daulah Islam. Pasukan reguler merupakan tentara inti yang akan selalu siap sedia untuk terjun ke medan perang, kapan pun panggilan jihad diberikan.

Dalam catatan sejarah di masa lalu, negara Islam di bawah naungan Khilafah pernah menjadi negara adidaya yang diakui kehebatan pasukan militernya. Dalam buku ”Art of War” karya seorang sarjana bernama Charles Oman, disebutkan bahwa dua hal yang membuat orang-orang Islam yang dipanggil dengan sebutan Saracen pada abad ke-10 dan menjadi musuh berbahaya, terletak pada jumlah dan mesin perang yang luar biasa. Pengakuan serupa juga terungkap dalam sebuah naskah tentang taktik perang yang dihubungkan dengan Raja Leo VI (886-912 M). Menurutnya, dari semua bangsa, orang-orang Islam adalah yang paling baik dan paling hebat dalam taktik militernya.

Khatimah

Demikianlah Islam telah menempatkan segala sesuatu sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Sebagaimana Islam telah menetapkan peran militer, yakni sebagai penjaga negara dari berbagai ancaman musuh-musuh Islam, serta menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan jihad. Peran tersebut tak bisa diutak-atik hanya demi kepentingan segelintir pihak.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Palestina di Titik Nadir
Next
Viral Ilmu Hitam, Putih, Merah: Pendangkalan Akidah Umat melalui Trik Perdukunan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram