"Islam dengan tegas mengharamkan aksi penyerangan fisik dalam bentuk apa pun, sementara status orang yang diserang adalah berstatus ma’shum ad-dam (darahnya harus dijaga). Islam juga mengharamkan perusakan fasilitas negara, publik maupun milik pribadi. Lebih jauh, Islam telah menetapkan sanksi yang berat kepada pelaku teror tersebut."
Oleh. Trisnawati, S.Kom
(Kontributor NarasiPost.com)
NarasiPost.Com- Isu terorisme kembali mencuat, Datasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror dikabarkan berhasil menangkap 15 orang terduga teroris jaringan Jemaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di berbagai wilayah di Aceh. Berdasarkan keterangan Kabid Humas Polda Aceh Kombes Winardy dalam jumpa persnya mengatakan, salah satu terduga teroris yang ditangkap adalah ISA (37). Ia disebut menjadi ketua Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKPP) sekaligus merupakan koordinator teroris wilayah Aceh yang memiliki peranan penting dalam jaringan JI. (detik.com, 4/8/2022)
Dilansir dari solopos.com, sudah sejak lama organisasi JI dituduh menjadi dalang di balik serangkaian teror di Indonesia. Kabarnya JI merupakan organisasi militan Islam yang dibentuk di Malaysia pada akhir tahun 1980-an oleh sekelompok kaum ekstremis Indonesia. Kemudian kelompok ini tersebar di wilayah Asia Tenggara.
Menurut info yang beredar, pada awal kemunculannya JI menggunakan jalan damai dalam meraih tujuan mereka, yaitu mendirikan negara Islam raksasa di Asia Tenggara. Namun, pada pertengahan tahun 1990-an, JI dilaporkan mengambil jalan kekerasan untuk mencapai tujuan.
Berbicara mengenai organisasi JI, tentu masih hangat dalam ingatan kita sosok dokter Sunardi yang ditembak mati oleh Densus 88 anti teror di Sukoharjo karena dinilai membahayakan petugas dan mayarakat. Sunardi disebut sebagai petinggi kelompok Hilal Amhar Societi Indonesia (HASI) dan JI.
Berbanding terbalik dengan tuduhan Densus 88, Sunardi justru di senangi masyarakat sekitar karena kepribadiannya yang baik dan dermawan. Saat itu banyak pihak tidak percaya bahwa sosok dokter sederhana yang menggratiskan pengobatan pasien di kliniknya adalah seorang terduga teroris.
Stigmatisasi dan Teroris Sebenarnya
"Apa pun alasannya, semua ajaran agama menolak aksi teror. Jadi, aksi terorisme tidak bisa berlindung di balik agama." Demikian kutipan pernyataan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko saat memberikan sambutan pada peluncuran buku The Power Of Forgiveness: Memoar Korban Bom JW Marriot dan peringatan 19 tahun tragedi JW Marriot 2003. (Republika.co.id,6/8/2022
Meskipun pernyataan tersebut benar adanya, namun jika dilihat dengan cermat pernyataan tersebut tidaklah sesuai dengan persepsi yang dibangun di tengah-tengah masyarakat. Arti terorisme sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), secara umum diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik).
Maraknya aksi terorisme di berbagai negara khususnya Indonesia, telah menimbulkan stigma negatif bagi umat Islam. Sebab, selain pelakunya beragama Islam juga konon perbuatan teror tersebut sebagai wujud jihad fii sabilillah, perjuangan mendirikan negara Islam, melawan ketidak adilan dan penindasan yang dilakukan oleh kekuatan asing Barat, terutama Amerika.
Hal ini diperkuat dengan peristiwa 11 September 2001 yang menggemparkan dunia. Gedung kembar The Word Trade Center di New York runtuh akibat serangan teroris yang menurut dugaan dirancang oleh Usamah bin Ladin dan di klaim dilaksanakan oleh anggota al-Qaeda. Atas peristiwa tersebut muncullah kecenderungan mereduksi, terorisme seakan diidentikkan dengan Islam. Setiap orang yang menyebut kata terorisme, maka yang ada di benak adalah al-Qaeda, Usamah bin Ladin dan “para teroris muslim” lainnya.
Padahal, menurut mantan tentara Angkatan Udara Amerika, Jerry D. Gray dalam bukunya 911: The Real Truth memaparkan bahwasanya ada fakta-fakta yang tidak dapat disembunyikan. Adalah pemerintah Amerika Serikat (AS) yang melakukan serangan 911, yang didasari oleh kebohongan dan kecurangan, bukan Usamah bin Ladin, al-Qaeda, ataupun Islam. Tetapi Islam yang disalahkan karena (diduga) memiliki keyakinan yang radikal dan menolak pendidikan ala Barat.https://narasipost.com/2021/12/17/narasi-teroris-menjegal-para-aktivis/
Dari sini kita dapat melihat, Barat menggunakan berbagai cara untuk memerangi Islam termasuk membuat “drama” terorisme yang sebenarnya mereka sendirilah teroris sesungguhnya. Amerika telah melakukan banyak kejahatan kemanusiaan, namun luput dari pantauan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang di gadang-gadang sebagai polisi dunia.
Jerry D. Gray dalam bukunya yang lain Demokrasi Barbar ala Amerika mengatakan bahwa PBB bukanlah sebuah institusi yang mendukung dan berjuang untuk keamanan dan stabilitas dunia, melainkan sebuah organisasi yang dapat disebut sebagai sebuah organisasi “teroris” terbesar di dunia. Mengapa? Karena mereka mendukung kejahatan yang dilakukan oleh AS dan sekutunya dengan tidak melakukan apa pun. Mereka hanya membantu apa-apa yang menjadi kepentingan AS di bawah topeng organisasi kemanusiaan.
Terorisme dan Upaya Penegakan Negara Islam
Isu terorisme saat ini secara terang-terangan disematkan kepada upaya untuk mendirikan negara Islam. Menurut informasi yang beredar, konon para pelaku yang ditembak mati di tempat maupun yang ditangkap di berbagai wilayah Indonesia, mereka sedang berupaya memperjuangkan berdirinya kembali negara Islam.
Tentu informasi-informasi tersebut harus dicek kebenarannya. Pertama, karena seluruh berita mengenai terorisme bersumber dari satu pihak, yaitu aparat keamanan. Kedua, kalaupun informasi tersebut bersumber dari tersangka terorisme atau yang mengaku mantan terorisme, tetap harus dicek kebenarannya. Bisa saja mereka dalam kondisi di bawah tekanan atau mengikuti arahan skenario yang telah dibuat. Tujuannya, tentu untuk menghalangi gerakan Islam yang menginginkan kembali tegaknya syariat Islam dalam bingkai Khilafah. Ketiga, jika benar ada yang menginginkan berdirinya negara Islam, namun dengan cara-cara teror dan kekerasan. Maka, tindakan ini bukan saja bertentangan dengan Islam, namun juga menyalahi hukum, politik dan strategi.
Islam dengan tegas mengharamkan aksi penyerangan fisik dalam bentuk apa pun, sementara status orang yang diserang adalah berstatus ma’shum ad-dam (darahnya harus dijaga). Islam juga mengharamkan perusakan fasilitas negara, publik maupun milik pribadi. Lebih jauh, Islam telah menetapkan sanksi yang berat kepada pelaku teror tersebut.
Selain itu, aksi terorisme juga salah dari segi politik dan strategi. Disadur dari buku Peradaban Emas Khilafah Islamiyah karya KH. Hafidz Abdurrahman, MA dalam bab “Terorisme dan negara Islam”. Aksi fisik dan kekerasan tidak pernah mampu mewujudkan tujuannya. Adanya aksi-aksi tersebut dilakukan karena tidak sabar dengan perjuangan secara intelektual dan politik. Alih-alih menyatukan umat, antipati yang didapat, sehingga dukungan dan simpati umat pun sangat sulit diperoleh.https://narasipost.com/2020/12/29/terorisme-agenda-islamophobia-umat-butuh-khilafah/
Dalam aspek strategi, tindakan dengan teror dan kekerasan juga salah. Aksi-aksi semacam ini akan sangat mudah dipatahkan, bahkan ditumpas habis sampai akarnya. Sebagai contoh, aksi ekstremis PKI yang menebar teror dan kekerasan. Aksi ini dengan mudah di patahkan dan ditumpas habis melalui dukungan dan simpati rakyat.
Khatimah
Dengan demikian, aksi terorisme bukanlah ajaran Islam, bukan pula jalan meraih tujuan mendirikan Negara Islam, melainkan “drama” yang dimainkan para pembenci Islam yang tidak menginginkan kembalinya peradaban Islam.
Sebagaimana firman Allah Swt.: “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya." (QS. Ash-Shaf:8)
Kalaupun jika ada kelompok yang benar-benar menginginkan kembali tegaknya syariat Islam namun dengan cara kekerasan, sebaiknya dikaji ulang tujuan, politik dan strateginya. Rasulullah saw. adalah sebaik-baiknya panutan. Untuk kembali mendirikan Negara Islam warisan Nabi haruslah dengan metode yang sama, seperti yang telah ditempuh Rasulullah saw, yakni metode politik dan intelektualitas. Dimulai dengan membina beberapa orang sampai matang, kemudian membentuk kelompok dakwah yang diikat dengan pemikiran, hukum dan pandangan. Lalu, dengan kelompok itu berjuang di tengah-tengah masyarakat dengan mengemban ideologi Islam. Pada akhirnya Allah memenangkan perjuangan Rasulullah dengan dukungan dari masyarakat dan orang-orang yang memiliki pengaruh/ kekuasaan. Wallahu’alam bishowab[]