"Dalam kondisi minimnya daya dukung APBN, pemerintah seharusnya bisa lebih bijak mengalokasikan semua sumber daya dengan adil dan efisien. Jangan sampai hanya demi prestise, negara akan terjebak pada proyek mercusuar, sedangkan kebutuhan mendasar masyarakat tidak terpenuhi. Karut-marutnya pembangunan KCJB justru menunjukkan tidak profesionalnya perencanaan proyek dan estimasi biaya pemerintah dan BUMN."
Oleh. Sartinah
(Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-"Sudah jatuh tertimpa tangga". Peribahasa tersebut tampaknya sesuai untuk menggambarkan bagaimana nasib pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Proyek prestisius yang sejak awal menuai pro dan kontra tersebut, tak henti diterpa masalah. Salah satu masalah utamanya adalah pembiayaan yang disebut-sebut mengalami pembengkakan berkali lipat.
KCJB yang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN), adalah proyek investasi antara konsorsium Indonesia dan Cina melalui PT Kereta Cepat Indonesia-Cina (KCIC). Proyek tersebut didanai oleh pinjaman dari Cina Development Bank (CDB). Proyek yang sejak awal digadang-gadang tidak akan menyedot APBN dan hanya menjadi proyek bussines to bussines, justru meleset dari perkiraan. Bahkan, KCJB sampai disebut sebagai proyek "kecebong" alias kereta cepat bohong-bohongan oleh politikus Partai Demokrat, Roy Suryo, lantaran tak menunjukkan progress signifikan setelah hampir dua tahun groundbreaking.
Mengapa megaproyek yang diprediksi selesai pada 2019 silam, justru molor proses pengerjaannya hingga kini? Apa konsekuensi nyata dari kerja sama dengan negara kapitalis asing? Bagaimana pula pandangan Islam terkait pembiayaan infrastruktur?
Alasan Pembengkakan
Proyek prestisius yang menelan dana fantastis tersebut sebenarnya telah lama diinisiasi pembangunannya. Proyek yang awalnya dipelajari pembangunannya oleh Jepang, akhirnya jatuh ke tangan Cina. Mirisnya, proyek yang awalnya disepakati selesai pada 2019, kemudian molor menjadi tahun 2022 dan belakangan molor kembali hingga 2023. Molornya pengerjaan tersebut pun membuat biaya membengkak bahkan hingga tiga kali lipat.
Proyek KCJB awalnya diestimasikan hanya menghabiskan biaya US$5,5 miliar, kemudian membengkak menjadi US$5,8 miliar, hingga melonjak lagi menjadi US$6,07 miliar, dengan target pembangunan selesai pada 2019. Pada perkembangan terbaru, proyek tersebut diprediksi kembali terjadi pembengkakan sebesar US$1,176-1,9 miliar, menjadi maksimal US$7,97 miliar. Bahkan, Juru Bicara Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian, Alia Karenina, menyebut bahwa biaya proyek KCJB diperkirakan akan mengalami pembengkakan hingga US$16,8 triliun. (Detik.com, 01/08/2022)
Terkait membengkaknya dana pembangunan KCJB tersebut, Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia-Cina (KCIC) Dwiyana Slamet, mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang disebut menjadi pemicu, di antaranya:
Pertama, adanya rencana integrasi moda kereta cepat dengan trasportasi lainnya seperti LRT Jabodetabek. Hal itu dinilai turut memicu terjadinya pembengkakan biaya. Dwiyana mengatakan, awalnya tidak ada niat membangun stasiun integrasi kereta cepat dengan moda lain. Namun, dalam perjalanannya pemerintah dan KCIC merasa perlu membangun stasiun integrasi lain. Pembangunan tersebut mengakibatkan terjadinya cost overrun (pembengkakan biaya).
Kedua, adanya penambahan biaya investasi dalam rangka penggunaan jaringan telekomunikasi khusus demi kelancaran perjalanan, kenyamanan, dan keamanan, dalam menggunakan kereta api atau GSM-R.
Ketiga, adanya kondisi geologis yang turut menghambat paket proyek terowongan sepanjang 1.050 meter. Proyek terowongan tersebut dibangun di tanah lempung sehingga mengurangi daya dukung tanah sampai delapan puluh persen.
Keempat, adanya pengadaan lahan dan relokasi. Proses tersebut menghabiskan porsi cukup besar yang membuat biaya membengkak sekaligus waktu pembangunan, juga ditengarai terus naiknya harga lahan.
Inkonsistensi Akad Awal
Presiden Joko Widodo pernah menyatakan bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung tidak akan dibiayai oleh APBN. Proyek tersebut murni menggunakan dana investasi dan pinjaman, tanpa jaminan pemerintah. Pernyataan tersebut diungkapkan Jokowi di lokasi groundbreaking saat peresmian proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung pada 2016 lalu.
Sayangnya, dalam proses pengerjaannya ternyata tidak berjalan sesuai ekspektasi. Biaya pembangunan membengkak berlipat-lipat, hingga pihak Cina pun meminta pemerintah menambal pembengkakan tersebut. Demi melegalkan pengucuran dana dari APBN untuk proyek KCJB, pada Oktober 2021 lalu, Presiden Jokowi meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Sarana dan Prasarana Kereta Cepat Jakarta dan Bandung.
Dalam beleid tersebut terdapat beberapa perubahan kebijakan. Misalnya saja tentang pendanaan proyek KCJB yang pada awalnya tidak akan dibiayai APBN dan murni dari bussines to bussines, tetapi belakangan akad itu berubah. Melalui Perpres tersebut, APBN akan ikut membiayai proyek KCJB. Meski permintaan untuk ikut menambal biaya proyek tersebut masih dibahas hingga kini, tetapi jika dalam pembahasannya dianggap wajar, niscaya pemerintah akan menyetujuinya. Hal itu diungkapkan oleh Juru Bicara Kemenko Perekonomian, Alia Karenina.
Padahal, jika menengok kondisi keuangan negara yang sangat terbatas, biaya pembengkakan tersebut akan sangat membebani APBN. Dalam kondisi minimnya daya dukung APBN, pemerintah seharusnya bisa lebih bijak mengalokasikan semua sumber daya dengan adil dan efisien. Jangan sampai hanya demi prestise, negara akan terjebak pada proyek mercusuar, sedangkan kebutuhan mendasar masyarakat tidak terpenuhi. Karut-marutnya pembangunan KCJB justru menunjukkan tidak profesionalnya perencanaan proyek dan estimasi biaya pemerintah dan BUMN.
Bahaya Kerja Sama dengan Negara Kapitalis
Tahun demi tahun kerja sama Indonesia dengan negara-negara asing semakin besar. Namun, keuntungannya justru tidak pernah dirasakan oleh rakyat. Meskipun ada secuil keuntungan yang diperoleh negara, tetapi sejatinya bahaya atau mudaratnya lebih besar terutama bagi rakyat dan kedaulatan negara. Sebab, secara filosofis ekonomi, kapitalisme merupakan alat penjajahan ekonomi. Meski negara penjajah memberikan kemerdekaan fisik, tetapi mereka akan menjajah dalam bentuk lain yakni mengeksploitasi ekonomi.
Penjajahan ekonomi oleh para kapitalis asing dilakukan dengan dua strategi, yaitu utang dan investasi. Melalui dua strategi tersebut, negara-negara kapitalis akan memperoleh untung besar dari pengelolaan sumber daya alam yang sesungguhnya milik rakyat. Sementara rakyat hanya memperoleh limbah dari pengelolaan SDA oleh asing.
Selain itu, banyaknya kerja sama dengan negara kapitalis asing akan memudahkan mereka menyetir kebijakan negara. Sebut saja undang-undang yang kini diterapkan di Indonesia, seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan lainnya sangat kental dengan aroma kepentingan kapitalis. Walhasil, kerja sama dengan negara kapitalis sejatinya hanyalah mengokohkan penjajahan dan melemahkan kedaulatan negara.
Pembangunan Infrastruktur dalam Islam
Islam merupakan agama langit yang hadir sebagai solusi untuk menyelesaikan sengkarut permasalahan negeri, termasuk bagaimana mengatur pembiayaan infrastruktur. Infrastruktur disamakan dengan prasarana, yakni segala sesuatu yang menjadi penunjang utama penyelenggaraan suatu proses.
Islam membagi infrastruktur menjadi tiga bagian besar, yaitu:
Pertama, infrastruktur keras (fisik) yang meliputi jalan raya, kereta api, dermaga, bandara, pelabuhan, dan saluran irigasi.
Kedua, infrastruktur keras (nonfisik). Infrastruktur ini berkaitan dengan fasilitas umum, seperti ketersediaan air bersih termasuk instalasi pengelolaan air dan jaringan pipa penyalur, pasokan listrik, jaringan telekomunikasi, pasokan energi mulai dari minyak bumi, gas termasuk pipa distribusinya, dan biodiesel.
Ketiga, infrastruktur lunak atau disebut kerangka institusional (kelembagaan) yang meliputi berbagai nilai (termasuk etos kerja), norma (khususnya yang telah dikembangkan dan dikodifikasi menjadi peraturan hukum dan perundang-undangan), serta kualitas pelayanan umum yang disediakan oleh berbagai pihak, utamanya pemerintah.
Jadi, infrastruktur adalah fasilitas umum yang dibutuhkan oleh semua orang, sehingga termasuk dalam kategori marafiq al-jamaah, misalnya listrik, air bersih, dan sejenisnya. Demikian juga termasuk fasilitas umum yang tidak mungkin dimonopoli oleh individu, seperti laut, jalan raya, udara, dan yang sejenis dengan itu. Karena merupakan fasilitas umum, maka negara (Khilafah) wajib menyediakannya dan rakyat pun dapat secara gratis menggunakannya.
Sementara itu, untuk pembiayaan infrastruktur, Khilafah bisa menempuh tiga strategi sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah karya Syekh Abdul Qadim Zallum, yakni dengan meminjam kepada negara asing termasuk lembaga keuangan global, memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum seperti tambang, minyak, dan gas, serta mengambil pajak dari umat atau rakyat.
Pertama, terkait pinjaman kepada asing atau lembaga keuangan global, maka strategi ini keliru dan bertentangan dengan syariat Islam. Sebab, utang kepada negara atau lembaga keuangan asing pasti berbunga atau disertai syarat-syarat tertentu yang mengikat. Persyaratan tersebut justru akan membuat negara semakin terjerat. Pada saat itulah negara asing akan memiliki celah untuk mendikte Khilafah.
Karenanya, Khilafah tidak boleh memilih strategi ini untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Sebab, Islam secara tegas mengharamkan utang yang disertai bunga. Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 278, " … Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman."
Kedua, memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum seperti gas, kilang minyak, dan sumber tambang tertentu, seperti emas, tembaga, dan sejenisnya. Aset tersebut dikelola oleh negara dan hasilnya dapat digunakan untuk membiayai infrastruktur. Strategi seperti ini boleh diambil oleh khalifah, bahkan merupakan langkah yang tepat guna memperoleh dana untuk pembiayaan infrastruktur. Hal ini disandarkan pada hadis Abu Dawud, "Tidak ada hak untuk memproteksi, kecuali milik Allah Swt. dan Rasul-Nya."
Ketiga, menarik pajak dari kaum muslim untuk membiayai infrastruktur. Terkait penarikan pajak, khalifah hanya boleh mengambil strategi ini jika Baitulmal dalam keadaan kosong. Penarikan pajak pun hanya boleh dilakukan untuk membiayai sarana dan prasarana vital, yang hanya diambil dari laki-laki, muslim, dan mampu saja.
Khatimah
Infrastruktur memang menjadi kebutuhan vital dalam sebuah negara. Namun, Khilafah tetap akan memprioritaskan untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan publik terlebih dahulu. Sementara, jika infrastruktur yang lain masih tersedia, maka tak perlu membangun yang sejenis dengan tergesa-gesa. Apalagi jika sampai berutang pada asing untuk pembiayaannya. Sebab, visi Khilafah adalah mewujudkan kemaslahatan umat, bukan kemaslahatan para kapitalis.
Wallahu a'lam bi ash shawab[]