Suap Menyuap di Ranah Pendidikan, Korupsi Jadi Budaya

”Oleh karena itu, walaupun korupsi telah nyata menjadi problem sistematis tahunan yang selalu berulang. Namun, solusi yang diambil bersifat parsial dan tidak memberikan efek jera.”

Oleh. Mariam
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Prof. Dr. Karomani (KRM) rektor dari Universitas Lampung (Unila) ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dikarenakan kasus suap proses penerimaan mahasiswa baru jalur khusus yaitu Seleksi Mandiri Masuk Universitas Lampung (Simanila). Rektor Unila bekerja sama dengan Wakil Rektor I, Ketua Senat dan Kepala Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat untuk mematok harga mulai dari Rp100 juta sampai Rp350 juta per mahasiswa agar diluluskan masuk Unila.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan dalam konferensi Pers bahwa Karomani diduga memberikan peran dan tugas khusus kepada Heryandi (HY) sebagai Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila dan Muhammad Basri (MB) selaku Ketua Senat Unila serta Budi Sutomo (BS) selaku Kepala Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat. Ketiga orang tersebut diberikan tugas oleh rektor untuk mengumpulkan sejumlah uang yang telah disepakati bersama para orang tua peserta seleksi. Seluruh uang yang telah dikumpulkan Karomani yang berasal dari orang tua calon mahasiswa berjumlah Rp603 juta dan telah dipergunakan untuk keperluan pribadi sekitar Rp575 juta.https://narasipost.com/2022/08/25/jerat-akademisi-korup/

KPK juga menemukan adanya sejumlah uang yang diterima Karomani dalam bentuk tabungan deposito, emas batangan ataupun bentuk uang tunai dengan total keseluruhan sekitar mencapai Rp4,4 miliar. Hingga saat ini, KPK terus meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan dengan mengumumkan 4 tersangka yang akan mendapatkan hukuman. (Detiknews.com, 21/8/2022)

Rentetan Aksi Korupsi yang Tidak Pernah Usai

Dari hasil survei yang didapatkan beberapa fakta sebagai data penunjang terjadinya praktik korupsi di antaranya karena rendahnya pengawasan di berbagai instansi dan adanya campur tangan politik dari yang lebih berkuasa dan sudah membudaya demi mendapatkan uang tambahan. Tindakan kriminal korupsi marak terjadi baik dalam ranah pemerintahan maupun pendidikan kini semakin menjadi budaya bangsa ini, bukan hanya sekadar faktor individu melainkan karena sistem dan aturan yang digunakan menuntut kita untuk melakukan hal yang melanggar aturan demi mendapatkan pendapatan lebih.

Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa sistem yang digunakan saat ini adalah hasil kesepakatan manusia berdasarkan dari akal dan aturan yang dibuat oleh manusia menurut kepentingan pribadi. Sistem sekularisme inilah yang menjadikan hawa nafsu manusia sebagai asas pengatur kehidupan, karena dalam sistem ini agama tidak boleh ikut campur dalam persoalan kehidupan baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Agama seolah dipisahkan dan hanya dijadikan ibadah ritual individual tanpa harus campur tangan dengan urusan dan aturan hidup manusia. Alhasil menjadikan kontrol individu yang sangat lemah hingga mudah sekali manusia berbuat kemaksiatan.

Sekularisme juga membuat masyarakat menjadi orang yang apatis dan pragmatis. Dalam level bernegara sekularisme ini menjadikan sanksi yang berlaku hanya bersifat parsial sesuai dengan kesepakatan manusia yang mudah sekali diubah sesuai dengan kepentingan.https://narasipost.com/2021/08/20/korupsi-dalam-lingkaran-setan-demokrasi/

Oleh karena itu, walaupun korupsi telah nyata menjadi problem sistematis tahunan yang selalu berulang. Namun, solusi yang diambil bersifat parsial dan tidak memberikan efek jera, seperti ancaman pemecatan dan pemberian sanksi tanpa banyak menyentuh kritik demi perubahan sistem, korupsi tidak akan menjadi budaya jika sistem yang diterapkan adalah sistem yang benar, yakni sistem yang berlandaskan dari aturan Tuhan, Allah Swt.

Korupsi Dilibas Syariat

Dalam sistem Islam korupsi termasuk perbuatan khianat karena tidak bisa menjalankan amanah dengan baik, pelakunya disebut khaa’in. Korupsi berbeda dengan mencuri, menurut Abdurahman Al-Maliki dalam kitabnya Nizhamul Uqubat, hal 31 menyatakan bahwa praktik korupsi adalah tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang dengan menggelapkan harta yang diamanatkan kepada seseorang itu bukan mengambil harta orang lain secara diam-diam seperti mencuri.

Maka sanksi yang akan diberikan termasuk ke dalam takzir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Abdurahman Al Maliki dalam kitabnya Nizhamul Uqubat hal 78-89, menjelaskan sanksi korupsi bisa mulai paling rendah dari sekadar nasihat atau teguran dari hakim, bisa mulai penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik/ media massa (tasyhir), hukuman cambuk hingga sanksi yang paling tegas adalah hukuman mati dengan teknis bisa digantung atau dipancung.

Berat ringannya hukuman takzir yang akan diberikan nanti disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. Tentunya, sanksi ini berdasarkan syariat yang akan menjadi upaya dalam preventif dan kuratif yang sangat efektif karena sistem sanksi dalam Islam bersifat jawabir dan zawajir. Sebagai jawabir kelak hukuman di dunia ini akan menjadi penebus siksaan di akhirat, dan sebagai zawajir untuk mencegah terjadinya tindakan kriminal yang kembali berulang.

Selain itu, ada tindakan preventif lainnya untuk mencegah aksi kejahatan korupsi menurut syariat Islam. Pertama, merekrut sumber daya manusia untuk dipekerjakan sesuai secara profesionalitas dan integritas, bukan berdasarkan dari nepotisme atau koneksitas belaka. Kedua, negara wajib melakukan pembinaan keimanan kepada seluruh aparat negara, kepegawaiannya, maupun orang-orang yang mendapatkan amanah. Negara juga wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparat, maupun civitas akademika dalam memimpin sekolah atau universitas. Ketiga, Islam melarang menerima suap dan hadiah, karena Rasulullah saw. pernah bersabda: “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad).

Islam juga memerintahkan untuk senantiasa melakukan perhitungan kekayaan, Syekh Abdul Qadim Zallum mengatakan bahwa untuk mengetahui apakah pejabat itu melakukan kecurangan atau tidak, maka harus ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan. Keempat, Adanya teladan dari pimpinan. Terakhir, perlu adanya pengawasan oleh negara dan masyarakat.

Dalam pandangan Islam harta korupsi adalah harta haram karena termasuk hharta,ghulul (curang), sebab dia diperoleh dengan menambah jumlah penagihan dari yang semestinya. Melalui cara-cara penipuan, pemalsuan, suap atau memanfaatkan kelemahan orang lain maka semua itu dianggap perolehan yang haram dan bukan miliknya. Jadi, harta tersebut harus disita dan diserahkan kepada Baitulmal yang akan digunakan untuk kemaslahatan umat.

Dengan Islam korupsi bisa terselesaikan, bukan hanya cara parsial yang dilakukan, namun hingga memberikan efek jera dan tidak menjadi budaya dalam masyarakat. Inilah syariat yang dapat memberikan penyelesaian hakiki terhadap problema kehidupan manusia. Wallahu a'lam bish-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Mariam Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Kenapa Harga Mi Harus Naik?
Next
Prototipe Intelektual Pemuda Sejati
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram