"Rusaknya pendidikan, politik, rusaknya generasi, dan lain sebagainya sangat berhubungan dengan dipisahnya aspek agama dari negara (sekuler). Agama seakan memiliki ruangnya sendiri, tidak boleh bercampur dengan aspek lainnya. Padahal dengan adanya agama dalam setiap tindak tanduk kehidupan kita, otomatis sebagai sebuah alarm serta tata tertib yang harus kita laksanakan atas dasar takwa."
Oleh. Siti Amelia Q. A
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Menghapus budaya korupsi tidak cukup dengan slogan semata. Membangun karakter berintegritas tidak cukup dengan pelatihan-pelatihan saja. Teriak-teriak antiradikalisme belum tentu antikorupsi.
Inilah negeriku, berita baru-baru ini cukup menghentakkan dunia pendidikan. KPK menetapkan Rektor Universitas Lampung (Unila), Prof. Dr. Karomani (KRM), sebagai tersangka kasus suap proses penerimaan mahasiswa baru jalur khusus, yaitu seleksi mandiri masuk Universitas Lampung (Simanila). KPK menyebut Karomani mematok harga mulai dari Rp100 juta sampai Rp350 juta per mahasiswa, agar diluluskan masuk Unila.
Dalam OTT tersebut, KPK juga mengamankan tujuh orang, termasuk menetapkan wakil Rektor Bidang Akademik, Heryadi, dan Ketua Senat Unika, M. Basri, sebagai tersangka.
Teriakan Kencang Antiradikalisme
Kasus korupsi Rektor Unila ini sebenarnya ibarat gunung es, kasus ini menambah daftar-daftar kasus korupsi di negeri ini, mulai dari hulu hingga hilir, mulai dari dunia pendidikan hingga perpolitikan.
Korupsi di dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi sesungguhnya sangat banyak. Hasil ppantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak tahun 2006 ditemukan lebih dari 12 pola korupsi yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi.
Namun kali ini, yang menjadi fokus perhatian dari kasus korupsi Rektor Unila ini adalah sang Rektor dikenal sangat vokal mengampanyekan antiradikalisme di perguruan tinggi yang ia pimpin.
Dalam setiap kesempatan Karomani (KRM) selalu aktif menyuarakan paham antiradikalisme, sangat kencang meneriakkan, "NKRI harga mati", dan "Saya Pancasilais" . Namun, berujung kepada OTT KPK. Lalu, radikalisme seperti apa yang menjadi patokan kampanyenya, sedangkan ia saja lebih-lebih dari kata radikal.
Rusaknya Pendidikan karena Sistem Sekularisme
Tercorengnya dunia pendidikan di negeri ini tidak sekali dua kali saja. Kasus korupsi, kekerasan seksual, tindakan amoral, bullying di lingkungan sekolah kerap menjadi kasus yang tiada henti. Bagaimana bisa, lembaga pendidikan yang diharapkan mampu melahirkan sumber daya manusia (SDA) yang bertakwa, berkualitas, berintegrasi tinggi nyatanya keropos dan rusak dengan berbagai kasusnya.
Tentu kondisi ini sangat mengkhawatirkan, terlebih lagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme banyak terjadi dalam dunia pendidikan kita. Siapa pun pasti sepakat bahwa korupsi tergolong kejahatan luar biasa, rata-rata saat ini seluruh dunia belum terbebas dari praktik korupsi, lalu apakah hal tersebut dianggap sebagai suatu kewajaran?, sehingga problem besar ini turun-temurun seakan menjadi warisan sebuah negeri walaupun rezim berganti rezim. Tentunya pergantian rezim tanpa pergantian sistem akan tetap berulang, karena yang menaungi sistem dunia saat ini adalah sekularisme.
Rusaknya pendidikan, politik, rusaknya generasi, dan lain sebagainya sangat berhubungan dengan dipisahnya aspek agama dari negara (sekuler). Agama seakan memiliki ruangnya sendiri, tidak boleh bercampur dengan aspek lainnya. Padahal dengan adanya agama dalam setiap tindak tanduk kehidupan kita, otomatis sebagai sebuah alarm serta tata tertib yang harus kita laksanakan atas dasar takwa.
Konsep sekularisme yang tidak memiliki pegangan agama (ruhiyah) tentu saja berimbas ke dunia pendidikan, apalagi konsep negara sekuler yang tidak memiliki fungsi ri'ayah (pengurusan) dan junnah (penjaga) sangat berimbas kepada mekanisme kepengurusan negara. Negara menyerahkan kepengurusan kepada pasar (kapital), sehingga tak dapat dimungkiri pendidikan saat ini mahal dan sangat membuka kesempatan pada praktik korupsi.
Kapitalisasi Pendidikan
Mekanisme pasar (kapital) sungguh sangat terasa dalam dunia pendidikan, maka tak heran, biaya masuk dan biaya jalan nya pendidikan jor-joran, sangat-sangat mahal. Mahalnya biaya pendidikan adalah dampak logis dari diadopsinya sistem Kapitalisme oleh negara ini. Peran negara dalam Ideologi kapitalisme sangat minim sekali, negara tak banyak terlibat dalam menangani urusan-urusan masyarakat. Negara memang dibuat tidak mampu membiayai penyelenggaraan urusan masyarakat, otomatis mekanisme pasar akan bekerja.
Sistem kapitalisme juga mengharuskan pengelolaan urusan masyarakat diserahkan kepada swasta, privatisasi berbagai sektor memang tujuan kapitalisme agar dengan begitu negara tidak memiliki sumber pendapatan dari sumber-sumber kekayaan alam secara mandiri, sehingga membuat negara tidak mampu membiayai berbagai urusan masyarakat, termasuk pendidikan.
Jika rakyat ingin sekolah berkualitas dan favorit tentu harus merogoh kocek yang sangat mahal, dan itu merupakan salah satu pintu masuknya korupsi dalam lembaga pendidikan negeri ini.
Pendidikan dalam Sistem Islam
Bertolak belakang dengan sistem kapitalisme yang meminimalkan peran negara, ideologi Islam justru menetapkan negara sebagai pihak yang bertanggungjawab penuh atas pemeliharaan urusan-urusan masyarakat.
Rasulullah saw menegaskan, “Imam (kepala Negara) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di antara pengurusan negara adalah masalah pendidikan. Negara wajib menyediakan pendidikan bagi rakyat secara gratis baik untuk muslim dan nonmuslim, negara tidak membedakan dalam hal umum ini. Inilah prinsip dasar dalam sistem Islam. Untuk menunjang pendidikan yang gratis, maka akan sangat dibutuhkan sistem ekonomi yang mandiri dan berdaulat, asing dengan mekanisme pasarnya tidak akan dapat dengan mudah memasuki perekonomian dalam sistem Islam, karena ekonomi Islam menetapkan sistem kepemilikan yang meliputi barang-barang tambang dan kekayaan alam lainnya menjadi milik bersama seluruh rakyat yang pengelolaannya diwakilkan kepada negara, yang seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat, sehingga kapital dalam hal ini pasar tidak akan diberikan kesempatan untuk memprivatisasi ekonomi.
Fakta sejarah mencatat, pada masa Khilafah Abbasiyah terjadi pencapaian yang cemerlang di dunia Islam di bidang sains dan teknologi. Di mana Baghdad mengalami kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat. Secara politis, para khalifah betul-betul merupakan tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi, dan masih banyak lagi kegemilangan-kegemilangan saat Islam benar-benar diterapkan sebagai suatu aturan dan sistem kehidupan.
Kaum muslimin seharusnya menyadari, bagaimana jika Islam benar-benar diterapkan sebagai sebuah ideologi, selain kewajiban berislam secara kafah terlaksana, ketakwaan dan kesejahteraan pun juga akan diraih.
wallahu a'lam bishowab.[]