"Indonesia sebagai negeri muslim justru memisahkan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Islam hanya dipraktikkan di lingkup individu, sementara kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak menerapkan Islam. Apalagi sejak masa anak-anak sudah diberikan narasi negatif tentang Islam sebagai penyebab terorisme dan esktremisme, bisa dibayangkan bagaimana generasi masa depan terjangkit islamofobia, dekat dengan Islam saja sudah takut apalagi menerapkan Islam."
Oleh. Dhyna W., S.Si., M.Kes
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Hingga kini Indonesia masih mengganggap terjadi darurat terorisme dan ekstremisme. Hampir-hampir setiap permasalahan menjadikan terorisme dan ekstremisme sebagai kambing hitamnya, sehingga masyarakat sering menjadi bingung sebenarnya permasalahan apa yang sedang terjadi. Bahkan anak-anak dinilai menjadi korban yang dilibatkan dalam aktivitas terorisme dan ekstremisme. Dalam peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli lalu, kembali diingatkan oleh Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, bahwa negara hadir bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus seperti menjadi korban jaringan terorisme. (www.suara.com, 23/06/2022)
Baru-baru ini juga BNPT menyelenggarakan pelatihan bagi para trainer untuk menangani anak terasosiasi kelompok teroris dan ekstremis kekerasan (www.republika.co.id, 30/06/2022)
Meskipun faktanya belum terbukti secara nyata. Anak-anak dianggap menjadi sasaran empuk para teroris karena belum matang cara berpikirnya sehingga mudah dicuci otaknya. Anak-anak juga dianggap berada di fase pencarian jati diri sehingga mudah diarahkan pemikirannya oleh kelompok teroris.
Label Terorisme dan Ekstremisme: Perang Melawan Islam
Kebijakan baru dalam penanganan terorisme, tahun lalu diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Selain itu, pada penanganan terorisme terutama jika terdapat anak-anak sebagai korban di dalamnya, Indonesia menjadi salah satu negara mitra terpilih di samping Irak dan Nigeria dalam proyek STRIVE Juvenile oleh UNODC dan didanai oleh Uni Eropa. Semakin masifnya penanganan terorisme dan ekstremisme sudah seharusnya menjadikan masyarakat semakin kritis dengan isu-isu perbincangan terkait terorisme dan ekstremisme. Istilah terorisme dan ekstremisme sering disematkan pada orang-orang dengan kriteria tertentu, bahkan memojokkan Islam. Perang melawan terorisme dan ekstremisme merupakan agenda Barat dalam memusuhi Islam. Dunia Barat melalui pernyataan Tony Blair dalam pidato sepekan setelah peledakan di London tahun 2005 dan statement George W Bush yang diamini dan didukung oleh Gerhard Schroeder (Kanselir Jerman), Berlusconi (PM Italia) serta para pemimpin, politisi, akademisi dan banyak masyarakat Barat menuduh Islam sebagai “ideologi setan” yang menciptakan tindakan teror. Blair, speaking at a Labour Party policy forum in London, blamed an “evil ideology” not a clash of civilizations. (www.edition.cnn.com).
Ideologi setan memiliki ciri: (1) menolak legitimasi Israel; (2) memiliki pemikiran bahwa syariat adalah dasar hukum Islam; (3) umat Islam harus menjadi satu kesatuan dalam naungan Khilafah; (4) tidak mengadopsi nilai-nilai liberal dari Barat. (www.obsessionnews.com)
They demand the elimination of Israel; the withdrawal of all westerners from Muslim countries, irrespective of the wishes of people and Government; the establishment of effectively Taleban states and Sharia law in the Arab world en route to one Caliphate of all Muslim nations. (www.nytimes.com)
Sejatinya perang melawan terorisme, ekstremisme dan istilah negatif sejenisnya adalah perang melawan Islam. Narasi terorisme dan ekstremisme yang dilabelkan pada Islam akan memberi pengaruh besar bagi umat Islam.
Islam Memberi Solusi, Tidak Perlu Ditakuti
Pada akhirnya, Islam akan semakin dijauhi. Islam tampak sebagai agama yang jahat dibanding agama yang rahmatan lil alamin. Islam tampak sekadar sebagai agama ruhiyah yang berkutat di ibadah saja bukan sebagai way of life yang mampu menyelesaikan persoalan manusia di segala bidang. Indonesia sebagai negeri muslim justru memisahkan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Islam hanya dipraktikkan di lingkup individu, sementara kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak menerapkan Islam. Apalagi sejak masa anak-anak sudah diberikan narasi negatif tentang Islam sebagai penyebab terorisme dan esktremisme, bisa dibayangkan bagaimana generasi masa depan terjangkit islamofobia, dekat dengan Islam saja sudah takut apalagi menerapkan Islam. Persoalan multidimensi yang dialami bangsa ini bukanlah karena terorisme dan ekstremisme melainkan karena semakin jauhnya bangsa ini dengan Islam. Islam yang diturunkan Allah lengkap dengan syariat justru semakin ditakuti. Padahal aturan buatan manusia yang diterapkan saat ini, yakni sekularisme demokrasi, telah gagal menuntaskan persoalan manusia. Sebaliknya justru semakin menimbulkan kerusakan yang bertambah parah.
Sudah saatnya kehidupan bangsa ini kembali kepada Islam. Bangsa yang mayoritasnya umat Islam tidak perlu takut menerapkan syariat Islam. Syariat Islam yang telah terbukti pernah diterapkan dalam sebuah peradaban agung yang berjaya selama 13 abad berhasil menaungi umat Islam dan non-Islam dengan penuh kesejahteraan. Islam dengan syariat dari Sang Pencipta seharusnya dikenalkan sejak masa anak-anak sehingga tumbuh kecintaan mereka terhadap Islam dan akan menancap kuat ketaatannya kepada Allah. Anak-anak adalah aset masa depan. Anak-anak yang kelak menjadi pemimpin harus memiliki kepribadian Islam yang tangguh sehingga kuat mengarungi kehidupan dengan berbagai tantangan sesuai jalan syariat-Nya. Kehidupan manusia yang sejalan dengan aturan-Nya akan menyejahterakan muslim maupun nonmuslim.[]