Menguak Skandal Korupsi sang Taipan

"Korupsi dan demokrasi ibarat simbiosis mutualisme. Demokrasi butuh korupsi, demikian pula sebaliknya korupsi pun butuh demokrasi. Ibarat air laut dan garam, korupsi dan demokrasi saling melengkapi serta tidak terpisahkan. Penerapan sistem demokrasi liberal justru membuat kasus-kasus korupsi semakin tak terkendali dan berputar ibarat lingkaran setan yang tidak bisa diputus."

Oleh. Sartinah
(Tim Inti Narasipost.Com)

NarasiPost- Negeri ini sungguh kaya. Tidak hanya kaya akan sumber daya alam, tetapi juga kaya akan budayanya. Salah satu budaya yang enggan diakui, namun telah menjadi bagian tak terpisahkan dari negeri ini adalah 'korupsi'. Disadari atau tidak, korupsi telah menjadi warisan budaya yang terus berlangsung turun-temurun dan mendarah daging.

Negeri ini bahkan disulap menjadi 'surga' bagi para pecinta uang haram tersebut. Mereka tersebar di berbagai sektor dan menggurita dari pusat hingga daerah. Tak hanya pejabat dan rakyat jelata, para konglomerat pun tidak lepas dari jeratan korupsi. Mirisnya, demi melepaskan diri dari jerat hukuman, mereka hengkang dari negeri sendiri dengan membawa serta aset pribadinya. Para koruptor tersebut ada yang tertangkap, ada pula yang masih buron. Salah satu buron yang kini ditahan adalah Surya Darmadi.

Siapa sebenarnya Surya Darmadi yang disebut sebagai tersangka korupsi terbesar di Indonesia? Mengapa para koruptor memilih kabur ke luar negeri hingga rela menjadi buronan? Mengapa pula korupsi di negeri ini seperti tidak pernah mati? Bagaimana memberantas korupsi yang hakiki?

Megakorupsi sang Konglomerat

Skandal megakorupsi yang dilakukan oleh buronan sekaligus tersangka, Surya Darmadi, kini menemui babak baru. Koruptor yang sebelumnya buron, tiba-tiba secara sukarela menyerahkan diri. Kasus yang tengah ditangani oleh Kejaksaan Agung ini disebut-sebut menjadi kasus korupsi terbesar sepanjang sejarah di Indonesia. Diketahui, Surya Darmadi tersandung dua perkara berbeda yang diduga telah merugikan negara sebesar Rp78 triliun.

Surya Darmadi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan suap terkait pengajuan revisi alih fungsi hutan di Riau pada tahun 2014. Selain Surya, saat itu KPK juga menetapkan Legal Manager PT Duta Palma Group, Suheri Terta, dan korporasi PT Palma Satu sebagai tersangka. Belum usai perkara yang ditangani KPK, Surya Darmadi kembali tersandung kasus dugaan korupsi terkait penyerobotan tanah seluas 37.095 hektare oleh PT Duta Palma group di Riau yang diselidiki oleh Kejaksaan Agung.

Dalam perkara yang diselidiki Kejagung, Surya Darmadi juga ditetapkan sebagai tersangka. Bersama Surya, Kejagung menetapkan Bupati Kabupaten Indragiri Hulu, Raja Thamsir Rachman sebagai tersangka. Keduanya diduga melakukan pengelolaan lahan tanpa izin seluas 37,095 hektare secara tanpa hak melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara. Tak main-main, kerugian negara ditaksir mencapai Rp78 triliun. (Sindonews.com, 20/08/2022)

Surya Darmadi diduga telah bekerja sama dengan Bupati Indragiri Hulu yang menjabat saat itu, Thamsir Rachman, demi memuluskan izin pengelolaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Sayangnya, perusahaan Surya tidak memenuhi sejumlah persyaratan untuk mendapatkan izin tersebut, seperti izin prinsip untuk memperoleh izin pelepasan kawasan hutan, hingga analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Surya alias Apeng juga diduga menyuap Annas Maamun selaku Gubernur Riau saat itu, sebesar Rp3 miliar untuk mengajukan revisi alih fungsi hutan kepada Kementerian Kehutanan.https://narasipost.com/2021/11/25/hukuman-mati-bagi-koruptor-jargon-jantan-retorika-tanpa-bukti/

Surya Darmadi merupakan pemilik PT Darmex Agro Group, di mana perusahaan tersebut adalah induk dari PT Duta Palma. Sedangkan PT Duta Palma sendiri diketahui sebagai produsen minyak merek Palma. Tak heran jika perusahaan Darmex Agro memiliki peran penting di Indonesia, karena negeri ini adalah penghasil sawit terbesar di dunia. Perusahaan tersebut juga menjadi salah satu kelompok budi daya, produksi, serta pengekspor kelapa sawit terbesar di Indonesia.

'Surga' Pelarian Koruptor

Sudah menjadi rahasia umum jika para koruptor acapkali kabur menuju negara lain sebagai 'langkah seribu' demi menghindari tuntutan hukum. Parahnya, mereka tidak hanya membawa diri, namun turut serta memboyong aset-aset mereka. Sebagaimana taipan yang satu ini. Surya Darmadi diduga melarikan diri dengan menggondol uang negara sebesar Rp54 triliun ke luar negeri sebelum akhirnya ditahan Kejaksaan Agung.

Surya bukanlah satu-satunya koruptor yang kabur demi memiliki kekebalan hukum. Beberapa orang lainnya yang juga kabur ke luar negeri dan menjadi DPO, di antaranya Nunun Nurbaeti yang terjerat kasus cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004. Ada pula Muhammad Nazaruddin yang terjerat kasus suap pembangunan Wisma Atlet (Hambalang) untuk Sea Games ke-26. Termasuk Djoko Tjandra yang dijebloskan ke penjara karena kasus penggelapan dana perbankan, setelah sebelumnya sempat melalui drama pelarian ke luar negeri.

Pada umumnya para koruptor melarikan diri ke negara-negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, salah satunya adalah Singapura. Apalagi, Singapura memang dikenal sebagai 'surga' pelarian bagi para koruptor. Pihak kepolisian akan semakin sulit memulangkan koruptor yang bersembunyi di negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Sebab, akan terganjal berbagai kebijakan dalam negeri negara tersebut.

Mampukah Ekstradisi Menjadi Solusi?

Setelah puluhan tahun berlalu, Singapura akhirnya menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, tepatnya pada Januari 2022. Perjanjian ekstradisi tersebut sebenarnya sudah dirintis sejak 1972 silam, namun pembahasannya baru dimulai intens sejak 2004. Lantas, apakah kesepakatan ekstradisi Indonesia dengan negara lain mampu memulangkan seluruh koruptor beserta aset-asetnya ke dalam negeri?

Wajar saja apabila publik berspekulasi. Terlebih jika melihat bagaimana minimnya semangat pemberantasan korupsi di negeri ini, terutama saat berhubungan dengan koruptor kelas kakap. Perjanjian ekstradisi bisa jadi hanya strategi untuk mengembalikan citra penguasa yang semakin menurun karena kebijakan yang banyak dikritik, terutama perihal pemberantasan korupsi.

Di sisi lain, kesepakatan ekstradisi erat kaitannya dengan janji politik presiden saat pilpres, yakni akan memulangkan aset negara yang dibawa ke luar negeri. Karena itu, kesepakatan tersebut perlu dilakukan agar tidak dipandang sebagai penguasa yang ingkar janji. Sayangnya, sebagian pengamat menilai bahwa efektivitas perjanjian tersebut tergantung implementasi dan keseriusan para penegak hukum di lapangan. Sebab, jika negeri ini tidak memiliki keseriusan memberantas korupsi, maka kebijakan dan perjanjian apa pun sejatinya tidak akan memberikan dampak signifikan.

Demokrasi Habitat Korupsi

Korupsi dan demokrasi ibarat simbiosis mutualisme. Demokrasi butuh korupsi, demikian pula sebaliknya korupsi pun butuh demokrasi. Ibarat air laut dan garam, korupsi dan demokrasi saling melengkapi serta tidak terpisahkan. Penerapan sistem demokrasi liberal justru membuat kasus-kasus korupsi semakin tak terkendali dan berputar ibarat lingkaran setan yang tidak bisa diputus.

Selain korupsi di lingkaran pejabat yang semakin menggurita, negeri ini pun dihadapkan pada korupsi yang melibatkan jaringan oligarki dan konglomerat yang merugikan negara. Misalnya saja kasus BLBI, Century, ASABRI, Jiwasraya, termasuk kasus penyerobotan lahan oleh PT Darmex Agro Group. Kasus-kasus tersebut jelas menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat.https://narasipost.com/2021/04/23/budaya-korupsi-di-tubuh-pns-sampai-kapan/

Keserakahan elite negeri ini semakin menjadi ketika bertemu dengan kepentingan ekonomi oligarki. Kepentingan tersebut sering kali difasilitasi oleh para elite meski harus mengorbankan kaum alit. Perselingkuhan para elite dan oligarki politik akhirnya menjadikan korupsi bersarang di tingkat bawah dan atas negeri ini. Karena itu, mustahil rasanya negara memiliki keinginan serius untuk memberantas korupsi.

Tak hanya itu, dalam banyak kasus keinginan memberantas korupsi acapkali terganjal dengan kepentingan elite. Publik tentu tidak lupa terkait penetapan SP3 kasus BLBI, yang secara otomatis melepas status tersangka yang pernah diberikan kepada pemilik BDNI, Sjamsul Nursalim dan istrinya, Ijtih Nursalim. Bahkan, lembaga antirasuah pun dikebiri melalui revisi UU KPK. Ini artinya, kemauan politik lemah, ditambah pula dengan lemahnya sistem hukum dan peradilan. Alhasil, memberantas tuntas korupsi di negeri ini hanyalah angan-angan.

Kebijakan yang dilahirkan dari hasil kompromi manusia justru melahirkan tumpang-tindih kewenangan antarlembaga penegak hukum. Tak heran, meskipun regulasi terus dibuat, tetapi koruptor semakin kreatif membuat modus dari waktu ke waktu. Di samping itu, mekanisme pengadilan sangat tidak efektif dan efisien mengingat proses yang dilakukan begitu sulit dan bertele-tele.

Memberantas Korupsi dalam Islam

Sistem demokrasi telah nyata gagal memberantas korupsi. Sejatinya pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan sebatas regulasi, namun diperlukan sistem sahih yang menaunginya. Sistem tersebut adalah Islam. Dalam Islam, kekuasaan dan kepemimpinan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di dunia juga akhirat. Tidak hanya bertanggung jawab kepada manusia, tetapi juga di hadapan Allah Swt.

Islam yang dibangun berlandaskan akidah, tidak hanya memberi solusi atas pemberantasan korupsi, tetapi juga mencegah sedari dini niat korupsi pada diri seseorang. Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis tentang pemberantasan korupsi hingga tuntas. Hal ini membuktikan keunggulan dan keistimewaan Islam sebagai aturan hidup dan solusi kehidupan. Islam menerapkan beberapa langkah dalam memberantas korupsi, yaitu:

Pertama, Islam telah mengharamkan segala bentuk suap (risywah) untuk tujuan apa pun. Suap adalah memberikan harta kepada para pejabat untuk menguasai hak dengan cara yang batil. Atau membatalkan hak orang lain agar haknya lebih didahulukan dari orang lain. Terkait perkara suap, Nabi saw. bersabda dalam hadis at-Tirmidzi dan Abu Dawud, "Rasulullah saw. telah melaknat penyuap dan penerima suap." Praktik suap memang banyak terjadi saat ini sebagaimana yang dilakukan Surya Darmadi atau Apeng terhadap pejabat negara.

Kedua, Islam telah melarang para pejabat negara menerima hadiah (gratifikasi). Nabi saw. bahkan pernah menegur seorang amil zakat yang beliau angkat karena telah terbukti menerima hadiah dari orang yang dipungut zakatnya. Sebagaimana tertuang dalam hadis Abu Dawud, "Siapa saja yang kami angkat sebagai pegawai atas suatu pekerjaan, kemudian kami beri dia upahnya, maka apa yang dia ambil selain itu adalah kecurangan."

Ketiga, termasuk dalam kategori kekayaan gelap pejabat adalah apa yang dia dapatkan dari komisi (makelar) dengan kedudukannya sebagai pejabat negara. Sebenarnya dalam muamalah, komisi adalah hal yang halal. Namun, jika pejabat menggunakan jabatan atau kedudukannya untuk memutuskan transaksi bisnis ataupun dia mendapatkan komisi dari suatu proyek, maka hal itu termasuk dalam kepemilikan harta yang haram.

Tak bisa dimungkiri, dalam bisnis kapitalis saat ini, memberikan komisi (fee) sebagai upeti kepada para pejabat berwenang seolah menjadi keharusan. Hal itu dilakukan agar mereka memperoleh proyek tanpa hambatan. Karena itu, Islam menegaskan bahwa korupsi adalah salah satu cara kepemilikan harta haram dan merupakan tindakan pengkhianatan (kha'in).

Keempat, Islam menerapkan hukuman yang berat kepada koruptor, para penyuap, dan penerima komisi haram, yakni berupa takzir atau hukuman yang kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk hukumannya mulai dari yang paling ringan seperti nasihat atau teguran dari hakim, penjara, pengenaan denda, pengumuman pelaku di hadapan masyarakat atau media massa, cambuk, hingga sanksi yang paling tegas yaitu hukuman mati. Berat dan ringannya sanksi takzir disesuaikan dengan tingkat kejahatan yang dilakukan.

Khatimah

Pemberantasan korupsi hingga tuntas dalam sistem demokrasi adalah utopis. Korupsi hanya bisa diputus dengan penerapan sistem Islam, yakni Khilafah. Sebab, Khilafah dibangun di atas tiga pilar mendasar yakni ketakwaan individu, berjalannya kontrol dari masyarakat, dan pelaksanaan hukuman oleh negara. Dengan terlaksananya ketiga pilar tersebut, maka akan mewujudkan individu, masyarakat, dan negara yang hanya bertindak sesuai syariat Islam.
Wallahu a'lam bi ash shawab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Kapitalisasi Pendidikan, Sumber Korupsi di Pendidikan Tinggi
Next
Terancam Hiperinflasi, Mungkinkah Indonesia Masuk ke Jurang Resesi?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram