"Pihak Indonesia Corruption Watch (ICW) pun memberi penilaian, kalau praktik korupsi di lingkungan perguruan tinggi bukanlah hal yang baru. Berdasarkan catatan ICW tahun 2020, dari 202 kasus di sektor pendidikan, setidaknya ada sekitar 20 kasus atau 10 persen yang terjadi di ranah perguruan tinggi. Akibatnya, negara pun mengalami kerugian hingga mencapai Rp81,9 miliar."
Oleh. Rahmiani. Tiflen, Skep
(Kontributor Narasipost.com)
NarasiPost.Com- Korupsi merupakan suatu perbuatan busuk dan memiliki daya rusak luar biasa, yang mana kerusakan tersebut dapat memengaruhi berbagai bidang, dimulai dari ketimpangan sosial, rusaknya moral, hancurnya perekonomian, meningkatnya angka kemiskinan, hingga distorsi hukum. Terlebih ketika hal tersebut dilakukan di lingkungan pendidikan tinggi, yang notabene merupakan tempat mencetak para ilmuwan.
Mungkin para pembaca pernah ingat pesan lama dari Bang Napi, ”Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada kesempatan, tapi juga karena ada niat pelakunya”. Lebih-lebih ketika dua faktor tadi berkembang di alam sekuler kapitalis hari ini, maka sudah barang tentu korupsi akan membudaya di tengah-tengah masyarakat, tak terkecuali kampus. Lalu, seperti apa upaya memberantasnya? Adakah sistem yang mampu memperbaiki dampak kerusakan yang ditimbulkan, serta mengembalikan tatanan dalam berkehidupan?
Rektor Unila Beserta Stafnya Dibekuk KPK
Tertangkapnya Rektor Universitas Lampung (Unila), dalam kasus dugaan korupsi memang bukanlah kasus pertama yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di lingkungan perguruan tinggi. Dalam rilis berita detikNews +21/08/22) mewartakan bahwa KPK telah menetapkan Rektor Universitas Lampung (Unila), Prof Dr Karomani (KRM) sebagai tersangka dalam kasus suap proses penerimaan mahasiswa baru jalur khusus Seleksi Mandiri Masuk Universitas Lampung (Simanila). Dinyatakan, Karomani menetapkan harga yang harus dipenuhi mahasiswa agar bisa lulus masuk Unila adalah dimulai dari Rp100 juta hingga Rp350 juta.
Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, dalam konferensi persnya, turut memberi penjelasan terkait hal itu. Katanya sepanjang proses Simanila berjalan, KRM diduga aktif dan terlibat secara langsung dalam penentuan kelulusan peserta Simanila. Kemudian dalam pelaksanaannya, KRM memerintah Heryandi (HY) selaku Wakil Rektor I Bidang Akademik, dan Budi Sutomo (BS) selaku Kepala Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat, serta MB (Muhammad Basri) selaku Ketua Senat dalam proses seleksi personal. Ketiganya diberi mandat oleh Karomani agar mengumpulkan sejumlah uang, melalui kesepakatan yang dilakukan bersama pihak orang tua peserta seleksi Simanila, yang jika ingin anaknya dinyatakan lulus maka mereka pun harus menyerahkan sejumlah uang di samping uang resmi yang telah ditetapkan secara mekanisme aturannya.
Dalam aksi pengumpulan uang dari para orang tua peserta seleksi, Karomani mengutus Mualimin sebagai kaki tangannya. Selanjutnya, KRM lalu mengumpulkan uang tunai sejumlah Rp150 juta yang didapatkan dari salah satu orang tua peserta. Adapun jumlah total uang yang diterima KRM melalui Mualimin adalah sebesar Rp603 juta, dan sebagiannya telah digunakan sebagai keperluan pribadi yaitu sebesar Rp575 juta, begitu tambah Ghufron.
Di samping itu, KPK juga menemukan sejumlah uang yang diterima KRM melalui BS dan MB yang juga berasal dari pihak orang tua calon mahasiswa. Kemudian atas perintah KRM, dana tersebut dialihkan dalam bentuk deposito, emas batangan, dan juga uang tunai dengan total keseluruhan sekitar Rp4,4 miliar.
Daftar Hitam Korupsi di Lingkungan Perguruan Tinggi
Pihak Indonesia Corruption Watch (ICW) pun memberi penilaian, kalau praktik korupsi di lingkungan perguruan tinggi bukanlah hal yang baru. Berdasarkan catatan ICW tahun 2020, dari 202 kasus di sektor pendidikan, setidaknya ada sekitar 20 kasus atau 10 persen yang terjadi di ranah perguruan tinggi. Akibatnya, negara pun mengalami kerugian hingga mencapai Rp81,9 miliar. Modus yang kerap terjadi di perguruan tinggi juga bervariasi, antara lain korupsi pengadaan barang dan jasa, korupsi dana hibah, dana penelitian, hingga beasiswa.
Kemudian diikuti pula dengan praktik suap-menyuap, terlebih saat menjelang pemilihan dekan dan rektor, pun dalam program akreditasi perguruan tinggi.
Kondisi ini sungguh sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak, institusi yang seharusnya menjadi tempat ditanamkannya nilai-nilai luhur, seperti moral, kejujuran, keadilan, dan budi pekerti tapi ternyata sama sekali tidak mencerminkan hal itu.
Di samping itu, dampak yang ditimbulkan dari korupsi di perguruan tinggi ini tidak hanya sebatas pada kerugian negara, melainkan akan memperburuk kualitas pendidikan itu sendiri, termasuk output yang dihasilkan.
Bahaya Laten Kapitalisme
Mengingat saat ini, kita hidup di alam sekuler kapitalisme, maka korupsi sudah menjadi hal yang lumrah adanya. Dengan kata lain, kasus korupsi tidak lagi menjadi persoalan individu melainkan sistemis. Sebagai perbandingan, negara yang menjadi kampiun demokrasi kapitalis Amerika Serikat pun tengah menghadapi permasalahan korupsi yang sangat besar. Artinya, ini menandakan penerapan sistem demokrasi dan korporatokrasi memang menjadi akar masalah kasus korupsi dan praktik-praktik kecurangan lainnya.
Sejatinya, kerusakan yang ditimbulkan oleh demokrasi kapitalisme, tidak hanya bermasalah pada tataran implementasi saja, akan tetapi sistem ini pun telah cacat dari lahirnya. Sebab berdiri di atas pemahaman sekularisme, dan kebebasan yang sama sekali tidak mengenal prinsip halal dan haram. Paham sekularisme inilah yang menafikan peran agama dalam kehidupan, khususnya Islam, yang meyakini bahwa setiap sisi kehidupan termasuk pola pikir dan sikap manusia tidak lepas dari aturan Sang Pencipta, bahkan kelak semua itu akan dipertanggungjawabkan.
Walhasil, sistem pemerintahan yang terbentuk, akan memberi ruang pada sekelompok manusia untuk membuat aturan dan kesepakatan bersama sebagai jalan memuluskan kepentingan mereka. Terutama bagi mereka yang disokong banyaknya dana dan bisa duduk di kursi kekuasaan. Sekularisme pun melahirkan ide-ide batil, seperti liberalisme, pluralisme, dan juga paham permisif yang menjadi sebab mandulnya sistem kontrol sosial. Bahkan berpengaruh pada kebijakan negara yang di- setting untuk mengakomodasi semua kepentingan termasuk ranah perguruan tinggi. Untuk itu, sistem ini sebenarnya tidak patut dipertahankan.
Perguruan Tinggi dalam Islam
Dalam Islam, pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting serta membutuhkan perhatian serius. Sebagaimana disampaikan dalam Al-Quran,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
"Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadalah : 11)
Demikian pula sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa salam, ”Dan keutamaan orang yang berilmu di atas orang yang beriman adalah seperti keunggulan bulan atas seluruh benda langit. Sungguh ulama adalah pewaris para nabi. Satu-satunya warisan para ulama adalah pengetahuan. Siapa pun yang mengambil hal itu maka sungguh ia telah mengambil yang paling cerdas.” (HR. Qais bin Katsi)
Bagi Islam, pendidikan merupakan hajah assasiyyah (kebutuhan mendasar) yang harus dijamin ketersediannya di tengah masyarakat oleh negara. Terlebih peran seorang pemimpin dalam sistem Islam adalah sebagai pengurus urusan rakyatnya. Untuk itu, negara berkewajiban menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat hingga perguruan tinggi.
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Ahkam menjelaskan bahwa, kepala negara (Khalifah) berkewajiban menyediakan sarana pendidikan, sistem pendidikan, dan juga menggaji para pendidiknya. Yang mana tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islami dan membekali peserta didik dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan urusan hidupnya. Khusus untuk perguruan tinggi, pendalaman, dan pengkristalan kepribadian Islam dilakukan kepada mahasiswa. Selain itu, perguruan tinggi pun memiliki tujuan yaitu, mencetak para ahli dan spesialis di seluruh bidang kehidupan guna mewujudkan kemaslahatan masyarakat. Mempersiapkan tenaga ahli yang diperlukan untuk mengatur urusan masyarakat seperti qadhi, ahli fikih, scientist, insinyur, dokter, perawat, dan sebagainya.
Keberhasilan Khilafah dalam membangun sains dan teknologi, telah terbukti selama hampir 13 abad. Keberhasilan yang begitu spektakuler ini, tidak lepas dari visi misi pemerintah yang orisinil dan kuat. Terwujudnya negara yang benar, yaitu negara yang menerapkan Islam secara menyeluruh. Hal ini tampak pada sejumlah aspek, yaitu;
Pertama, desain politik Islam dan perguruan tinggi yang mulia dan memuliakan. Lagi pula Islam memandang, ilmu bukan komoditas dan faktor produksi. Akan tetapi, ia adalah jiwa kehidupan.
Kedua, desain riset negara Khilafah adalah selaras dengan politik dalam dan luar negeri, yang menyejahterakan serta memuliakan manusia.
Ketiga, konsep anggaran pendidikan yang wajib diadakan oleh negara.
Keempat, desain industri yang mewujudkan kemandirian negara di bidang itu.
Sejarah Khilafah telah membuktikan dan meniscayakan lahirnya para ilmuwan unggul, di antaranya Labana yang berasal dari Cordova, ia adalah seorang ahli matematika dan sastra di abad ke-10M. Ia pun mampu memecahkan masalah geometrik dan aljabar yang paling kompleks. Pengetahuannya pun luas serta mampu berliterasi secara umum, yang mana semua itu diperoleh dari pekerjaannya yaitu sebagai sekretaris Khalifah Al-Hakim II. Tak sampai di situ, ada pula Maryam Al-Asturlabi Al Ijliya yang juga merupakan ilmuwan dan penemu di abad ke-10M. Ia merancang astrolog yang digunakan dalam menentukan posisi matahari serta navigasi. Desainnya yang sangat inovatif, mengantarkannya pada pekerjaan di mana ia diangkat oleh penguasa di kota asalnya itu. Ada pula Lubna yang berasal dari Andalusia, ia pun merupakan penyair yang hidup di abad ke-10. Dia juga unggul dalam bidang tata bahasa, retorika, dan matematika serta kaligrafi, dan salah satu sekretaris kepala negara yang memegang posisi sebagai korespondensi resmi.
Yang terakhir ada Fatimah al Fihri, yaitu seorang muslimah asal Tunisia dan juga merupakan seorang Rektor pertama dari universitas pertama di dunia. Dialah pendiri Universitas Al-Qarawiyyin di Fes Maroko. Sebuah universitas yang dibangun tahun 859M, jauh sebelum lahirnya Al-Azhar, Cambridge, Harvard, maupun Oxford.
Maka, jelaslah bahwa mengembalikan Khilafah Islamiah adalah suatu kewajiban dan juga kebutuhan dunia yang sangat mendesak. Termasuk didalamnya mengembalikan fungsi perguruan tinggi sebagaimana mestinya, serta memperbaiki tatanan dalam bermasyarakat, sebagai akibat dari rusaknya sistem demokrasi kapitalisme. Wallahu’alam bis showab.[]