"Sungguh, umat harus menyadari bahwa ada upaya pengadangan terhadap kebangkitan Islam. Hal tersebut sejalan dengan kepentingan melanggengkan eksistensi ideologi kapitalisme liberal di atas muka bumi. Maka, ideologi Islam dianggap sebagai ancaman. Oleh karena itu, umat harus memahami ancaman sesungguhnya terhadap dunia pendidikan hari ini, bukan Islam melainkan kapitalisme liberal."
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(RedPel NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Isu radikalisme tak pernah henti diembuskan oleh penguasa hari ini. Aparat kepolisian pun turut mengawal agar isu radikalisme tetap hangat di tengah masyarakat, salah satunya dengan terus mem- blow up tentangnya di berbagai momentum dan forum pertemuan. Salah satunya sebagaimana yang dilakukan oleh Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono yang dalam momentum tahun ajaran baru kemarin menyampaikan bahwa perguruan tinggi perlu meningkatkan kewaspadaan dari pemikiran dan gerakan berbasis kekerasan, terutama yang hendak menggulingkan pemerintahan. Menurutnya, gerakan tersebut lahir dari paham keagamaan yang salah, seperti ekstremisme, intoleransi, hingga terorisme. (Humaspolri.go.id/13-08-2022)
Persoalan radikalime seolah menjadi masalah serius di negeri ini, sehingga negara benar-benar menggalakkan opini deradikalisasi lewat berbagai lini, termasuk lewat kanal-kanal media massa. Radikalisme dianggap sebagai ancaman serius bagi masyarakat, terutama bagi dunia pendidikan. Benarkah demikian?
Meluruskan Persepsi
Sebelum menghakimi, sejatinya kita perlu kembali meluruskan persepsi soal makna radikalisme yang sebenarnya. Sebab, hari ini radikalisme seolah menjadi narasi paling jitu untuk memukul opini Islam kaffah dan gerakannya. Lihat saja, bagaimana Wakapolri menegaskan bahwa gerakan radikalisme menginfiltrasi dunia pendidikan lewat kegiatan-kegiatan keagamaan, masjid-masjid kampus, dan penyebaran buku-buku. Bahkan beliau menyampaikan kekhawatiranya atas hasil survei yang dilakukan oleh Alvara Research pada tahun 2020 silam bahwa 23,4% mahasiswa di Indonesia pro terhadap Khilafah.https://narasipost.com/2020/10/19/jaminan-pendidikan-dalam-sistem-islam/
Jelas semua itu mengarah pada sentimen agama (baca:Islam). Seolah-olah, radikalisme berkaitan erat dengan aktivitas dakwah dan masjid. Lebih jauh lagi, Khilafah yang notabenenya ajaran Islam, dianggap sebagai produk pemikiran radikalisme, maka ketika ada mahasiswa yang terindikasi prokhilafah langsung dianggap radikal dan layak diwaspadai.
Dengan masifnya opini radikalisme di tengah masyarakat, islamofobia pun menyeruak. Umat Islam sendiri takut dengan ajaran agamanya. Mereka akhirnya mengganggap cukup menjadi muslim yang biasa-biasa saja, tidak perlu kaffah, karena itu adalah ekstrem bin radikal. Bahkan mereka dibuat bangga dengan label moderat ketimbang radikal. Sebab moderat ditancapkan di dalam mindset umat sebagai muslim yang baik, ramah terhadap nilai-nilai Barat, dan toleran. Lain halnya dengan radikal, yang sengaja distigmakan negatif dan layak dijauhi.
Sangat disayangkan, jika isu radikalisme kerap kali disandingkan dengan agama, khususnya Islam. Karena jelas hal tersebut sangat menyesatkan pemikiran umat. Padahal memang sudah kewajiban setiap muslim untuk berislam secara kaffah, taat secara totalitas terhadap syariat Islam. Sebagaimana Allah Swt berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah dan janganlah ikuti langkah-langkah setan. Karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian." (TQS. Al-Baqarah:208)
Jadi, menganggap seruan menegakkan Khilafah sebagai seruan radikal merupakan fitnah yang sangat keji. Karena sesungguhnya Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam, institusi warisan Rasulullah saw. Bahkan tegaknya Khilafah menjadi mahkota kewajiban bagi kaum muslimin. Mengapa? Karena hanya dengan Khilafah, syariat Islam dapat diterapkan secara sempurna. Misalnya, hukum potong tangan, qishas, membayar diyat, rajam, cambuk, dan lain sebagainya hanya tertera di dalam Al-Qur'an tanpa impelentasi nyata, sebab sistem Islam tidak ada di tengah-tengah kita. Padahal tidaklah Allah mewahyukan sebuah hukum kecuali untuk diterapkan bagi manusia.
Ingatlah firman Allah Swt;
”Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al Maidah: 50)
Oleh karena itu, tidaklah bijak menyematkan label radikal kepada kaum muslimin yang berupaya menerapkan syariat Islam secara totalitas dalam kehidupan dengan bingkai Khilafah Islamiah.
Sungguh, umat harus menyadari bahwa ada upaya pengadangan terhadap kebangkitan Islam. Hal tersebut sejalan dengan kepentingan melanggengkan eksistensi ideologi kapitalisme liberal di atas muka bumi. Maka, ideologi Islam dianggap sebagai ancaman. Oleh karena itu, umat harus memahami ancaman sesungguhnya terhadap dunia pendidikan hari ini, bukan Islam melainkan kapitalisme liberal.
Menilik Bahaya di Balik Wajah Manis Kapitalisme Liberal
Jika kita mau membuka mata terhadap fakta, sesungguhnya kita akan mendapati keyakinan bahwa yang menjadi ancaman nyata bagi dunia pendidikan adalah kapitalisme liberal. Karena sistem inilah, dunia pendidikan berselimutkan problematika. Betapa tidak, generasi muda yang semestinya dididik untuk menjadi generasi bertakwa, berkepribadian Islam, dan menguasai iptek, kini dikerdilkan sebatas menguasai iptek saja. Itu pun minimalis, karena yang menjadi orientasi sistem kapitalisme adalah menjadikan output oendidikan sebagai kaum pekerja yang menghamba kepada para kapitalis. Inovasi dan kreativitas mereka seolah dimandulkan, sejalan dengan masifnya arus liberalisme yang menerpa kehidupan para pemuda, seperti hedonisme, seks bebas, narkoba, dan lain sebagainya. Sejalan pula dengan kebijakan politik negara yang masih memberi karpet merah kepada korporat asing untuk menguasai aset-aset negeri ini. Akibatnya, nanti output pendidikan akan diarahkan sebagai buruh bagi perusahaan asing tersebut. Miris! idealisme generasi muda akan tergerus hanya dengan iming-iming materi, tak lagi visioner membangun peradaban, apalagi berkiprah untuk agamanya.https://narasipost.com/2021/09/09/mahasiswa-putus-kuliah-dan-cermin-pendidikan-dalam-islam/
Padahal sosok pemuda adalah tumpuan harapan bagi masa depan sebuah peradaban. Apa jadinya jika sistem hari ini justru membentuk para pemudanya menjadi generasi bermental matrealistik nan hedonis, bukan generasi faqih fiddin (memahami agama) dan ber syakhsiyah Islamiyyah (berkepribadian Islam)? Padahal sosok pemuda yang akan mampu menopang peradaban gemilang adalah mereka yang memahami hakikat dirinya sebagai seorang hamba Allah, karena dengannya ia akan mampu berpikir benar dan bersikap benar. Sebagaimana Rasulullah saw pernah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa kelak di Hari Kiamat, Allah akan menanungi para para pemuda yang menyibukkan dirinya untuk beribadah kepada Allah Swt dengan naungan-Nya.
Maka, kita harus bahu-membahu menyelamatkan dunia pendidikan dari ancaman kapitalisme liberal, yakni dengan menerapkan sistem pendidikan Islam yang terintegrasi dengan sistem Islam secara kaffah dalam institusi Khilafah. Lantas, tunggu apa lagi?[]
Dua jempol untuk Mba Hana.
Tulisannya selalu keren.