”Praktik suap dan korupsi di kampus disebabkan kecenderungan negara yang berlepas tangan terhadap pembiayaan pendidikan di kampus. Akhirnya, kampus mencari jalan keluarnya sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, lebih berorientasi pada pendanaan daripada memikirkan tujuan utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Wajah kampus berubah menjadi profit oriented.”
Oleh. Novianti
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Nama Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tercoreng dengan terbongkarnya kasus suap proses penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri Universitas Lampung (Unila). KPK menetapkan Rektor Unila, Prof Dr Karomani (KRM) sebagai tersangka telah menerima sekitar Rp5 miliar dalam proses penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri. (news.detik.com, 21/08/2022)
Unila sebagai PTN di tahun akademik 2022 ini menyelenggarakan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan jalur khusus Seleksi Mandiri Masuk Universitas Lampung (Simanila). Sebagai Rektor Unila, KRM berwenang mengatur mekanisme Simanila dengan jalan menyeleksi secara personal calon mahasiswa yang dikaitkan dengan kesanggupan biaya dari orang tuanya. Inilah celah yang digunakan KRM untuk kepentingan pribadinya.
Dalam menjalankan operasinya, KRM tidak bekerja sendiri tetapi dibantu oleh stafnya yang bertugas mengumpulkan sejumlah uang yang sudah disepakati dengan pihak orang tua peserta seleksi selain uang resmi yang sudah ditentukan pihak universitas. Nominalnya bervariasi dengan kisaran minimal Rp100 juta sampai Rp300 juta.
Jalur Mandiri Menciptakan Simbiosis Mutualisme
Menurut pengamat pendidikan Ubaid Matraji, kasus suap yang menyebabkan tertangkapnya rektor Unila bukan suatu hal yang mengejutkan. Jalur mandiri rawan suap karena sepenuhnya dikendalikan oleh masing-masing kampus. Diduga praktik suap atau jual-beli kursi di PTN juga terjadi di banyak kampus negeri di Indonesia. (bbc.com, 22/08/2022)
Kemendikbud Dikti menetapkan ada 3 jalur seleksi penerimaan mahasiswa baru di PTN yaitu Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), dan Jalur Mandiri yang diselenggarakan oleh masing-masing universitas. SNMPTN dan SBMPTN dilakukan serentak di seluruh Indonesia dengan menggunakan metode penilaian yang sama. Sementara Jalur Mandiri sepenuhnya dikendalikan pihak kampus dengan kuota sebesar 30%. Tak heran, jatah tersebut diperebutkan karena kesempatan terakhir bagi yang tidak lolos di 2 jalur sebelumnya.
Jalur mandiri menjadi celah bagi kampus untuk melakukan transaksional karena ada simbiosis mutualisme. Ada ruang yang dibangun dalam jalur mandiri di mana tidak bisa dinafikan sumbangan dari orang tua menjadi salah satu faktor pertimbangan. Kampus berdalih bahwa jalur mandiri diperlukan karena menjadi salah satu sumber dana bagi kampus.
Kapitalisasi Dunia Pendidikan
Dosen yang juga peneliti dan aktivis antikorupsi dari Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah mengatakan bahwa praktik suap dan korupsi di kampus disebabkan kecenderungan negara yang berlepas tangan terhadap pembiayaan pendidikan di kampus. Akhirnya, kampus mencari jalan keluarnya sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, lebih berorientasi pada pendanaan daripada memikirkan tujuan utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Wajah kampus berubah menjadi profit oriented.
Kampus sangat terbantu oleh dana dari program jalur mandiri untuk meningkatkan fasilitas pendidikannya. Karena itulah, usulan menghapus penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri tidak bisa dilakukan meski terbukti membuka celah korupsi di kampus-kampus.
Keadaan kampus saat ini merupakan adaptasi dari kebijakan yang secara evolutif memaksa kampus menanggalkan idealismenya. Tahun 2000 PTN berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Pada 2012, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tentang Pendidikan Tinggi, BHMN diputuskan berubah penamaan menjadi PTN-BH. Implikasinya ketika institusi pendidikan menjadi badan hukum , semua hal diserahkan sepenuhnya kepada institusi pendidikan tersebut. Negara telah melepas tanggung jawabnya sebagai penyelenggara utama pendidikan. Akibatnya, biaya pendidikan PTN makin mahal sehingga kelompok masyarakat berduit saja yang bisa mengaksesnya.
Akar masalah dari persoalan korupsi yang menjerat PTN sekarang adalah akibat penerapan sistem kapitalisme yang merupakan turunan dari sistem sekularisme. Sekularisme telah menjadikan manusia menjadi individu yang materialistik dan individualistik. Kesuksesan disandarkan pada hal-hal yang bersifat duniawi seperti harta dan jabatan. Nilai-nilai sakral dalam ajaran agama disingkirkan sehingga wajar, terkait halal dan haram diabaikan termasuk dalam pencarian dana atau penyelenggaraan berbagai proyek di lingkungan kampus.
PTN yang diharapkan menjadi lembaga yang menyiapkan generasi berkarakter, justru menjadi lahan subur bagi praktik-praktik ketidakjujuran. Lulusannya berfikir pragmatis, sebatas mendapat pekerjaan dan profesi agar meraih kemapanan secara finansial.
Sistem Pendidikan Islam
Berbeda dengan konsep pendidikan perguruan tinggi dalam Islam yang tujuannya adalah untuk membentuk sosok berkepribadian Islam. Di mana lulusannya, tidak hanya berilmu dan cakap, juga memiliki visi misi besar terkait dengan keumatan. Mereka memiliki gambaran masa depan bagaimana memberdayakan peran yang berkorelasi dengan kemajuan kolektif masyarakat dan peradaban.
Ini terwujud karena sejak dari pendidikan dasar, kaidah berpikir dan nafsiyahnya terbina dengan tsaqafah Islam yang menjadi muatan utama, seperti bahasa Arab, fiqih, hadis dan lainnya. Sedang ilmu pengetahuan dan sains dipelajari disesuaikan dengan kebutuhan pada setiap jenjang yang ditujukan demi kemaslahatan umat. Akidah Islam menjadi dasar dari penyusunan kurikulum pendidikan.
Negara sebagai penanggung jawab dalam penyelenggaraan sistem pendidikan termasuk dalam pembiayaannya. Gaji para guru/dosen, infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara karena pendidikan merupakan salah satu dari kebutuhan dasar rakyat selain keamanan dan kesehatan.
Dalam era peradaban Islam, para khalifah selaku pemimpin penyelenggara negara dengan sistem yang disebut khilafah, menyediakan pendidikan perguruan tinggi dengan berbagai macam fasilitas yang memadai seperti kamar mandi, taman, ruang makan dan dapur. Puncak dari perkembangan intelektual terjadi pada era Abbasiyyah. Saat itu didirikan Baitul Hikmah yang merupakan perpustakaan terbesar di dunia pada masanya, sebuah pusat studi yang bisa diakses oleh siapa saja.
Allah memuji orang-orang berilmu dan banyak hadis yang memotivasi agar semangat menuntut ilmu seperti : "Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim).
Inilah yang mendorong semangat keilmuan luar biasa lalu dukungan penuh dari negara sehingga lahirlah para ulama dan ilmuwan yang namanya tertulis dengan tinta emas sepanjang sejarah. Di bidang fikih, dikenal imam empat mazhab yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Hambali. Dalam bidang kedokteran dikenal Ibnu Sina dan Abu Bakar Al-Razi. Dalam bidang astronomi ada Al-Fazari, astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Buah karya mereka terus dimanfaatkan hingga sekarang.
Negara memiliki kemampuan mendanai penyelenggaraan pendidikan yang membutuhkan dana besar karena memperoleh pemasukan dari berbagai pos diantaranya dari pos kepemilikan umum seperti minyak dan gas, hutan, laut dan berbagai barang tambang. Semua pos pemasukan disimpan dalam Baitulmal dan pengeluarannya diatur demi pelayanan kepada rakyat mengacu pada syariat Islam.
Indonesia, negara kaya dengan SDA dan SDM, sebetulnya sangat mungkin menyelenggarakan pendidikan tinggi berkualitas dan bisa dijangkau oleh setiap orang. Syaratnya adalah menggantikan asas penyelenggaraan keseluruhan sistemnya dengan berdasar akidah Islam. Sistem sekuler dan kapitalis yang menjadi sumber persoalan munculnya korupsi di kampus-kampus, diganti dengan sistem Islam. Jika ini terwujud, kampus akan melahirkan intelektual yang membangun Indonesia menjadi negara sejahtera dalam naungan rida Allah Subhanahu wa ta'ala.[]