Justice Collaborator: Tobat atau Siasat?

”Intinya, banyak orang yang berpandangan bahwa eksistensi JC dimanfaatkan sebagai sarana negosiasi para narapidana agar dapat lolos dari jeratan hukum.”

Oleh. Tsuwaibah Al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Justice Collaborator (JC) ramai jadi bahan pembicaraan publik, pasca tersangka pembunuhan Brigadir J yakni Bharada E mengajukan permohonan JC kepada lembaga LPSK. Digadang-gadang upaya ini akan mampu meringankan hukumannya.

Ibu pertiwi dikejutkan dengan kasus penembakan polisi. Diduga terjadi baku tembak antarajudan di kediaman dinas Eks Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo (FS). Bharada E menembak Brigadir J, peristiwa itu bermula dari kasus pelecehan dan pengancaman korban terhadap istri FS. Pelaku langsung dibekuk pihak kepolisian pada Rabu (3/8/2022) sebab tersandung pasal 338 juncto Pasal 55 dan 56 KUHP (Suara.com, 8/8/2022).

Ahad (7/8) Bharada E melalui kedua kuasa hukumnya, Deolipa Yumara dan Umar Burhanuddin mengajukan Justice Collaborator kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) (detikNews.com, 8/8/2022).

Apakah Justice Collaborator (JC) itu? Benarkah upaya tersebut dapat meringankan hukuman Bharada E? Apakah keberadaan JC ini menjadi pintu tobat ataukah justru siasat? Bagaimana pandangan Islam terkait JC ini?

Akar Sejarah Justice Collaborator

Justice Collaborator diperkenalkan pertama kalinya di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Upaya ini muncul untuk mengatasi perilaku mafia kejahatan yang kerap bungkam (omerta) dalam mengungkap jejaring kejahatannya. Oleh karena itu, ada iming-iming reward bagi tersangka yang ’bernyali,' membongkarnya, dengan menawarkan JC berupa perlindungan dan korting masa hukuman.

JC ini berkembang dan meluas ke beberapa negara seperti Italia (1979), Portugal (1980), Spanyol (1981), dan lainnya. Berlanjut pada konvensi Anti Korupsi (Nation Convention Againts Corruption-UNCAC. Hal ini diharapkan mampu menekan angka korupsi secara global. Tak hanya membongkar gurita korupsi, JC ini pun kemudian digunakan untuk mengungkap kejahatan terorganisir lainnya.

Menelisik Justice Collaborator

Bhayangkara Dua Bharada Richard Eliezer atau Bharada E ditangkap atas kasus penembakan terhadap Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Tak berselang lama, tersangka melalui kedua pengacaranya mengajukan Justice Collaborator kepada LPSK. Hal ini dilakukan karena Bharada E selain menjadi tersangka, dia pun menjadi saksi kunci atas peristiwa tersebut. Diduga kuat, penembakan ini merupakan salah satu bagian dari pembunuhan berencana.

Justice Collaborator adalah pelaku tindak pidana yang bekerja sama dengan aparat hukum untuk membongkar kasus tersebut. Di Indonesia, aturan terkait JC tertera dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Pasal 10 ayat 2 diatur tentang hubungan antara kesaksian JC dan hukuman yang diberikan. Di sana disebutkan, seorang saksi yang merangkap tersangka dalam suatu kasus, tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana bila terbukti salah. Namun, kesaksiannya dapat mendatangkan protection, treatment, dan reward.

Terkait panduan teknis JC telah dirilis oleh MA dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011, JC disebutkan sebagai salah satu pelaku tindak perdana tertentu. Adapun syaratnya, bukan pelaku utama apalagi otak kejahatan. Juga mengakui kejahatan yang telah dilakukan dan memberikan kesaksian dalam proses peradilan. Tindak pidana tertentu dibatasi pada tindak pidana korupsi, terorisme, narkoba, money laundry, trafficking, maupun tindak pidana lain yang terencana atau terorganisir. Sehingga, memberikan dampak buruk bagi stabilitas dan keamanan masyarakat.https://narasipost.com/2022/05/31/restorasi-keadilan-adilkah/

Salah satu yang menjadi rujukan SEMA adalah pasal 37 ayat 2 dan 3 Konvensi PBB Anti Korupsi atau United Nations Convention Againts Corruption-UNCAC 2003. Ayat 2 pasal itu berbunyi: ”Setiap negara wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus tertentu mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerja sama yang substansial dam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini.”

Selain itu ada pula Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK. Di dalamnya dibahas berkaitan dengan syarat yang harus dipenuhi bila ingin menyandang status JC. Syarat ini bersifat kumulatif, tidak boleh parsial. Pertama, tindak pidana yang akan diungkap terkategori tindak pidana serius atau terorganisir. Kedua, memberikan keterangan yang signifikan, relevan, dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana tersebut. Ketiga, bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya. Keempat, kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan, dinyatakan dalam bentuk tertulis. Kelima, ada ancaman nyata atau kekhawatiran akan ada ancaman atau tekanan. Baik secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerja sama atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya. Bila syarat-syarat itu terpenuhi, maka hakim dapat memberikan keringanan pidana atau bentuk perlindungan lainnya. Berupa pidana percobaan bersyarat khusus atau pidana penjara paling ringan di antara pelaku lain dalam perkara yang sama.https://narasipost.com/2022/02/01/and-justice-for-all/

JC ini bukan pertama kalinya dilakukan oleh Bharada E dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Namun, beberapa tahun silam publik juga sempat dihebohkan dengan kicauan Nazaruddin sang Bendahara Umum Partai Demokrat yang menjadi tersangka megakorupsi proyek Hambalang. Dia menyandang status Justice Collaborator dan diklaim berhasil menyeret komplotannya. Reward-nya, masa hukumannya dipotong sebanyak 49 bulan alias 4 tahun. Namun, banyak pihak yang menyangsikan mekanisme tersebut. Sebab, Nazaruddin merupakan pelaku utama dan sempat kabur ke luar negeri. Diduga kuat terjadi penyelewengan di balik mekanisme JC.

Tobat atau Siasat?

Sekilas model penegakan hukum semacam JC ini bersifat taktis dan menguntungkan banyak pihak. Bagi tersangka bisa meringankan hukuman, sedangkan bagi pihak kepolisian membantu menguak tabir persekongkolan kejahatan. Namun, jangan dulu semringah. Sebab, siapa yang bisa menjamin sang tersangka telah bertobat dan betul-betul menyesali perbuatannya serta beritikad baik untuk bekerja sama dengan pihak berwajib? Alih-alih membeberkan kronologis peristiwa berikut pelaku dengan jujur, tak sedikit yang justru memberikan kesaksian palsu untuk menyeret orang lain untuk tenggelam dalam kubangan yang sama.

Namun, sistem demokrasi yang telah lama diadopsi negeri ini tak peduli. Apa pun motifnya tak jadi soal, yang penting pelaku lain ikut teringkus juga. Permasalahannya, apakah semua tersangka berpeluang menjadi JC? Tentu saja tidak, integritas calon JC diuji terlebih dahulu oleh penegak hukum.

Namun banyak faktor yang mempengaruhi lahirnya keputusan, layak tidaknya seorang tersangka menyandang status JC. Bisa dari objektivitas sang penegak hukum, namun tak jarang lahir dari politik transaksional ataupun politisasi hukum yang memang telah menargetkan pihak tertentu untuk dijadikan pesakitan. Intinya, banyak orang yang berpandangan bahwa eksistensi JC dimanfaatkan sebagai sarana negosiasi para narapidana agar dapat lolos dari jeratan hukum. Khususnya, pada kasus korupsi yang telah membelit negeri ini.

Akal-akalan Demokrasi-Kapitalisme

Demokrasi memang cacat sejak lahir, walau ‘didandani' sedemikian rupa tetap saja tampak abnormalnya. Praktik politik transaksional sudah mewabah ke berbagai lini kehidupan, termasuk ranah hukum. Mereka jemawa membuat aturan sendiri, namun mereka pulalah yang bernafsu untuk melanggarnya. Hukum diotak-atik demi memenuhi hasrat kepentingan mereka.

Ketidakmampuan aparat berwenang untuk membongkar suatu kasus yang melibatkan pejabat kelas kakap atau kapitalis tajir bukan karena ketidakmampuan mereka dalam membongkarnya. Namun, terjegal oleh titah sang empunya sebagai pemegang sistem demokrasi ini. ”Ingin hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai.”

Jadilah mereka memunculkan mekanisme Justice Collaborator yang rawan disusupi banyak kepentingan dan dibubuhi ancaman. Seandainya mekanisme hukum ala demokrasi-kapitalisme manjur bin jitu, JC tak diperlukan. Namun, bukan demokrasi namanya, jika tidak menyelesaikan masalah dengan masalah. Artinya, keberadaan JC menunjukkan secara vulgar lemahnya peradilan dan hukum di negeri penganut demokrasi.

Khilafah Atasi Masalah Tanpa Masalah

Islam hadir di muka bumi ini, bukan sebagai pemanis belaka. Namun, sengaja diturunkan untuk mengatur tata kehidupan manusia agar berjalan tertib, bahagia, lagi berkah. Upaya untuk menertibkan kehidupan manusia di antaranya dengan penerapan sistem hukum dan peradilan Islam.

Terkait kasus pembunuhan, Islam memiliki pedoman khas yang terbukti bisa menimbulkan efek jera (zawajir) sekaligus penebus dosa (jawabir. Kala seseorang menghilangkan nyawa orang lain, ada 3 hak yang terlibat di dalamnya. Imam Ibnu Al-Qayyim menjelaskan: “Bahwa pembunuhan berhubungan dengan tiga hak: hak Allah, hak korban (al-maqtul), dan hak wali/keluarga korban (auliya al-maqtul).” [Dinukil dari Hasyiyah Ar-Raudhul Murbi’, Abdurrahman Qosim, 7/165].

Pertama, hak Allah. Membunuh seorang muslim termasuk dosa besar yang dimurkai Allah, terlebih jika dilakukan dengan sengaja apalagi terencana. Firman Allah Swt. dalam surah An-Nisa ayat 93 yang artinya: ”Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam. Ia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, mengutukinya, serta menyediakan azab yang besar baginya.”

Rasulullah saw. juga melarang membunuh orang kafir yang terlindungi darahnya. Beliau saw. bersabda: ”Barang siapa yang membunuh orang kafir yang memiliki perjanjian perlindungan (mu’ahad), maka dia tidak akan mencium wangi surga. Sungguh, wangi surga itu tercium sejauh jarak empat puluh tahun.” (HR. Bukhari)

Kaitannya dengan hak Allah, akan gugur jika pelaku pembunuhan ini menyesal dan bertobat, memohon ampun atas dosa besar yang telah dilakukan dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Kedua, hak korban. Hak ini tidak bisa digugurkan begitu saja tersebab raibnya nyawa korban. Sehingga, tidak ada jaminan pemaafan dari korban. Oleh karena itu, korban akan menuntut haknya pada pembunuhnya di hari kiamat kelak. Dalam hadis dari Ibnu Mas’ud r.a., Nabi saw. bersabda: ”Sengketa antarmanusia yang pertama kali diputuskan pada hari kiamat adalah masalah darah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Lantas, bagaimana dengan hak korban di akhirat kelak? Imam Ibnu Al-Qayyim memaparkan: ”Apabila pembunuh menyerahkan dirinya kepada wali korban, dia menyesal dan takut kepada Allah, bertobat sungguh-sungguh, maka hak Allah menjadi gugur dengan tobat, hak wali gugur dengan dia menyerahkan diri, berdamai, dan memaafkan. Tinggallah hak korban. Allah akan ganti haknya pada hari kiamat, dari hamba-Nya yang bertobat, dan Allah akan memperbaiki hubungan keduanya.” [Dinukil dari Hasyiyah Ar-Raudhul Murbi’, Abdurrahman Qosim, 7/165]

Ketiga, hak wali (keluarga) korban yang menjadi ahli waris. Dalam kasus pembunuhan yang disengaja, wali korban memiliki 3 opsi dalam tuntutan hak, yakni: qishas (nyawa bayar nyawa), bukan berarti wali korban bisa melampiaskan dendamnya dengan membabi buta. Namun, pelaksanaan vonis mati ini hanya bisa dilakukan oleh negara. Firman Allah Swt. : ”Wahai orang-orang, diwajibkan atas kamu untuk melaksanakan qishah berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh..” (TQS. Al-Baqarah: 178)

Jika salah satu pihak keluarga korban mau memaafkan, maka pelaku lolos dari hukuman qishash. Namun, bukan berarti lepas tanggung jawab begitu saja. Konsekuensi pemaafan itu yakni membayar diyat. (Fikih Sunah, 2/523)

Adapun diyat dalam kasus pembunuhan ada dua macam yakni diyat mukhaffafah (diat ringan). Diat ini berlaku bagi pembunuhan tidak sengaja atau semi sengaja. Sedangkan diyat mughaladzah (diat berat) bagi pembunuhan sengaja atau terorganisir. Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw. bersabda: ”Barang siapa yang menjadi wali korban pembunuhan, maka ia diberi dua pilihan: memilih diyat atau qishah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Besarnya diyat mughaladzah senilai 100 ekor unta, 40 ekor unta di antaranya sedang bunting. Bisa dibayarkan dalam bentuk unta atau uang senilai harga unta sesuai ketentuan di atas. Jika pelaku dan keluarganya tidak mampu membayar diat itu, maka beban ini dilimpahkan pada negara (Baitulmal).

Selanjutnya pelaku bisa terbebas dari vonis hukuman tanpa syarat, jika wali korban memberikan ampunan tanpa bayaran. Ini dikategorikan sedekah bagi wali yang memaafkan.

Adapun lembaga peradilan yang berwenang menangani kasus pembunuhan dalam negara yang menerapkan Islam kaffah (Khilafah) adalah peradilan Hisbah. yakni peradilan yang dipimpin oleh Qadhi Muhtasib untuk menyelesaikan pelanggaran yang bisa membahayakan hak masyarakat (jemaah). Peradilan ini bertugas dalam melakukan pengkajian terhadap seluruh permasalahan yang terkait dengan hak umum, tanpa ada penuntut. Kecuali pada kasus hudud (zina, menuduh berzina, sodomi, mencuri, minim khamar) dan jinayat (pembunuhan, menganiaya dengan melukai anggota tubuh manusia).

Fungsi sekaligus kewajiban Qadhi Muhtasib ini adalah menegakkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Tugasnya tidak membutuhkan majelis (gedung tertentu), sebab keberadaannya menyebar luas ke berbagai pelosok daerah. Peradilan ini didampingi aparat kepolisian yang bertanggung jawab untuk mengeksekusi keputusan dan perintahnya. Keputusannya bersifat mengikat dan harus dieksekusi saat itu juga.

Dengan begini, rantai persekongkolan mafia kejahatan bisa dengan mudah terendus dan terbongkar berdasarkan keprofesionalan aparat, tidak mengandalkan kesaksian pelaku.

Khatimah

Sungguh di balik keindahan Islam, tersirat juga ketegasan hukum-hukumnya berikut aparat penegaknya. Hukum Islam dibangun bukan berdasarkan iltizam (kesepakatan) manusia, namun berdasarkan wahyu Allah Swt. Keputusan peradilan dalam Islam bersifat mengikat dan tidak bisa dibatalkan oleh siapa pun. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Sistem Islam (Khilafah) Kunci Pembebasan Gaza-Palestina
Next
Bidadari Tanpa Sayap
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram