Ironi Apresiasi IRRI di Tengah Gempuran Impor

“Sejatinya penghargaan IRRI tidak serta-merta membuktikan bahwa negeri ini telah bebas dari impor. Kemampuan pemerintah memproduksi satu produk, tetapi gagal mewujudkan produksi pangan lainnya, sejatinya belumlah dikatakan berhasil mewujudkan swasembada pangan.”

Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Pemerintah Indonesia baru saja mendapat penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) atas keberhasilannya mewujudkan swasembada pangan. Penghargaan untuk sistem pertanian dan pangan yang tangguh, serta swasembada beras tahun 2019-2021 melalui penerapan inovasi teknologi pertanian, diberikan langsung oleh IRRI kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada Minggu, 14 Agustus 2022.

Dalam pidatonya, Jokowi mengatakan jika penghargaan tersebut diberikan karena Indonesia mampu membuktikan ketahanan pangannya di sektor beras. Tak hanya itu, Jokowi pun membeberkan capaiannya selama tujuh tahun terakhir dalam membangun infrastruktur penunjang pertanian.

Jokowi mengeklaim telah meresmikan 29 bendungan besar sejak tahun 2015. Jumlahnya akan bertambah 38 bendungan tahun ini, serta akan menyelesaikan 61 bendungan lagi sampai 2024. Ditambah pembangunan 4.500 embung dan 1,1 juta jaringan irigasi. Presiden menyebut, salah satu hasil dari pembangunan tersebut adalah berkurangnya impor jagung dari 3,5 juta ton turun menjadi 800 ribu ton saja. Termasuk sudah tidak lagi mengimpor beras selama tiga tahun berturut-turut. (detik.com, 15/08/2022)

Benarkah klaim Jokowi jika negeri ini tidak lagi mengimpor beras selama tiga tahun berturut-turut? Apakah infrastruktur pertanian yang dibangun memberi dampak signifikan terhadap nasib petani? Bagaimana pula Islam mewujudkan swasembada pangan tanpa bergantung impor?

Jejak Impor Beras

Presiden Jokowi dalam pidato penerimaan penghargaan IRRI mengatakan bahwa Indonesia tidak lagi melakukan impor beras sejak tiga tahun lalu. Menurutnya, hal ini terjadi karena Indonesia secara konsisten telah memproduksi beras sebanyak 31,3 juta ton per tahun sejak 2019 hingga 2021. Bahkan, dalam hitungan BPS di akhir April 2022, stok beras mencapai tingkat tertingginya yakni 100,2 juta ton.

Namun, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) yang diperbarui pada 12 Agustus 2022, Indonesia justru masih mengimpor beras dari beberapa negara. Di tahun 2021, jumlah impor bahkan mencapai 407.741 ton, naik dari tahun 2020 yang hanya sebesar 356.286,2 ton. Jumlah tersebut terbagi di beberapa negara yaitu India, Thailand, Vietnam, Pakistan, Myanmar, Jepang, Cina, dan sejumlah negara lainnya. Sedangkan di tahun 2020, impor beras RI terbesar berasal dari Pakistan yang mencapai 110.516,5 ton. Sementara di tahun 2019, impor berjumlah 444.508,8 ton yang berasal dari Myanmar dan Thailand. (detik.com, 15/08/2022)

Menanggapi data impor selama 2019 hingga 2021, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Setianto, menegaskan bahwa Indonesia memang tidak lagi melakukan impor beras selama beberapa tahun terakhir. Setianto menyebut, data impor di BPS bukanlah untuk beras medium yang dikonsumsi sehari-hari. Namun, beras khusus (beras merah, ketan, hitam) yang didistribusikan ke lokasi-lokasi tertentu seperti hotel, restoran, dan bisnis katering.

Jika pemerintah beralasan bahwa yang diimpor bukanlah beras untuk konsumsi masyarakat, melainkan beras khusus yang tidak bisa ditanam di Indonesia, lantas mengapa pemerintah tidak menaman sendiri seluruh jenis padi yang ada? Bukankah Indonesia adalah negara tropis yang memiliki potensi pertanian yang menjanjikan?

Negeri ini memiliki setidaknya 26 juta hektare lahan pertanian dan sekitar 68,3 juta hektare lahan agrikultur. Jumlah tersebut merupakan 33 persen dari total wilayah daratan Indonesia. Jika saja pemerintah mau bersusah payah dan mengerahkan daya upaya serta sarana dan prasarana yang dimiliki untuk meningkatkan produktivitas lahan, niscaya negeri ini mampu mewujudkan lumbung pangannya sendiri tanpa harus bergantung pada impor. Sayangnya hal itu tidak dilakukan pemerintah.

Suramnya Nasib Petani

Di tengah masifnya pembangunan infrastruktur pertanian yang diklaim pemerintah, nasib suram justru dialami para petani. Mereka masih saja bergelut dengan berbagai problematik klasik dalam bidang pertanian. Pertama, kian menyempitnya areal pertanian di beberapa wilayah. Hal ini terjadi bukan hanya disebabkan oleh maraknya bisnis perumahan, tetapi juga akibat ekspansi pertambangan dan perkebunan.

Kedua, terbatasnya jumlah penyuluh pertanian. Akibatnya, sebagian masyarakat masih bertani dengan cara konvensional dan menggunakan bibit yang sudah tidak disarankan. Padahal, varietas unggul sudah disediakan oleh dinas pertanian yang membuat hasil lebih banyak dan jangka waktu tanam yang lebih singkat.

Ketiga, mahalnya harga pupuk, pestisida, dan lain-lain. Petani jelas mengalami dilema. Sebab, pupuk nonsubsidi mahal, sedangkan pupuk subsidi dibatasi oleh pemerintah. Sebagian petani memaksa membeli pupuk nonsubsidi karena pupuk subsidi tidak mencukupi kebutuhan lahan. Namun, sebagian lainnya tetap memilih bertahan dengan pupuk subsidi, meskipun hasil panen berpotensi menyusut hingga lima puluh persen.

Keempat, anjloknya harga gabah saat panen. Murahnya harga gabah saat panen raya membuat petani kelimpungan. Pasalnya, harga tersebut sering kali tak sebanding dengan biaya operasional. Belum lagi, serapan gabah oleh Bulog terbilang rendah, sehingga petani terpaksa menjual sebagian gabahnya kepada tengkulak dengan harga yang lebih rendah.

Para petani seperti ‘sudah jatuh tertimpa tangga’. Sudahlah lahan dan permodalan terbatas, namun masih harus menerima kenyataan pahit diserbu dengan pangan impor yang meluluhlantakkan harga gabah. Meski pemerintah berdalih tidak lagi mengimpor beras konsumsi masyarakat, tetapi komoditas lain pun masih dipenuhi dari impor. Lantas, layakkah negeri ini disebut telah berhasil mewujudkan swasembada, jika berbagai komoditas pangan lainnya pun masih diperoleh dari impor?

Logika Neoliberalisme

Ketidakmampuan pemerintah menyediakan komoditas nasional secara mandiri, bukan hanya disebabkan oleh adanya faktor alam, misalnya tanah yang kurang subur. Namun hal ini tidak lepas dari logika neoliberalisme. Pemerintah hanya bertindak sebagai regulator, operator, unit pelaksana teknis, dan otonomi daerah atau desentralisasi kekuasaan.

Dengan fungsi tersebut, pemerintah hanya membuat aturan yang justru mendatangkan kemaslahatan bagi korporasi. Kehadiran pemerintah sebagai regulator juga terlihat pada liberalisasi pengaturan beras yang banyak dikendalikan oleh produsen atau investor besar, importir, dan distributor. Inilah sejatinya yang menjadi persoalan utama.

Ditambah pula dengan jebakan perjanjian internasional yang menjadikan negeri ini semakin kehilangan kedaulatan pangan. Sebut saja ketika pemerintah meratifikasi The Agreement on Agriculture (AoA) melalui Undang-Undan Nomor 7 Tahun 1994, sekaligus menyetujui pembentukan World Trade Organization (WTO) bersama 125 negara lain pada 1995 lalu, yang menandai diberlakukannya sistem perdagangan bebas. Kesepakatan tersebut membuat para anggotanya harus mengurangi dukungan terhadap sektor pertanian.

Cara Khilafah Mewujudkan Swasembada Pangan

Paradigma kapitalisme dalam mengelola kebutuhan pangan jelas berbeda dengan Islam. Sistem Islam di bawah naungan Khilafah menjalankan fungsi kepemimpinannya dengan basis syariat. Sistem Khilafah ditopang oleh sistem ekonomi, politik ekonomi, sistem politik, termasuk politik pemerintahan Islam.

Penyatuan seluruh perangkat tersebut telah mampu mewujudkan peran negara sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (perisai) yang akan melindungi seluruh rakyat. Sebagaimana tertuang dalam hadis Ahmad dan Bukhari, ,“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus) rakyat dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.”

Apabila negeri ini ingin menjadikan lumbung pangannya berhasil dan tidak terus menerus mengalami kegagalan, seharusnya sedari awal menerapkan program ketahanan pangan sebagaimana yang telah ditempuh oleh Khilafah. Setidaknya ada lima prinsip pokok yang harus ditempuh untuk mewujudkan ketahanan pangan, yaitu:

Pertama, negara melakukan optimalisasi produksi. Yakni dengan mengoptimalkan seluruh potensi lahan guna melakukan usaha pertanian berkelanjutan sehingga dapat menghasilkan bahan pangan pokok. Negara dapat memanfaatkan berbagai aplikasi sains dan teknologi sebagai sarana memaksimalkan hasil pertanian. Seperti mencari lahan yang optimal untuk benih tanaman tertentu, pemupukan, teknik irigasi, penanganan hama hingga pemanenan, termasuk pengolahan pascapanen.

Kedua, mengadaptasi gaya hidup. Hal ini dilakukan agar masyarakat tidak berlebih-lebihan dalam mengonsumsi pangan. Sebab, berlebihan dalam mengonsumsi makanan dapat mengganggu kesehatan juga berpotensi menambah persoalan limbah.

Ketiga, menerapkan manajemen logistik. Karena itu, masalah pangan dan semua yang menyertainya (irigasi, pupuk, antihama) akan dikendalikan oleh negara. Caranya dengan memperbanyak cadangan saat produksi berlimpah, kemudian mendistribusikannya secara selektif saat persediaan mulai berkurang. Pada saat ini peran teknologi pascapanen sangat dibutuhkan demi pemerataan distribusi.

Keempat, melakukan prediksi terhadap iklim. Yaitu menganalisis segala kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrem, yang dilakukan dengan cara mempelajari fenomena alam. Seperti curah hujan, penguapan air permukaan, kelembapan udara, termasuk intensitas sinar matahari yang diterima bumi.

Kelima, membuat mitigasi bencana kerawanan pangan. Yakni mengantisipasi terhadap kemungkinan kondisi rawan pangan yang terjadi karena perubahan drastis kondisi alam dan lingkungan.

Langkah-langkah tersebut juga pernah diterapkan saat Nabi Yusuf a.s. membangun ketahanan pangan di Mesir dahulu. Nabi Yusuf yang berhasil menerjemahkan mimpi raja Mesir tentang tujuh sapi kurus dan tujuh sapi gemuk, dengan tafsiran siklus ekonomi tujuh tahunan negeri Mesir. Yaitu akan terjadi tujuh tahunan masa panen yang subur, kemudian disusul tujuh tahun masa paceklik, dan kemudian subur kembali. Saat itu Nabi Yusuf tidak mengonsumsi semua makanan pada masa subur, tetapi menyimpannya sebagian untuk cadangan.

Khatimah

Sejatinya penghargaan IRRI tidak serta-merta membuktikan bahwa negeri ini telah bebas dari impor. Kemampuan pemerintah memproduksi satu produk, tetapi gagal mewujudkan produksi pangan lainnya, sejatinya belumlah dikatakan berhasil mewujudkan swasembada pangan. Apalagi jika komoditas pangan lainnya masih sangat bergantung pada impor. Saatnya mengubah paradigma kapitalisme dengan Islam yang akan membawa negeri ini pada kesejahteraan hakiki. Di bawah naungan Khilafah, negara benar-benar mampu mewujudkan swasembada pangan tanpa impor.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Menelaah Beragam Problematik yang Menimpa Negeri Dua Nil
Next
Kapitalisme Liberal Ancaman Nyata Dunia Pendidikan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram