"Pemilu dijadikan ajang para pemodal/ kapitalis untuk berlomba-lomba agar mereka tetap bisa menguasai hajat hidup rakyat, agar mereka tetap aman pada posisinya sebagai orang yang berkuasa. Para kapitalis ini menggunakan cara dengan memberi dana kepada parpol tanpa cuma-cuma."
Oleh. Meitya Rahma
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Belum memasuki tahun 2024 aroma pemilu sudah mulai tercium. Parpol baru maupun lama sudah mempersiapkan semua kelengkapan untuk mendaftar di KPU. Dari data KPU hingga Minggu (7/8), sudah ada 14 partai politik mendaftar sebagai bakal calon. Sebelumnya, Partai Gelora juga mendaftar ke KPU. Gelora menjadi partai ke-14 yang mendaftar sebagai bakal calon. Sedangkan dua partai lain yakni Partai Republik Indonesia dan Partai Hanura. Sebelumnya, Partai Gelora juga mendaftar ke KPU. (Kumparannews.com, 8/8/22)
Partai politik ini berbondong-bondong mendatangi Gedung Komisi Pemilihan (KPU) pada hari pertama pendaftaran partai politik (parpol) peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Partai politik yang ingin menjadi peserta pemilu 2024 harus memasukkan data-data persyaratan sebagai partai politik peserta pemilu ke Sipol (Sistim Informasi Politik). Partai politik yang akan menjadi peserta pemilu 2024 itu terlebih dahulu harus sudah meng-input data-data persyaratan sebagai partai politik peserta pemilu di sistem informasi partai politik. Setelah itu, parpol baru bisa datang ke kantor KPU untuk mendaftar. (Kumparannews.com, 8/8/22)
Kelengkapan administrasi partai di Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) ini pun jadi pertanyaan. Bahwa yang datang mendaftar itu memang sudah benar-benar melengkapi 100 persen persyaratan ataukah hanya datang saja dulu. Perkara syarat belum lengkap tak masalah. Harusnya tidak hanya datang dengan ‘tangan kosong', sekadar memberikan impresi kesiapan menuju Pemilu 2024 tanpa memberikan kesiapan secara administratif. (Medcom.id, 8/8/22)
Pemilu ala demokrasi memang memiliki persiapan yang sedemikian rupa. Kelengkapan data-data administrasi sebagai syarat. Tercatat sudah 14 parpol yang mendaftar di KPU. Namun, mereka belum tentu lolos, karena syarat administratif harus dipenuhi. Dari data KPU tercatat 14 parpol yang telah mendaftar, ini berarti ternyata masih banyak masyarakat yang ingin membentuk parpol, dan masuk di dalamnya.
Mendirikan sebuah parpol membutuhkan biaya yang tidak sedikit tentunya. Hanya orang-orang yang memiliki modal besar saja yang dapat mendirikan parpol. Modal individu saja kadang tidak cukup untuk membiayai sebuah parpol agar eksis. Maka, hal yang bisa dilakukan parpol tersebut adalah menerima talangan dana dari pihak luar. Siapa lagi kalau bukan para kapitalis. Suntikan dana ini pun tak cuma-cuma. Ada konsekuensi ketika parpol ini bisa memenangkan pemilu nantinya. Parpol-parpol ini akan membayarnya dengan membuat aturan atau kebijakan yang menguntungkan bagi para kapitalis. Namun, sayangnya kebijakan ini tidak memberikan maslahat bagi rakyat. Produk kebijakan tersebut misalnya saja UU Minerba (Mineral, batubara), Omnibus Law, dan lain-lain.
Inilah gambaran parpol di alam demokrasi. Tujuan parpol-parpol ini sebenarnya apa? Dengan janji kampanye yang membawa perubahan bagi negeri, akankah benar seperti itu? Atau sekadar mencari popularitas demi menggaet masa? Atau meraup keuntungan? Jika tujuannya ingin membawa perubahan pada negeri ini, benarkah akan terwujud? Akankah terwujud dengan membiarkan para pemodal (kapitalis) memberi suntikan dana kampanye. Model seperti ini akan terus berulang di setiap masa kampanye. Negeri ini tidak akan berubah, bahkan bisa tambah terpuruk.
Pemilu dijadikan ajang para pemodal/ kapitalis untuk berlomba-lomba agar mereka tetap bisa menguasai hajat hidup rakyat, agar mereka tetap aman pada posisinya sebagai orang yang berkuasa. Para kapitalis ini menggunakan cara dengan memberi dana kepada parpol tanpa cuma-cuma. Alhasil, pemilu dalam sistem kapitalis, walau dibungkus dengan jargon demokrasi "dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat" tidak akan pernah membawa kemaslahatan bagi rakyat. Jargon hanya tinggal jargon saja. Di negeri kapitalis, jargon demokrasi ini hanya pemanis, dalam tataran praktik jauh panggang dari jargonnya. Rakyat tetap saja menjadi pihak yang terzalimi. Bualan semasa kampanye tampak meyakinkan, namun setelah mereka pada posisi tampuk kekuasaan mereka lupa akan janjinya kepada rakyat. Padahal rakyat sudah menaruh harapan lebih kepada parpol-parpol dan anggota dewan.
Maka, menjadi rakyat yang cerdas politik itu perlu. Menginginkan perubahan negeri ini menjadi lebih baik adalah sesuatu hal yang utopis, jika demokrasi menjadi asasnya. Karena sejatinya, melihat jargon demokrasinya saja sudah tidak relevan dengan kenyataan. Maka, sudah saatnya rakyat membutuhkan sistem yang dapat membawa kemaslahatan bagi umat. Sistem yang diridai oleh Sang Pencipta, Allah Swt.
Sistem Islam hadir sebagai sebuah solusi dari permasalahan umat. Dengan hukum-hukum syariatnya yang berasal dari Allah Swt tentunya akan terwujud kemaslahatan rakyat dan seluruh negeri.[]