Gelombang Panas Ekstrem: Dosa Besar Iklim Negara Industri Kapitalis

"Sifat tamak kapitalisme dalam konsumsi sumber daya adalah akar persoalan krisis iklim ekstrem mematikan. Pembangunan kapitalistik harus dibayar mahal oleh umat manusia seluruhnya."

Oleh. Pipit Agustin
(Kontributor NarasiPost.Com dan Founder Hijrah Kafah)

NarasiPost.Com-Terbayang betapa ’terbakarnya’ Eropa dua bulan belakangan sebab suhu udara di sana melampaui suhu rata-rata di DKI dan Bekasi yang dirasakan warga sudah cukup panas, yakni sekitar 32 derajat Celcius. Gelombang panas menerjang kawasan Eropa dan menelan ribuan korban jiwa. Tak hanya Eropa, gelombang panas juga melintas ganas di Amerika Serikat (AS), Cina, dan beberapa negara Asia seperti India.

Sejumlah media melaporkan bahwa di Portugal sekitar 1.000 orang meninggal dan di Spanyol lebih dari 500 orang telah dikaitkan dengan kejadian ini. Gelombang panas ini juga mempercepat kebakaran hutan di Yunani, Italia, Spanyol, dan Portugal. Para ahli memperingatkan, Prancis Barat akan menghadapi ’kiamat panas’ karena suhu ekstrem yang terus melanda sebagian besar Eropa. Dalam beberapa hari terakhir, kebakaran hutan di Prancis telah memaksa lebih dari 24.000 orang mengungsi. Mereka tinggal di tempat penampungan darurat. Sebagian besar Eropa Barat akan kembali mengalami suhu terpanas dalam sejarah dengan gelombang panas kedua dalam sebulan.

Dikutip dari Tirto.id (21/7/2022) bahwa Forbes pada Kamis, 21 Juli 2022 melaporkan, suhu panas di wilayah Amerika Serikat seperti Oklahoma dan Mississippi diperkirakan akan bertahan di kisaran angka 100-110 derajat Fahrenheit (atau 37-43 derajat Celcius). Sedangkan di Inggris Raya pada Selasa lalu mencatat hari terpanasnya berkisar sampai 104 derajat Fahrenheit atau sekitar 40 derajat Celcius. Pada Rabu lalu, beberapa wilayah di AS juga menghadapi gelombang panas terburuk, seperti di Memphis sekitar 112 derajat Fahrenheit, Shreveport sekitar 112 derajat Fahrenheit, Austin, Texas mencapai 111 derajat Fahrenheit dan Dallas sekitar 110 derajat Fahrenheit.

Planet Bumi ‘Menderita’

Inilah kondisi planet bumi kita hari ini. Bahkan, para ahli iklim dunia menyimpulkan bahwa gelombang panas ekstrem itu ‘hampir tidak mungkin' terjadi tanpa perubahan iklim. Sejumlah ilmuwan juga menyebut bahwa dunia tampaknya sedang mengalami dekade terhangat sejak pencatatan dimulai pada 1850. Catatan yang dimulai sejak akhir abad ke-19 memperlihatkan suhu rata-rata permukaan bumi meningkat sekitar satu derajat sejak industrialisasi. Badan Meterologi Inggris mengatakan bahwa kini tren itu tampaknya akan terus berlanjut atau meningkat selama lima tahun ke depan. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) telah mempublikasikan analisis dari lima rangkaian data internasional yang menunjukkan 20 tahun terhangat tercatat sepanjang 22 tahun terakhir.

Dr. Anna Jones, ahli kimia atmosfer dari lembaga British Antarctic Survey mengatakan: “Rata-rata suhu di seluruh dunia mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah dan terus begitu selama bertahun-tahun. Ini utamanya didorong oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca, semisal karbon dioksida yang berasal dari penggunaan bahan bakar fosil secara terus menerus.”(detik.com/7/1/2019)

Dunia Merespons

Para ilmuwan mengkhawatirkan peningkatan tinggi pemanasan terkait dengan penggunaan bahan bakar fosil yang memengaruhi stabilitas iklim planet secara serius. Mereka memperkirakan akan ada peningkatan kematian di kalangan orang tua dan orang sakit. Mereka juga memperkirakan akan terjadi dampak hebat pada sektor pertanian. Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), Petteri Taalas menyebutkan bahwa selama gelombang panas sebelumnya di Eropa, bumi kehilangan sebagian besar panen dan dalam situasi saat ini di mana dunia sudah mengalami krisis pangan global karena perang di Ukraina, gelombang panas ini akan berdampak negatif lebih lanjut pada kegiatan pertanian (detik.com/20/7/2022). Selain menghancurkan perekonomian, cuaca ekstrem juga menyebabkan kekacauan ekosistem, seperti tahun 2018.

Inilah realitas yang harus kita hadapi. Ketika gelombang panas melanda negara-negara Eropa, warga berusaha mencari solusi pada level yang mereka bisa, yakni skala personal, keluarga, maupun komunitas seperti berenang, berendam, atau menggunakan penyejuk udara (AC), dan lainnya. Sayangnya, solusi terakhir mensyaratkan tingkat kemakmuran yang tinggi atau dengan kata lain, tidak dapat dijangkau kaum marginal kebanyakan. Apa yang kita saksikan adalah setiap orang harus membiayai perlindungannya secara mandiri, sebab biaya adaptasi iklim tidak ditanggung oleh negara. Maka wajar, angka kematian (akibat bencana iklim) di wilayah miskin melonjak sementara di kawasan kaya, biaya adaptasi iklimnya yang melonjak.

Sementara itu, dunia di bawah komando Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berulang kali menyimpulkan bahwa perlu adanya upaya pemangkasan karbon secara luar biasa untuk mencegah dunia tidak melampaui batas pada 2030. Maraknya gelombang panas ekstrem di penjuru bumi mewajibkan adaptasi iklim berkeadilan untuk lindungi ruang hidup yang tersisa. Analisis Badan Meteorologi Inggris misalnya, menyebutkan ada 10% peluang hal itu terjadi dalam lima tahun ke depan. Pengurangan emisi gas rumah kaca dan langkah-langkah adaptasi iklim seharusnya menjadi prioritas utama dunia. Seruan ini bukan yang pertama, melainkan selalu diulang-ulang tanpa dibuktikan dengan aksi nyata sebagaimana seruan-seruan sebelumnya.

Beberapa negara ‘berduit’ melakukan beberapa upaya dalam rangka adaptasi iklim ini. India misalnya, yang kerap dilanda suhu panas ekstrem sedang mengupayakan solusi berbiaya murah untuk membantu warga miskin mendinginkan ruangan misalnya perubahan regulasi yang mewajibkan konstruksi baru menggunakan insulasi yang lebih baik dan menaati kebijakan atap dingin oleh pemerintah. Sedangkan di Tokyo, pemerintah memperkenalkan aspal dingin dengan lapisan antipanas. Adapun kota Medellin di Kolombia menanam ’koridor hijau’ untuk melindungi kawasan pedestrian dari sengatan matahari. Sementara kota Toronto di Kanada menawarkan bantuan keuangan bagi warga untuk menghijaukan atap rumah. Namun, bagaimana nasib negara-negara dunia ketiga dan negara miskin lainnya?

Sifat Tamak Kapitalisme

Dikutip dw.com (22/4/2022), sebuah riset ilmiah untuk pertama kalinya mengukur kerusakan lingkungan yang dipicu oleh konsumsi sumber daya di 160 negara dalam 50 tahun terakhir. Hasilnya, AS dan Eropa bertanggungjawab atas kepunahan ekologi global. Sebuah riset yang digalang Institut Sains Lingkungan dan Teknologi (ICTA-UAB) di Barcelona, Spanyol dan dirilis di jurnal ilmiah, The Lancet for Planetary Science menyimpulkan bahwa diperlukan penghematan sumber daya sebanyak 70 persen oleh negara-negara kaya untuk mencapai komitmen iklim global.

Studi itu mengukur kerusakan lingkungan yang tercipta oleh ekstraksi, pengolahan, distribusi dan konsumsi sumber daya alam di 160 negara di dunia, antara 1970 hingga 2017. Antara 1970 dan 2017, dunia menambang dan mengolah sekitar 2,5 triliun ton material dari alam. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1,1 triliun ton material melampaui kapasitas maksimal regenerasi alami bumi. Konsumsi material berlebihan memuncak pada angka 90 miliar ton pada 2017, ketika batas kapasitas regenerasi bumi berkisar hanya 50 miliar ton per tahun.

Faktor yang diperhitungkan mencakup alih fungsi hutan atau pembukaan lahan untuk keperluan produksi. Amerika Serikat tercatat sebagai sumber kerusakan terbesar, karena bertanggungjawab atas 27 persen konsumsi material berlebihan di dunia selama 50 tahun terakhir. Adapun Uni Eropa berada di urutan kedua dengan 25 persen. Cina saat ini bertanggungjawab atas sekitar 15 persen pemborosan sumber daya. Sementara negara-negara miskin dan berkembang di belahan bumi selatan mewakili hanya 8 persen dari total konsumsi material berlebihan di seluruh dunia. Menurut ilmuwan, sebagian besar konsumsi material berlebihan berasal dari pembangunan infrastruktur.

Negara-negara industri yang kaya begitu menggilai konsep pertumbuhan ekonomi tanpa batas, sebaliknya abai meningkatkan pemerataan dan mengatasi kesenjangan ekonomi kecuali sebatas teori di atas kertas. Kesepakatan-kesepakatan internasional terkait isu lingkungan ‘rajin’ digagas, namun implementasinya banyak dilanggar. Dan parahnya, tak satu pun negara bisa menghukum negara lain yang melanggar, terutama jika negara yang melanggar itu adalah negara adidaya. Dunia menjadi ‘semau gue’.

Ini adalah soal mental ‘patuh’ suatu negara dan lumpuhnya komitmen bersama yang dibangun dunia untuk memakmurkan bumi. Dan inilah watak asli dari negara-negara kapitalis, baik Barat maupun Timur. Mereka gagal mendefinisikan makna pembangunan peradaban, yakni hanya bertumpu pada kacamata ekonomi semata. Kapitalisme gagal dalam membedakan antara kebutuhan dan keinginan.

Kembali pada Fitrah

Sifat tamak kapitalisme dalam konsumsi sumber daya adalah akar persoalan krisis iklim ekstrem mematikan. Pembangunan kapitalistik harus dibayar mahal oleh umat manusia seluruhnya. Umat Islam turut pula menjadi korban. Kerusakan alam yang berujung krisis iklim yang beriringan dengan kerusakan-kerusakan sosial dan mental penduduk bumi adalah cermin dari tercerabutnya keberkahan dari Allah Swt.

Sebagai negeri muslim, Indonesia harusnya mengambil pelajaran besar dari sikap acuh, arogan dan tak bertanggung jawab dari para pemimpin negara industri maju yang dipertontonkan dengan sangat jelas. Mereka tidak lebih hanyalah pembuat kerusakan di bumi yang terus berdalih bahwa mereka berbuat kemajuan dan modernitas, seperti firman Allah Swt.: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi’, mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang melakukan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak merasa.” (TQS Al-Baqarah [2]:11-12).

Berharap penyelesaian atas krisis iklim pada kapitalisme ibarat pungguk merindukan bulan. Kerja sama multilateral penanganan iklim yang mereka gagas selalu menemukan jalan buntu. Berbagai konferensi dan forum yang ada hanyalah ajang kumpul rutinan elite dari negara-negara penyumbang emisi karbon.

Oleh karenanya, perlu alternatif cara pandang untuk melakukan pemangkasan radikal guna mencegah kerusakan lanjutan. Sudah waktunya dunia Islam bertobat dan kembali pada jalan fitrah sebagaimana Islam telah mengajarkan.

Allah Swt. berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (TQS. Ar-Rum ayat 41). Lantas, bagaimana pedoman memperbaiki kerusakan ini?

Islam mensyariatkan kebijakan pembangunan yang ramah lingkungan, pemanfaatan SDA untuk kemaslahatan umat manusia, bukan nafsu industrialisasi semata. Islam mengajarkan bahwa pembangunan infrastruktur diprioritaskan dalam rangka mencegah bencana, seperti pembangunan bendungan, kanal, tanggul, dan lainnya bukan semata-mata pembangunan fisik agar tampak megah. Kebijakan Islam itu tertuang secara rinci dalam politik ekonominya, yang berpadu dengan politik luar negeri.

Mencegah pemanasan global dan perubahan iklim menjadi tantangan semua negara di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Dunia membutuhkan transisi ke energi hijau atau berkelanjutan. Sedangkan transisi energi membutuhkan teknologi dan biaya yang besar. Sehingga, dalam hal ini Islam mewajibkan negara harus hadir 100% dalam mendorong inovasi dan menurunkan biaya teknologi. Negara harus mandiri dan totalitas menopang dengan anggaran mutlak tanpa memerlukan kolaborasi ataupun kemitraan dengan pihak swasta apalagi asing yang cenderung merugikan.

Untuk mewujudkan keberhasilan itu semua, umat Islam membutuhkan transisi sistem dari kapitalisme ke Islam kafah dalam bingkai negara yang disebut Khilafah. Sedangkan transisi itu, memerlukan upaya sosialisasi masif kepada segenap umat agar memahami hakikat dan kemampuan Islam dalam menyelesaikan semua persoalan. Yang mana, upaya sosialisasi itu tak lain adalah dakwah pemikiran, yang akan mengubah mindset umat agar sadar dan menerima Islam sebagai jalan keluar dari spiral kematian akibat ancaman genosida iklim global. Sehingga, umat turut berjuang mengupayakan terwujudnya Islam dalam institusi politik yang legal sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin, dan para khalifah sesudah mereka. Wallahu a’lam bissawwab.[]


Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Pipit Agustin Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Wajah Buram Pendidikan Sekuler
Next
Tarif PDAM Naik, Beban Hidup Makin Pelik
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
R. Bilhaq
R. Bilhaq
1 year ago

Lagi lagi, Kapitalisme memang biang segala kerusakan..

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram