"Tenggelam dalam kubangan utang luar negeri ke Cina maka kedaulatan pun makin terancam. Utang yang ditawarkan ini tidak berupa uang, namun dalam bentuk infrastruktur yang disepakati salah satunya dengan jaminan BUMN.Ngeri !"
Oleh Heni Rohmawati, S.E.I
(Kontributor Narasipost.com)
NarasiPost.Com-Dominasi AS di Indonesia semakin memudar. Saat perekonomian AS makin menurun hingga pengaruhnya pun luntur. Jika sebelumnya Indonesia menggunakan mata uang dolar AS dalam berbagai transaksi luar negerinya, kini tak lagi. Karena Rezim Jokowi ingin menjadikan yuan menjadi acuan. Benarkah ini bukti Cina makin dominan?
Seperti yang diwartakan oleh tribunbisnis pada selasa (6/12/21) Presiden Joko Widodo meminta warga Indonesia untuk meninggalkan dolar dan beralih ke yuan. Ia menilai bahwa saat ini rupiah terus melemah pasca Joe Biden menjadi Presiden Amerika. Apalagi saat ini transaksi Indonesia lebih banyak ke Cina yang mencapai total 15 persen, sementara ekspor ke Amerika hanya 10 persen. Benarkah dengan beralih ke yuan, maka mata uang rupiah semakin stabil?
Ketergantungan Indonesia terhadap Produk Cina
Niat beralih ke yuan tak berdiri sendiri. Banyak faktor lain yang menyebabkan hal tersebut. Salah satunya adalah tingginya impor Indonesia yang berasal dari Cina hingga melebihi Amerika. Hal ini menyebabkan ketergantungan yang erat dengan produk-produk Cina.
Beberapa komoditas yang diimpor oleh Indonesia dari Cina adalah serealia (beras, gandum dll), pesawat terbang dan bagiannya, besi dan baja, sayuran seperti bawang putih, kapal laut dan bangunan terapung, senjata dan amunisi, mesin-mesin atau pesawat mekanik, plastik dan barang dari plastik, mesin untuk sektor industri, bahan pangan, meja piknik portable, pupuk pertanian, peralatan alutsista, laptop, smartphone, bahan kimia organik, peralatan listrik hingga perabotan rumah tangga juga diimpor dari Cina di samping komoditas lain.
Hingga Juli 2020 saja, jumlah impor Indonesia dari Cina mencapai US$ 21,36 miliar. (cnbcindonesia, 18/8/2021). Tak heran jika Presiden Joko Widodo meminta tinggalkan dolar dan beralih ke yuan karena ketergantungan dalam negeri begitu tinggi terhadap produk Tiongkok.
Ambisi Cina dalam Belt Road Initiative (BRI)
Cina terus-menerus meningkatkan pasarnya ke berbagai negara. Tak hanya Indonesia, berbagai negara lain sudah dalam dekapannya. Dengan alasan mengembangkan perdagangannya ini, Cina membuat jalur perdagangan yang disebut Belt Road Initiative. Ini tidak lepas dari keseriusannya membangun infrastruktur perdagangan untuk mendistribusikan berbagai produknya.
Proyek Belt Road Initiative (BRI) sendiri bertujuan untuk membangun jalur perdagangan lengkap dengan infrastrukturnya. Dalam pelaksanaan BRI ini, cina membutuhkan berbagai negara untuk menyukseskan berbagai proyek infrastruktur yang masuk dalam jalur sutera atau BRI ini. Berbagai negara itu kemudian ditawarkan utang untuk membuat sejumlah infrastruktur yang akan digunakan Cina dalam jalur angkutan berbagai produknya.
Uniknya, utang yang ditawarkan ini tidak berupa uang, namun dalam bentuk infrastruktur yang disepakati, seperti Kereta Cepat Jakarta Bandung, mega proyek ini telah menelan dana setidaknya Rp6,071 miliar dan hingga kini proyek ini masih mangkrak begitu pula proyek-proyek yang lain. Setidaknya sudah 32 proyek yang disepakati yang semuanya akan dibiayai oleh Cina. Fantastis.
Sayangnya proyek itu membutuhkan jaminan kolateral sebagaimana bank komersil. Dalam hal berbagai proyek ini, pemerintah memberikan jaminan berupa BUMN. Jika pemerintah tidak mampu membayar utang atas seluruh utang-utangnya, maka BUMN jadi miliknya. Dalam hal ini Kereta Api Indonesia (KAI) adalah menjadi jaminan atas proyek Kereta cepat Jakarta bandung (KCJB). Mengerikan.
Dalam kondisi seperti ini, pemerintah terus tertekan. Bahkan disinyalir perpindahan ibukota Indonesia dari Jakarta ke Kalimanan Timur juga atas bantuan dana dari Cina. Berbagai kritik tajam pun disampaikan. Salah satunya dari Manager Kampanye dan Iklim WALHI, Yuyun Harmono, ia menilai bahwa proyek yang dikerjakan oleh Tiongkok adalah jebakan utang atau debt trap.
Juga dibenarkan oleh Rizal Ramli yang mengatakan bahwa Indonesia sudah terpengaruh Tiongkok. Sebagaimana yang dikabarkan dari kumparan.com (30/3/2021).
Simbiosis yang Tak Menguntungkan
Dengan memperhatikan hubungan Indoneisa dan Cina, terlihat jelas sulitnya melepaskan dominasi Cina begitu saja. Hubungan simbiosis mutualisme juga menjadi salah satu faktor penyebabnya. Dimana negara tak mampu memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya dalam negeri. Dan sebagaian besar kebutuhan itu dipenuhi oleh Cina. Sementara Cina menargetkan Indonesia dalam jalur BRI. Sehingga keduanya menemukan titik temu yang sama. Namun beruntungkah Indonesia dengan yuan menggantikan dolar?
Beralih ke Yuan
Yuan adalah mata uang Cina yang saat ini sudah bertengger dalam jajaran mata uang internasional. Oleh IMF, Yuan telah diterima untuk dipergunakan pada transaksi global. Kestabilan mata uang yuan ditopang oleh produktivitasnya yang dipercaya mampu menjadi hard currency yang stabil. Namun, beruntungkah Indonesia menggunakan mata uang yuan?
Hakikatnya jika suatu negara menggunakan mata uang asing itu pertanda adanya dominasi negara tersebut. Neraca perdagangan akan ditentukan dari perbandingan jumlah impor dan ekspor kedua belah pihak. Pihak yang mengalami surplus akan memaksa pihak lain menggunakan mata uangnya. Hal ini akan semakin membuat pihak yang mengalami defisit semakin bergantung pada pihak yang mengalami surplus. Mulai dari sinilah ketidakadilan tercipta manakala penggunaan mata uang asing mendominasi perekonomian suatu negara. Penjajahan gaya baru terjadi.
Dinar-Dirham Sistem Moneter Islam yang Stabil dan Berkeadilan
Pada saat dominasi ekonomi dan mata uang berbagai negara terus merangsek, Indonesia seharusnya mampu memilih sikap yang benar. Tentu kita mengetahui berbagai bahaya yang timbul akibat dominasi mata uang negara lain. Meski yuan dianggap lebih baik dari dolar, namun hal itu tetaplah dengan konsekuensi yang tak menguntungkan bagi Indonesia. Pemerintah Indonesia seharusnya bisa melihat dan memilih sistem ekonomi serta mata uang yang adil dan stabil. Dan memiliki kemampuan menyejahterakan rakyat. Islam mampu menyelesaikan permasalahan mata uang ini.
Islam sebagai ideologi telah mengatur segala hal termasuk dalam sistem moneter. Sistem moneter Islam yang berbasis emas mampu menjamin kestabilan mata uang dan keadilan. Untuk mewujudkan sistem moneter Islam, maka perlu menerapkan sistem ekonomi Islam dalam bingkai negara Khilafah. Itu mengapa penerapan mata uang emas tak bisa dipisahkan dari sistem ekonomi dan politik ekonomi yang berdiri atas syariat Islam.
Sejarah telah membuktikan hal ini, pada masa Rasulullah Saw. Harga seekor ayam adalah 1 dirham (perak). Dan hingga saat ini membeli seekor ayam masih sejumlah 1 dirham jika disetarakan dengan rupiah. (gold dinar, lutfi hamidi, hal.xi)
Banyaknya orang yang lebih menyukai menyimpan aset mereka dalam bentuk emas, juga menjadi bukti yang valid. Mereka lebih mempercayai emas daripada rupiah atau mata uang kertas lainnya yang kerap mengalami inflasi. Oleh karenanya, sudah saatnya para pemutus kebijakan mempertimbangkan kembali tujuan bernegara dan menjaga kedaulatan negara.
Wallahu a’lam bish showab.[]