"Sungguh kuat cengkeraman utang Indonesia hingga negara tak bisa berkutik menentukan arah kebijakannya sendiri. Negara kreditor dengan mudah mendikte melalui syarat-syarat yang mereka ajukan dalam memberikan utang."
Oleh. Dwi Nesa Maulani
NarasiPost.Com-Pemerintah melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan Indonesia kembali akan menambah utang demi menyelamatkan rakyat dan ekonomi. Kondisi pandemi yang tak kunjung usai sangat memukul APBN sehingga dibutuhkan langkah ekstraordinary yaitu dengan menambah utang. Tercatat posisi utang pemerintah sampai akhir Juni 2021 sebesar Rp6.554,56 triliun. Peningkatan utang dan biaya bunga sudah melampaui pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara. Hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah.
Benarkah utang untuk menyelamatkan rakyat dan ekonomi di masa pandemi? Dilansir dari kompas.com, perkiraan biaya yang pernah diungkapkan Presiden Joko Widodo jika lockdown dihitung secara kasar 34 provinsi sekitar Rp18,7 triliun per hari. Jika lockdown 14 hari maka biayanya Rp261,8 triliun. Sedangkan utang negara antara Januari-Mei bertambah sebesar Rp309,3 triliun. Sri Mulyani berencana menarik utang lagi sebesar Rp515,1 triliun.
Jumlah utang ternyata jauh lebih besar jika dibandingkan dengan biaya untuk lockdown total satu negara. Sayangnya opsi lockdown tidak diambil meskipun para pakar banyak yang menyarankan. Utang menggunung namun belum mampu menyelamatkan nyawa para korban Covid 19. Utang banyak tapi tak mampu membuat kenyang perut rakyat, dan juga tak mampu menghidupkan perekonomian. Entah menguap ke mana saja uang-uang tersebut. Utang sudah terlanjur terjadi. Yang pasti rakyat dan anak cucunya kelak yang akan membayarnya.
Menurut cara pandang sistem ekonomi kapitalisme, secara fiskal negara akan berusaha menekan pengeluaran dan menggenjot pemasukan, demi membayar utang dan menyambung nafas perekonomian. Remuk menekan pengeluaran, biasanya negara lebih memilih untuk mereduksi subsidi untuk rakyat. Sedangkan untuk menambah pemasukan, yaitu dengan meningkatkan pajak. Lengkap sudah penderitaan rakyat, tingginya pajak dan minimnya jaminan penghidupan dari pemerintah karena subsidi akan ditekan sekecil mungkin agar tidak membebani anggaran negara.
Dalam kondisi terjepit, pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) bisa saja membuat kebijakan mencetak uang baru. Namun kebijakan tersebut sangat berisiko terjadi inflasi bahkan hiperinflasi. Seperti yang pernah dialami Zimbabwe dan Venezuela. Harga kebutuhan melambung tinggi tak terkendali. Kembali rakyat yang dirugikan.
Selain itu, risiko akibat utang negara yang diperoleh dari utang luar negeri adalah turunnya pengaruh politis negara dalam percaturan global. Negara kreditor akan mudah mendikte sebuah negara yang mempunyai beban utang sangat tinggi melalui syarat-syarat yang mereka ajukan dalam memberikan utang. Seperti beberapa waktu lalu, asing mencoba memasukkan kebijakan tentang peredaran miras.
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah bercerita bahwa ketika dirinya masih menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi tahun 1999, baru duduk di kantor langsung disodori point-point dari austeruty measures (langkah penghematan) IMF. Dana moneter tersebut menghendaki bahan bakar dan listrik dinaikkan 40 persen. Sungguh kuat cengkeraman utang hingga negara tak bisa berkutik menentukan arah kebijakannya sendiri.
Lalu dengan utang yang masih menumpuk, ditambah lagi saat pandemi ini, tumpukan utang kian menggunung siapkah kita membayarnya? Andaikan negara tak kuat membayar utang beserta bunganya, siap-siap aset negara akan dilepas satu per satu. Seperti jalan tol, BUMN, SDA, hingga wilayah atau pulau. Negara kaya yang miskin ini akan semakin miskin akibat banyak berutang. Sungguh jebakan utang (dept trap) membuat ibu pertiwi sakit dan sekarat.
Seharusnya negeri ini tidak mengambil utang, apalagi utang yang berbunga. Terlebih seharusnya negara tidak menggunakan sistem ekonomi kapitalisme. Karena sistem ini menghendaki tumpuan pendapatan negara dari pajak dan utang. Akibat kesalahan sistem yang diterapkan ini, rakyatlah yang dikorbankan. Sampai kapan pun pajak dan utang akan menyengsarakan rakyat.
Lalu, pertanyaan besar yang muncul dari permasalahan pelik tersebut di atas adalah bagaimana Islam memberikan solusi terhadap masalah bangsa terkait utang dan begaimana membangun perekonomian negara?
Di dalam Islam, utang adalah sesuatu yang harus dihindari. Islam membolehkan utang hanya jika seseorang dalam keadaan terpaksa. Rasulullah Saw sendiri senantiasa berdoa agar terhindar dari utang. Rasulullah Saw pernah bersabda, "Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari kegelisahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan bakhil serta dari tidak mampu membayar hutang dan dari penguasaan orang lain." (HR. Al-Bukhari)
Bahkan dalam hal bernegara, Islam melarang negara mengambil utang dengan syarat-syarat yang merugikan negara. Sepanjang sejarah khilafah Islam, belum pernah ditemui khilafah masuk dalam jebakan utang lembaga pemberi utang. Jika terjadi kekosongan kas, maka negara akan menarik pajak dari orang Islam yang kaya saja hingga kas terisi kembali.
Dalam sistem keuangan Islam, terdapat Baitul Mal. Ada tiga sumber pendapatan yang menjadi tumpuan, yaitu pos kepemilikan umum, pos kepemilikan negara, dan pos zakat mal.
Dalam pos kepemilikan umum, negara bisa menata ulang kembali penguasaan atas harta milik umum. Seperti mengambil kembali penguasaan atas tambang yang kini dikuasai oleh korporasi swasta. Kemudian mengelolanya sendiri dan hasilnya diberikan untuk kemaslahatan rakyat. Untuk bisa mengisi pos kepemilikan negara, maka perlu pula untuk menerapkan sistem politik dan pemerintahan Islam. Dimana dalam sistem tersebut terdapat kewajiban berdakwah dan berjihad ke luar negeri, sehingga akan memungkinkan diperoleh pemasukan berupa ghonimah, fa'i, kharaj, dan jizyah.
Sedangkan dalam pos zakat mal, negara wajib memungut zakat atas pertanian, peternakan, perdagangan, pemilikan emas dan perak. Tentu semua itu bisa dipungut jika telah memenuhi syarat-syarat di dalam syariat Islam.
Dengan penerapan Baitul Mal, dalam sejarahnya khilafah mampu mengatasi wabah secara cepat tidak berlarut-larut. Dan tidak mengguncang perekonomiannya. Begitu banyak kebaikan yang diperoleh dari sistem keuangan dalam Islam ini. Maka selayaknya umat ini kembali kepada aturan yang telah diturunkan oleh Rabb semesta alam.[]