Paniknya pemerintah dalam neraca keuangan negara sehingga mengambil jalan pintas dengan instrumen tambal sulam lewat utang. Padahal masih banyak langkah yang bisa diambil dengan melakukan efisiensi pada pengeluaran yang lain.
Oleh.Ana Nazahah
(Kontributor Tetap Nararipost.com)
NarasiPost.Com-Menteri Keuangan, Sri Mulyani, sepertinya tengah mengalami jalan buntu, menyebut utang sebagai instrumen whatever it takes. Dan tentu, 'whatever' yang dimaksud di sini adalah dengan menambah utang, yang diklaim sebagai jalan penyelamat rakyat.
Hal ini Sri Mulyani sampaikan pada acara Bedah Buku Mengarungi Badai Pandemi, Sabtu (24/7/2021). Sri Mulyani menyatakan negara saat ini harus menambah utang. Bukan karena menambah utang menjadi tujuan. Tidak lain merupakan "Instrumen whatever it takes," katanya. Demi menyelamatkan warga negara dan perekonomian bangsa. (CNN Indonesia.com)
Jika ditelaah, utang ini bagaimanapun adalah beban untuk negara, yang pada akhirnya adalah tanggung jawab rakyat. Di tengah kondisi rakyat yang sangat memilukan ini, menghadapi wabah dan ekonomi yang sulit karena efek PPKM dan kebijakan jaga jarak, masuk akalkah jika utang dijadikan instrumen menyelamatkan rakyat? Apakah hanya menambah utang satu-satunya solusi yang bisa diandalkan?
Dalam hal ini, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan negara masih memiliki instrumen kebijakan lain selain menambah utang. Misalnya dengan memangkas anggaran kementerian dan lembaga yang tidak perlu. Menurut Trubus, "Negara seharusnya tidak mengambil jalan pintas, yakni berutang, di saat negara masih bisa melakukan efisiensi pada pengeluaran yang lain, seperti pemotongan anggaran perjalanan dinas kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan lain-lain. Pembangunan infrastruktur yang tidak perlu pun bisa dihentikan sementara, lantas pemerintah meningkatkan ekspor pertanian dan perkebunan,” ujarnya dikutip dari media Asumsi.co.(25/7/2021)
Komentar senada juga disampaikan oleh Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira. Dia mengatakan, masih banyak cara yang bisa diterapkan selain menambah utang. Salah satunya dengan menghemat anggaran belanja. Proyek membuat ibukota baru, misalnya. Dia menyarankan proyek ini ditunda dulu atau bisa saja dibatalkan.
Namun, sayangnya. Negara dari tahun ke tahun tetap keukeuh dengan instrumen tambal sulam lewat utang. Gali lubang tutup lubang. Tanpa mengukur kesanggupan negara melunasi utang di masa depan. Dengan angka utang yang semakin membengkak. Per Mei 2021 saja sudah mencapai Rp6.418,15 triliun atau setara 40,49 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Hal ini tidak lain karena Indonesia manganut kebijakan kapitalis dalam menjalankan roda perekonomian dan mengatur APBN negara. Dalam konsep kapitalis, utang adalah salah satu instrumen yang paling penting untuk menjalankan perekonomian, selain menaikkan pajak dan privatisasi BUMN. Jadi, jelas utang bukan sekadar intrumen whatever it takes. Namun, sesuatu yang merupakan ciri khas kapitalis dalam menyelesaikan masalah perekonomian.
Hal ini tentu saja berbeda dengan kebijakan penyusunan APBN dalam Islam. Sepanjang daulah Islam berdiri hingga abad ke 13 Hijriyah, daulah Islam tidak pernah terbelit utang luar negeri (kecuali di masa-masa menuju keruntuhannya). Pada saat itu, seluruh mekenisme aliran dana negara diatur oleh lembaga yang bernama Baitul Mal. Dengan sumber APBN yang tetap dan stabil bersumber dari tiga sektor. Pertama, sektor kepemilikan individu, seperti sedekah, hibah, dan zakat. Kedua, sektor kepemilikan umum, seperti pertambangan, minyak bumi, sumber hutan, dll. Ketiga, dari sektor kepemilikan negara, misal jizyah, kharaj, ghanimah, fa'i dan 'usyur.
Ketiga sumber pendapatan negara ini dialokasikan dan dijalankan dengan prinsip sentralisasi. Sumber pendapat ditarik ke pusat lalu didistribusikan ke seluruh daerah daulah Islam sesuai kebutuhan. Kemudian dibagikan secara adil dan tepat sasaran, sehingga tidak ada wilayah yang terabaikan.
Terlebih di masa pandemi yang membuat ekonomi lesu, seperti yang kita rasakan saat ini. Jika Indonesia menganut sistem perekonomian berbasiskan Islam, niscaya negara akan mampu menghindari pelebaran defisit APBN. Dengan SDA yang kaya dan melimpah, negara mampu membiayai rakyatnya yang sedang menjalani karantina mandiri dan PPKM wilayah.
Tidak seperti yang kita rasakan saat ini. Kebijakan negara terkesan kontradiktif. Kebijakan utang yang diklaim untuk menyelamatkan rakyat, justru sebaliknya malah menambah beban rakyat. Rakyat hanya dibikin susah, bertarung menyambung hidup di tengah wabah. Sehingga rakyat menyangsikan, negara whatever it takes untuk siapa? Untuk rakyat atau birokrat?
Wallahu a'lam…[]