"Bagaikan mata rantai yang tiada putus, korupsi di Indonesia makin menggurita dalam berbagai sektor dan susah untuk dikendalikan.Kejahatan yang sukar pembuktiannya, namun tumbuh subur seiring berjalannya kekuasaan, politik, ekonomi, dan hukum.
Oleh. Qaulan Karima
NarasiPost.Com-Lembaga Survey Indonesia (LSI) baru-baru ini memaparkan hasil survei berkaitan dengan persepsi publik terhadap pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan potensi korupsi di dalamnya. Hasil survei menunjukkan bahwa 60% masyarakat Indonesia yang berpartisipasi dalam survei tersebut menilai bahwa tren korupsi meningkat dalam kurun waktu 2 tahun terakhir.
Meningkatnya persepsi masyarakat akan korupsi ditunjukkan pula dalam Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index-CPI) 2020 yang dirilis oleh Transparency International (TI) Indonesia pada bulan Januari lalu. Penilaian CPI menggunakan mekanisme skor 0-100, semakin mendekati skor 0 berarti suatu negara mendekati penilaian sangat korup. Pada tahun 2020, Indonesia memperoleh skor 37/100, turun 3 angka dari skor tahun 2019, 40/100. Indonesia menempati urutan 102 dari 180 negara yang berpartisipasi. Sungguh kondisi yang memprihatinkan.
Korupsi Merupakan Kejahatan Sistemik
Mengutip dari sebuah artikel di laman www.antikorupsi.org, dijelaskan bahwa korupsi sistemik adalah kejahatan yang sukar pembuktiannya, namun tumbuh subur seiring berjalannya kekuasaan, politik, ekonomi, dan hukum. Korupsi menyatu dengan kekuasaan dan sistem (Adji, 2009).
Korupsi sistemik terjadi di Indonesia karena adanya kekuasaan korup absolut didukung oleh penegakkan hukum yang lemah (Widadi, 2013). Widadi menambahkan bahwa korupsi sistemik menjadi semacam lingkaran setan. Bermula dari korupsi yang terjadi dalam proses pemilihan umum. Seseorang ingin menjabat lalu mengumpulkan dana kampanye politik dari banyak pihak yang memiliki kepentingan. Berlanjut dengan melakukan politik uang, suap, dan pembelian suara.
Apabila sudah menjabat, ia berusaha mengembalikan modal dengan menyalahgunakan wewenang, memanipulasi APBN atau APBD, mengobral izin pengelolaan SDA, suap menyuap melibatkan birokrasi demi mendapat keuntungan pribadi dan tim sukses. Jika perilaku koruptifnya diusut, penegak hukum pun tak segan dibeli untuk memperingan hukuman. Hukuman yang ringan tak membuat jera, hingga semakin banyak orang menjadi pelaku korupsi.
Akhirnya rakyat menjadi korban. Rakyat merasakan efek sistemik korupsi, seperti kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu, kita perlu sebuah solusi sistemik untuk memberantas korupsi sistemik dan masif di negara ini.
Menegakkan Sistem Islam sebuah Solusi Sistemik
Dedie A Rahim, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, mengatakan ada 3 upaya sistemik untuk memberantas korupsi sistemik (1) perbaikan UU, (2) perbaikan pelembagaan, (3) pendidikan antikorupsi di kalangan muda.
Meskipun demikian, ketiga upaya tersebut akan sulit untuk dilakukan bilamana sistem politik, hukum, dan ekonomi Indonesia masih berkiblat pada paham sekularisme. Sekularisme membuat sistem politik, hukum, dan ekonomi terpisah dari agama. Semua aturan dibuat atas dasar pemikiran dan akal manusia tanpa disertai dengan ketundukan pada aturan agama. Segala pengaturan urusan duniawi yang hanya berlandas pada pemikiran manusia, cenderung inkonsisten, berubah-ubah, dan rentan terpengaruh gejolak hawa nafsu manusia.
Negara ini butuh sistem yang kokoh seperti sistem Islam dalam upaya pemberantasan korupsi. Sistem Islam menggunakan hukum Islam yang bersifat tegas karena berpedoman pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Penegakan hukum Islam dilandasi oleh keimanan dan ketakwaan kepada Allah ta'ala, oleh para pemimpin yang amanah, jujur, dan zuhud terhadap dunia.
Cara Islam Memberantas Korupsi
Praktik upaya pemberantasan korupsi dapat kita lihat pada masa Khalifah Umar bin Khathab ra. Pada masa itu, pemberantasan korupsi yang dilakukan bersifat preventif (pencegahan). Berikut ini beberapa upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan Khalifah Umar bin Khatthab ra yang dapat kita pelajari dan kita tiru. (Syarif, 2010):
- Memastikan pemimpin tertinggi di suatu wilayah merupakan orang yang amanah, taat pada Allah, dan dapat dijadikan teladan.
Umar bin Khatthab ra berkata, rakyat akan menjalakan kewajiban mereka apabila para pemimpin menjalankan kewajibannya terhadap Allah subhanahu wa ta'ala. Jika pemimpinnya serakah dan hidup bermewah-mewah, begitu pun rakyatnya akan melakukan hal yang sama. Khalifah Umar memberi teladan kepada rakyatnya tentang pencegahan tindakan penyalahgunaan aset negara. Ia menyita unta milik putranya karena memakan rumput yang tumbuh di tanah Baitul Mal.
- Memberi gaji dan fasilitas yang layak bagi pejabat.
Saat seorang pejabat memiliki gaji dan fasilitas yang layak, maka diharapkan akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Mekanisme ini didasarkan pada hadis riwayat Abu Dawud, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya
diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin)."
- Menghitung harta pejabat sebelum dan sesudah menjabat.
Penambahan harta pejabat negara secara tak wajar setelah menjabat akan langsung diusut karena berpotensi berasal dari kekayaan negara. Pejabat tersebut harus dapat membuktikan sendiri pada Khalifah Umar bahwa hartanya berasal dari sumber yang halal seperti hasil usaha ataupun warisan. Apabila tidak dapat membuktikan bahwa harta diperoleh dari sumber yang halal, maka kelebihan harya yang beesangkutan akan disita untuk dimasukan ke Baitul Mal.
Cara ini dikenal dengan istilah pembuktian terbalik. Namun, di Indonesia baru diterapkan untuk kasus tindak pidana biasa, bukan kejahatan luar biasa seperti korupsi karena tidak diatur dalam UU Tipikor dan UU TPPU.
- Melarang pejabat negara menerima suap dan hadiah.
Suap (risywah) merupakan pemberian barang atau jasa kepada pejabat negara dengan maksud menperoleh keuntungan bagi dirinya.
Dasar larangan suap adalah perkataan Rasul yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur."
- Hukuman setimpal
Dalam Islam, koruptor mendapat hukuman paling ringan berupa dipertontonkan di depan khalayak. Hukuman lainnya dapat berupa penyitaan harta, hukuman penjara, bahkan hukuman mati.
- Pengawasan dari masyarakat.
Khalifah Umar sangat membuka diri atas kritik dari rakyatnya dengan mengatakan,“ Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang."
Hal yang dapat kita pelajari dari upaya pemberantasan korupsi di masa Khalifah Umar bin Khatthab ra adalah bahwa dengan menerapkan sistem Islam secara kafah, hukum akan lebih mudah ditegakkan.
Pemimpin dan aparat penegak hukum merupakan orang terpilih yang sudah dipastikan merupakan orang yang tunduk pada syariat Islam. Seperangkat aturan hukum yang menjadi pegangan mereka pun menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunah sebagai pedoman utama. Pedoman hukum yang sumbernya tidak perlu diragukan lagi, keasliannya sangat terjaga, konsisten, dan tegas.[]