"Sistem sekularisme melahirkan para pemimpin yang minim tingkat keimanannya pada Allah, oportunis, zalim, mengkhianati rakyatnya, ingkar terhadap janji-janji politiknya, krisis empati, dan hanya mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya."
Oleh. Neneng Sri Wahyuningsih
NarasiPost.Com-Agama dan kekuasaan ibarat dua saudara kembar. Agama adalah pondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak berpondasi bakal hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap (Abu Abdillah al-Qali, Tadrîb ar-Riyâsah wa Tartîb as-Siyâsah, 1/81).
Ungkapan di atas menunjukan bahwa pentingnya agama berdampingan dengan kekuasaan. Ketika agama tak lagi dijadikan sebagai pondasi dalam sebuah negara, maka tunggulah kehancurannya. Tampaknya kondisi yang demikian begitu relevan di negeri ini, aturan yang berlaku sesuai kehendak manusia dan berpijak pada landasan pemisahan antara agama dan kehidupan (sekularisme).
Seperti halnya yang baru-baru ini terjadi di Sumatera Utara. Polisi mengamankan lima anggota DPRD Labuhanbatu di tempat hiburan malam saat melakukan razia PPKM. Ketika penangkapan, ditemukan barang haram narkoba dan kelima anggota tersebut dinyatakan positif narkoba usai dilakukan tes urine. (Cnnindonesia.com,8/8/2021)
Miris. Bukannya pejabat publik ini memberikan contoh yang baik, justru sebaliknya. Hidup tanpa aturan agama mengantarkannya pada bebas melakukan apa pun.
Buruknya Pemimpin Negeri Dampak dari Sistem Sekularisme
Barang terlarang yang bernama narkoba, nyatanya mampu menjangkau dan mengancam siapa saja. Lintas usia, gender bahkan lintas profesi. Narkoba tidak hanya menjerat orang-orang yang hidup di jalanan, public figure, tetapi juga para pekerja kantoran, termasuk di dalamnya para wakil rakyat. Tertangkapnya lima anggota DPRD di atas, semakin menambah daftar para politisi negeri ini yang terjerat kasus pemakaian barang-barang terlarang.
Ya, kasus serupa bukanlah yang pertama kali terjadi di negeri ini. Sebelumnya, pada tahun 2019, pernah terciduk seorang Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Andi Arief, di Hotel Peninsula, Slipi, Jakarta Barat karena memiliki barang terlarang. Begitu pun pada tahun-tahun sebelumnya, pernah menimpa sejumlah pejabat negeri. (Kompas.com, 5/3/2019)
Ironisnya lagi, kelima pejabat ini melakukan tindakan tercela saat masih berlangsungnya PPKM. Seharusnya keluar rumah ketika memiliki kepentingan yang sangat penting saja, agar mampu menekan laju peningkatan angka yang terpapar virus. Namun, nyatanya mereka dengan ringannya melangkahkan kaki keluar untuk bersenang-senang memenuhi hawa nafsunya. Bagaimana masyarakat akan menaruh kepercayaan pada pemerintah, jika mereka saja melanggar aturan yang sedang berlaku saat ini? Tidakkah mengambil pelajaran dari kasus para pejabat sebelumnya yang tersandung kasus yang sama?
Terulangnya kembali peristiwa yang sama bukanlah suatu hal yang kebetulan, melainkan ada pengaruh dari sistem yang dijalankan di negeri ini yakni sistem sekularisme. Sistem yang minus dari dimensi ruhiyah, mencampakkan aturan Allah dalam pengurusan kehidupan, dan mengantarkan mereka pada kehidupan yang bebas aturan. Sehingga melahirkan para pemimpin yang minim tingkat keimanannya pada Allah, oportunis, zalim, mengkhianati rakyatnya, ingkar terhadap janji-janji politiknya, krisis empati, dan hanya mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Di samping itu, kepemimpinan saat ini juga hanya sebatas urusan kekuasaan dan alat memuluskan kepentingan saja. Maka tak heran menjadi ajang untuk diperebutkan tanpa memikirkan dan memahami seperti apa tanggung jawab seorang pemimpin.
Jika sudah terpengaruh oleh sistem yang rusak ini, maka memang sulit mewujudkan pemimpin yang adil, amanah, dan berpihak untuk kepentingan rakyatnya. Menjadi suatu hal yang mustahil pula untuk memberikan keteladanan bagi rakyatnya. Lantas seperti apa karakter pemimpin yang mampu memberikan keteladanan bagi rakyatnya? Dan pernahkah pemimpin yang ideal ini memimpin dunia?
Karakter Pemimpin dalam Islam
Islam sebagai agama yang paripurna memandang kekuasaan itu perkara yang penting. Hanya saja, ada faktor lain yang lebih penting yakni menjadikan orientasi kekuasaan ini untuk menegakkan, memelihara, dan menyebarkan Islam. Dengan kata lain, negara menjadikan Islam sebagai satu-satunya aturan yang diterapkan.
Sepanjang sejarah politik Islam, kekuasaan selalu diorientasikan untuk menegakkan, memelihara bahkan mengemban Islam. Gambaran pemerintahan yang seperti ini pernah berlangsung hingga 13 abad lamanya. Sejak Rasulullah Saw menegakkan kekuasaan dengan mendirikan pemerintahan Islam (Daulah Islam) di Madinah, lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dengan sistem Khilafahnya, kemudian masa Kekhilafahan Umayyah, Abasiyyah dan Utsmaniyyah.
Adapun kriteria pemimpin dalam Islam di antaranya: Pertama, orang yang bertakwa kepada Allah. Takwa berarti taat atas segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Pemimpin yang bertakwa akan takut jika melaksanakan perannya tidak sesuai dengan aturan Allah. Mereka akan merasa terus diawasi oleh Sang Pembuat Aturan. Alhasil, pemerintahannya akan berjalan sesuai ketetapan Allah.
Kedua, jujur. Sifat ini dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Bahkan dari sebelum diutus sebagai nabi dan rasul pun, beliau sudah dikenal oleh kaum Quraisy sebagai orang yang jujur, sehingga diberikan gelar Al-Amin. Begitupun dengan para sahabat, mereka tidak pernah mencoba untuk berdusta, baik saat masih jahiliyah maupun setelah menjadi muslim. Pemimpin yang jujur berarti tidak akan berdusta, sehingga mereka akan mendapatkan kepercayaan dari rakyatnya.
Ketiga, amanah. Amanah merupakan salah satu sifat yang wajib dimiliki seorang pemimpin. Sebab, dengan sifat ini mereka akan menjaga kepercayaan rakyat atas tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Di samping itu, Allah dan Rasulul-Nya akan menegur dengan keras jika amanah itu dirusak, yakni dengan mengharamkan surga atasnya.
Keempat, komunikatif. Seorang pemimpin seharusnya memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Hal ini dimaksudkan agar mereka mampu berinteraksi dengan baik dengan rakyatnya. Mendengar keluh kesah masyarakat, menerima nasihat ataupun menerima kritik terhadap pemerintahannya.
Kelima, cerdas. Tingkat kecerdasan seorang pemimpin akan memberikan kemudahan untuknya dalam memecahkan permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sebab, ia memiliki cukup ilmu untuk dapat memahami sebuah persoalan dan memberikan solusi yang tepat baginya.
Keenam, adil. Berdasarkan QS An-Nahl: 90, Allah menyuruh pemimpin untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, serta melarangnya untuk melakukan kemungkaran dan perbuatan yang keji. Allah dan Rasul-Nya pun memuji para pemimpin yang adil. Mereka akan menjadi golongan yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di samping Allah.
Demikianlah karakter yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Karakter di atas tentu tidak akan lahir dari sistem pemerintah yang menganut liberalisme dan sekularisme, tetapi hanya akan lahir dari sistem yang baik dan sempurna, yakni sistem Islam. Mengapa? Karena kepribadian luhur mereka akan terbentuk secara sistemik.
Sosok-sosok negarawan yang terlahir dari sistem Islam yang mendunia di antaranya Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul Aziz, Harun Ar-Rasyid, dan lainnya. Mereka memiliki akhlak yang mulia, sangat dicintai oleh rakyatnya, dan ditakuti oleh musuh-musuhnya.
Sistem yang baik dan bersumber dari Sang Pencipta mampu melahirkan insan-insan yang beriman, bertakwa, amanah, adil, dan jujur. Tidakkah kita rindu pada sosok pemimpin seperti mereka?
Wallahu a'lam bishshowab[]