"Pandemi hanya sebagai trigger yang membuka tabir kebobrokan demokrasi. Rakyat menanti-nanti sebuah terobosan nyata untuk membawa dunia keluar dan survive menaklukan wabah."
Oleh: Aina Syahidah
NarasiPost.Com-Kekhawatiran diungkapkan oleh sejumlah pihak atas eksistensi demokrasi selama gejolak pandemi Covid-19. Peneliti LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti, mengatakan bahwa pandemi adalah tantangan bagi demokrasi. Belum lagi, beberapa keputusan dan kebijakan yang diambil oleh penguasa di masa ini tidak jarang dianggap bertentangan dengan nilai- nilai demokrasi itu sendiri. Pihaknya juga mengingatkan bahwa Covid-19 telah mengubah kebiasaan dan perilaku masyarakat. Dari segi politik, pandemi mengharuskan pemerintah untuk melahirkan regulasi-regulasi baru, berikut cara pikir dari level lokal sampai global. Di samping itu, pandemi juga mengubah wajah demokrasi parlemen, parpol, elektrol, dan lainnya. (lipi.go.id, 12/01/2021)
Itulah mengapa dibutuhkan kehati-hatian dari pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait pandemi, jangan sampai, justru menjadi bumerang bagi kelangsungan nilai-nilai demokrasi. Senada dengan itu, Sekjen PBB Antonio Guttrenes juga mengingatkan, agar pandemi Covid-19 jangan sampai merusak nilai demokrasi, mengancam HAM, serta membatasi ruang publik (10/12/2020)
Dari paparan di atas secara tidak langsung menginformasikan kepada kita, betapa hari ini para pakar dan pendukung sistem demokrasi mulai was-was. Eksistensi sistem ini selama wabah pun begitu dikhawatirkan, akankah ia berhasil bertahan dan membawa dunia keluar dari kungkungan wabah dengan selamat tanpa menimbulkan kerugian besar?
Sebagaimana diketahui, beberapa negara di dunia saat ini telah mengalami kondisi buruk di tengah pandemi. Tentu bukan karena semata ulah pandemi, melainkan karena kerusakan sistem yang sebenarnya sudah lama berlangsung. Pandemi hanya sebagai pemantik yang membawa fakta itu muncul ke permukaan. Sayangnya, para kapitalis berasumsi ini efek pandemi, padahal kerusakan ini sejatinya sudah terjadi sejak diterapkannya sistem ini.
Sebut saja Tunisia, negara ini sampai harus merombak kabinet pemerintahannya akibat dari buruknya sistem dan ketahanan politik serta ekonomi negaranya yang semakin parah selama pandemi Covid-19 menyerang. Presiden, Kais Saied, berupaya untuk menyelamatkan pemerintahan sekaligus mempertahankan citra demokrasi di negeri itu agar tidak kolaps dan rusak. Saking terancamnya, AS melalui penasihat keamanan nasionalnya, Jake Sullivan, mendesak agar Kais segera membawa Tunisia kembali ke jalur demokrasi. (Republika.co.id, 01/08/2021)
Di tanah air, pamor sistem ini juga tengah dipertaruhkan. Pasalnya, Indonesia ditetapkan sebagai negara dengan penanganan pandemi Covid-19 terburuk, yakni berada di peringkat 53 dari 53 negara. Media asing Bloomberg menetapkan hal tersebut dengan melihat indikasi tingginya angka kematian, rendahnya vaksinasi, dan pembatasan gerak publik. Menyikapi hal itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes menegaskan bahwa tak ada jurus jitu untuk menangani Covid-19 hari ini. Semua negara bahkan negara maju sekalipun sedang berjuang untuk keluar dari lingkaran wabah yang mematikan ini. (m.tribunnews.com, 31/07/2021)
Respon ini lagi-lagi mempertegas, betapa tatanan dunia hari ini tengah ditantang untuk dapat menyelesaikan problem global nan langka ini.
Mampukah? Sementara kerusakan pada mesin sistem ini tengah berlangsung sejak 14 tahun terakhir menurut Freedom House 2019. Pandemi hanya sebagai trigger yang membuka tabir yang selama ini mungkin kerap ditutup-tutupi.
Melihat kondisi ini maka tidak keliru untuk mengatakan bahwa pandemi telah membawa demokrasi ke persimpangan jalan. Saat ini semua mata dan telinga rakyat tertuju padanya, mereka semua menanti-nanti sebuah terobosan nyata untuk membawa dunia keluar dan survive menaklukan wabah.
Sayangnya, sepanjang wabah terjadi. Proses penanganannya justru ternodai oleh imbas dari buruknya citra demokrasi yang hari ini telah ditunggangi oleh banyak oligarki. Hal yang paling menyakitkan adalah dikorupsinya dana bantuan sosial bagi warga terdampak wabah. Berikut diikuti dengan masuknya TKA di tengah besarnya gelombang PHK dan PPKM di dalam negeri. Belum lagi dengan sikap para elit yang seolah nirempati.
Di tingkat dunia, pelaksanaan Olimpiade Tokyo yang menghabiskan dana sebesar 15,4 miliar dolar AS mendapat sorotan dari Universitas Oxford yang dinilainya mengesampingkan aspek prioritas lainnya. Besaran dana ini diperhitungkan dapat membangung 300 rumah sakit dengan kapasitas 300 kamar tidur. (Republika.co.id, 09/08/2021)
Tentu dunia saat ini lebih membutuhkan hal ini. Sayangnya, negara-negara besar kampiun demokrasi tidak melihat hal itu. Inilah sejatinya potret ketidakempatian yang begitu sangat vulgar dipertontonkan. Hanya saja publik sedikit yang menyadari. Lantas masihkah kita berharap?
Simpulan
Kegagalan serta ketidakmampuan sistem hari ini dalam membaca dan memenuhi apa yang sebetulnya diinginkan rakyat adalah potret dari buruknya hasil daripada racikan aturan yang dicetuskan manusia itu sendiri. Demokrasi, sebagaimana diketahui lahir dari rahim peradaban sekuler yang miskin nilai ruhiyah dan hanya pro pada kepentingan segelintir elit. Di tengah wabah ia tak bisa berbuat banyak. Walau kerap mendeklarasikan diri sebagai sistem yang pro pada rakyat. Nyatanya, kebijakan demi kebijakan yang dilahirkannya lebih berat kepada kepentingan para kapitalis.
Menimbang hal itu, maka dunia hari ini sejatinya membutuhkan hadirnya sebuah tatanan kepemimpinan yang berdimensi ruhiyah, full empati, dan mau berpihak kepada rakyat. Di samping itu, dunia juga membutuhkan model kepemimpinan yang benar-benar bertindak sebagai pengurus dan penjaga rakyat. Dan Islam adalah satu-satunya harapan. Kenapa? Karena Islam satu- satunya ideologi dibangun atas dimensi ruhiyah. Yang tidak mengesampingkan urusan agama dari kehidupan. Ditambah lagi, amanat kepemimpinan politik yang terbangun di atasnya ialah murni untuk mengurusi seluruh hajat hidup rakyat, bukan untuk kepentingan para pelaku korporat.
Di samping itu pula, kepemimpinan Islam telah terbukti berhasil membawa umat keluar dari kungkungan wabah. Bahkan pola vaksinasi yang dahulu diterapkan oleh negara Islam sebagai metode dalam mengatasi wabah menjadi kiblat dunia. Maka tunggu apa lagi. Bukankah memang kita punya harapan yang sama untuk segera terbebas dari wabah? Wallahualam[]