"Indonesia bagaikan kapal yang mulai karam dengan beratnya muatan utang negara. Berkedok untuk menyelamatkan rakyatnya namun ternyata demi memberikan insentif pada BUMN hingga investasi."
Oleh. Neneng Sri Wahyuningsih
NarasiPost.Com-“Utang luar negeri telah menimbulkan perlambatan pertumbuhan ekonomi bagi negara yang punya utang besar, bahkan lebih jauh lagi utang luar negeri telah membawa banyak negara berkembang yang memiliki utang besar masuk ke dalam jebakan utang (debt trap) dan ketergantungan utang (debt overhang) [Kenen (1990) dan Sachcs (1990)].
Pada acara bedah buku "Mengarungi Badai Pandemi" di Youtube Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, Sabtu (24/7/2021), Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan alasan mengapa pemerintah terus mengambil utang di tengah pandemi saat ini. Menurutnya, pandemi Covid-19 merupakan tantangan besar karena dapat mengancam manusia dan merusak perekonomian negara. Meski begitu, tetap harus dihadapi. Sehingga untuk menyikapi persoalan ini, pemerintah pun harus mengeluarkan kebijakan yang extra. Kondisinya pendapatan negara menipis, sedangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN) membengkak guna memenuhi anggaran di bidang kesehatan, bantuan sosial, membantu masyarakat, daerah, dan menjaga perekonomian. Lantas dari mana dananya untuk memenuhi semuanya ini? Maka negara pun mengambil kebijakan untuk menambah utang lagi. Konon, mereka akan melakukan apa saja demi menyelamatkan warga dan perekonomian negeri ini. (CnnIndonesia.com, 24/7/20221)
Hanya saja, muncul spekulasi di tengah-tengah publik. Mampukah negara melunasi utang-utang tersebut di masa depan? Benarkah alasan di balik berutang ini untuk menyelamatkan rakyat?
Utang: Buah Diterapkannya Sistem Ekonomi Kapitalisme
Dilansir dari Sindonews.com (25/7/2021), Kementerian Keuangan menyatakan utang pemerintah hingga akhir Juni 2021 mencapai Rp6.554,56 triliun. Angka ini tentu tidaklah sedikit. Setiap tahunnya utang selalu bertambah. Ketika membayarnya, negara pun berutang lagi. Akhirnya menjadi ketergantungan. Utang seolah menjadi jalan ideal untuk keluar dari permasalahan dan mampu memenuhi segala kebutuhan.
Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menyampaikan setiap warga negara termasuk bayi yang baru lahir menanggung puluhan juta rupiah utang pemerintah. (pikiranrakyat.com, 20/10/2020)
Jika terus terjadi seperti ini, sudah pasti beban semakin berat. Tak heran rakyat pun menjadi khawatir, jikalau pemerintah gagal membayarnya maka akan mengancam kemandirian negeri ini. Negara juga selalu berdalih atas nama ‘menyelamatkan rakyat’ ketika hendak mengambil utang. Benarkah? Nyatanya, terdapat kebijakan negara yang tidak sejalan dengan ini, seperti pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp72 triliun untuk memberikan insentif pada BUMN hingga investasi.
Publik menilai, pemerintah seolah mengambil kesempatan dalam kesempitan, yakni menambah utang di masa pandemi dengan dalih menyelamatkan rakyat jelata padahal sebenarnya ingin menyelamatkan ekonomi pemilik modal.
Berutang juga berarti melanggengkan para kapitalis global untuk terus mencengkram negeri ini. Setiap kebijakan yang digulirkan akan disesuaikan dengan kepentingan mereka. Pun ketika akan menggunakan dana utang yang diberikannya, itu juga harus atas sepengetahuannya, yang notabene bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Miris. Negeri ini dikenal sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi dan sumber daya alamnya berlimpah ruah. Namun, negara menjadikan utang sebagai sumber pendapatan. Tanah yang subur ternyata tidak menjamin rakyatnya makmur. Sebelum pandemi saja, tingkat kemiskinan di negeri ini sangat tinggi. Apalagi kondisi pandemi seperti saat ini. Banyak ditemukan rakyat yang terdampak buruk pada aspek kesehatan dan kebutuhan pokok. Semua hal yang terjadi saat ini, seperti keliru dalam menetapkan kebijakan dengan menambah utang di tengah pandemi, keliru dalam mengelola hasil bumi serta dalam menentukan skala prioritas, mana yang harus lebih dulu diselesaikan, merupakan imbas dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalis. Sistem yang berorientasi pada manfaat, menjadikan sektor non-riil sebagai penopangnya. Padahal ekonomi yang ditegakkan oleh sektor non-riil sangatlah rapuh.
Sistem Keuangan dalam Islam
Islam sebagai agama yang paripurna memiliki pengaturan terkait keuangan negara. Di dalamnya diterapkan aturan yang sesuai Sang Pencipta, sehingga saat menjalankan roda perekonomiannya tidak dengan sistem ribawi.
Negara yang menerapkan sistem Islam yakni Khilafah, tidak menjadikan utang sebagai sumber keuangan negara. Pasalnya, utang selalu terikat dengan riba dan syarat lainnya, seperti mengintervensi kebijakan. Selama ada beban utang, rakyat pun akan terus berada dalam kondisi terpuruk.
Lantas seperti apa Islam mengatur keuangan negaranya? Dalam sistem ini, keuangan negara diambil dari Baitul Mal, dimana memiliki tiga pendapatan besar, di antaranya:
Pertama, pos kepemilikan negara. Pos ini untuk menyimpan dan mengatur arsip-arsip pendapatan negara, meliputi fa’i (barang temuan, harta sitaan, harta waris yang tak ada pewarisnya, dsb), kharaj (pajak bumi pada daerah yang pernah dibebaskan oleh Khilafah), ghanimah (harta rampasan perang), dan jizyah (pajak dari warga nonmuslim sebagai jaminan ketundukan mereka kepada Khilafah), dan sewa tanah-tanah milik negara.
Kedua, pos kepemilikan umum. Sumber daya alam yang melimpah termasuk kepemilikan umum seperti hutan, barang tambang, dan lainnya. Dalam pengelolaannya harus dilakukan oleh negara, tidak boleh diserahkan kepada pihak asing, sehingga hasilnya bisa dikembalikan lagi kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhannya, seperti biaya pendidikan, biaya kesehatan, biaya kebutuhan hidup, dan lainnya.
Ketiga, pos zakat. Pos ini menyimpan harta-harta zakat seperti zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat peternakan seperti domba, unta, kambing, dan sapi. Pos ini didistribusikan kepada delapan golongan ashnaf.
Adapun satu pos lagi yang bersifat luar biasa, yakni pos dharibah (pajak). Pos ini akan diberlakukan jika kondisinya negara kekurangan pendapatan. Dalam Khilafah, pajak bukanlah sumber pendapatan utama negara. Pemungutan pajak hanya pada kondisi tertentu saja ketika memang negara sedang dalam kesulitan. Selain itu, hanya diberlakukan bagi orang-orang kaya saja. Ketika kondisi keuangan negara sudah normal, maka pungutan pajak ini diberhentikan.
Adanya pos-pos di atas dan bertumpu pada sektor riil dan produktif mampu menjadikan kas negara relatif stabil, tidak mengalami defisit, dan tentu menyelamatkan nasib rakyatnya.
Dengan demikian, Khilafah tidak boleh menjadikan utang sebagai pendapatan negara untuk memenuhi kebutuhan anggaran belanjanya. Membiayai negara tanpa utang bukanlah suatu hal yang mustahil. Terbukti, selama tiga belas abad lamanya, mekanisme seperti ini pernah diterapkan dalam sebuah negara. Memberdayakan sumber daya alam dengan pengelolaan yang optimal dan maksimal akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Pun ketika dalam kondisi pandemi, sejarah mencatat bahwa kekhilafahan tidak pernah menjadikan utang sebagai sumber untuk menutupi kebutuhan anggaran belanja negara.
Saatnya mencampakkan sistem kapitalisme yang merusak dan kembali pada aturan Allah yang begitu sempurna. Menjalankan seluruh aturan-Nya dalam setiap kehidupan merupakan bukti totalitas ketaatan kita pada-Nya.
Wallahu a'lam bishshowab[]