“Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslim dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Maja, Al-Hakim)
Oleh. Ismawati
(Penulis dan Aktivis Dakwah)
NarasiPost.Com-Pesta demokrasi untuk memilih presiden terhitung masih tiga tahun lagi. Hanya saja, kampanye dengan memasang baliho foto para politisi semakin marak terjadi. Mulai dari Menteri, Pimpinan DPR RI hingga pejabat daerah ramai memasang baliho besar atau billboard di jalanan utama kota. Dilansir dari suarasurakarta.id (9/8), pengamat UNS Agus Riewanto mengatakan jika pemasangan-pemasangan baliho tersebut merupakan salah satu persiapan menuju 2021 dan bagian memperkenalkan diri kepada masyarakat. Selain itu, Agus mengatakan bahwa ini bagian dari curi start untuk penguatan publik supaya ingatan publik panjang terhadap para politisi ini.
Sungguh ironis, di tengah kondisi masyarakat yang dilanda pandemi kini para politisi lebih berpikir bertarung memperebutkan kursi RI satu dibandingkan dengan aksi nyata melawan pandemi. Meskipun tak secara langsung di dalam baliho tersebut para politisi memperkenalkan diri sebagai calon presiden atau wakil presiden 2024. Namun, tandanya cukup jelas karena ada tanda tulisan 2024 yang terpampang di baliho tersebut.
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Airlangga (Unair), Irfan Wahyudi, menilai bertebarannya papan reklame berisikan politikus yang berkampanye, telah mencederai perasaan masyarakat yang sedang berjuang dari pandemi Covid-19. Irfan menyebutkan, ada dua cara penyampaian pesan yang digunakan oleh para politikus dalam pemasangan iklan pada baliho, yaitu dengan promosi secara terang-terangan dan promosi melalui jargon. Dirinya menilai kedua cara itu sama-sama sebagai tindakan yang tidak berempati karena sekarang masih dalam kondisi pandemi. (republika.co.id 15/8/2021)
Pandemi (masih) Ada
Sebagaimana yang kita ketahui, Indonesia saat ini masih dilanda pandemi Covid-19. Jumlah kasus terkonfirmasi positif mencapai lebih dari 3,93 juta orang. Angka yang sangat fantastis bukan? Mengingat pandemi semakin menyusahkan rakyat. Banyak yang terancam kelaparan, gizi buruk, kehilangan pekerjaan, bahkan kehilangan nyawa karena tidak mampu bertahan hidup dalam kondisi pandemi.
Sayangnya, para politikus kehilangan sensitifitasnya kepada rakyat demi kursi politik. Mereka menghabiskan uang demi nafsunya menduduki jabatan pemerintahan. Wajar saja, pemerintahan dalam demokrasi merupakan jabatan yang menggiurkan. Namun, ongkos politik yang dikeluarkan pun tak kalah mahal. Seperti mahar untuk masuk ke dalam parpol, pendanaan kampanye seperti membuat baliho hingga melakukan survei.
Sebagaimana dilansir dari detiknews (6/8), baliho elite partai yang ada di kawasan Lingkar Selatan, Kota Bandung, harga untuk memasang baliho ukuran 4x8 meter satu tahun sekitar Rp180 juta hingga Rp200 juta itu lengkap dengan penerangan, izin, dan juga pajak selama satu tahun. Jika untuk satu bulan sekitar Rp15-20 juta. Sungguh, angka yang fantastis bukan?Jika dilihat dari kacamata rakyat yang saat ini sedang membutuhkan bantuan untuk dapat bertahan hidup dalam kondisi pandemi.
Kepemimpinan Islam
Sejatinya Islam memandang bahwa sebuah kepemimpinan adalah amanah yang berat. Karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Pemimpin dalam Islam adalah sosok pemimpin yang takut terhadap hukum Allah Swt. Pernah mendengar kah kisah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khathtab yang takut dimintai pertanggungjawaban akan seekor keledai yang terperosok di jalanan berlubang di kota Baghdad?
Seperti itulah sejatinya amanah besar kepemimpinan, harus disertai dengan rasa tanggung jawab. Terlebih, para pemimpin di dalam Islam membekali dengan keimanan dan ketakwaan. Sehingga, bekal ini yang akan membawa mereka takut akan azab Allah Swt apabila melalaikan tanggung jawabnya. Sebagaimana Sabda Nabi Saw, “Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslim dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Maja, Al-Hakim)
Maka, seorang pemimpin dalam Khilafah sangat berhati-hati dalam kepemimpinannya. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa menerapkan hukum Allah Swt. dari segala ini. Rasulullah Saw. bersabda : “Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan, dan pada akhirnya azab pada hari kiamat.” (HR. Ath-Thabrani)
Sejatinya sistem yang baik pasti akan melahirkan kepemimpinan yang baik. Pun sebaliknya sistem yang buruk akan melahirkan pemimpin yang buruk pula. Maka, hanya sistem Islam yang akan menghasilkan sosok pemimpin dambaan umat. Pemimpin yang akan mementingkan rakyatnya dan tidak haus kekuasaan untuk meraih materi semata. Sebab, ongkos memilih pemimpin dalam Islam tidak berbiaya mahal. Proses pengangkatan pemimpin dalam sistem Islam dilaksanakan secara efektif tanpa melalui proses panjang, melelahkan, dan tidak butuh modal miliaran.
Sebagaimana dahulu ketika Rasulullah Saw. mengangkat Muadz bin Jabal menjadi Wali (setingkat gubernur) di wilayah Janad, Ziyad bin Walid di Wilayah Hadharamaut, dan Abu Musa al-‘Asyari di wilayah Zabid dan ‘Adn.
Para pemimpin terpilih haruslah berdasarkan kemampuan mereka dalam mengurus rakyat. Sebab, rakyat harus dilindungi dari ancaman kelaparan, kemiskinan, termasuk bahaya adanya virus Covid-19 yang penularannya begitu cepat hari ini.
Sesungguhnya pandemi ini butuh solusi pasti, karena rakyat sudah lelah hidup dalam kesengsaraan. Saatnya umat menyadari bahwa kembalinya sebuah sistem Islam adalah sebuah keniscayaan. Sebuah janji Allah Swt. yang harus kita jemput dengan rasa keimanan dan ketakwaan.
Wallahu a’lam bishowab[]