"Taliban sudah terus menyatakan harapan mereka untuk menjalin hubungan baik dengan Cina, dan mereka menanti partisipasi Cina dalam rekonstruksi dan pembangunan Afghanistan," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hua Chunying
Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Afghanistan kembali menjadi sorotan. Diskusi seputar krisis Afghanistan mengemuka ke permukaan. Terlebih saat Taliban mampu menguasai kota Kabul dan menduduki Istana Kepresidenan Afghanistan. Kemenangan Taliban juga disinyalir dari kabar tentang Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, yang melarikan diri.
Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, mengatakan Taliban telah menang karena berhasil menduduki Kantor Kepresidenan. Ghani mengatakan bahwa Taliban bertanggung jawab penuh terhadap apa yang mereka lakukan. "Taliban telah menang dengan penghakiman pedang dan senjata mereka, dan sekarang bertanggung jawab atas kehormatan, properti, dan pertahanan diri warga negara mereka," kata Ghani dalam sebuah pernyataan yang diposting ke Facebook (AFP, 16/8/2021).
Kondisi Afghanistan tak lepas dari konstelasi internasional. Sebutlah Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, yang membuka suara atas kekacauan yang kini menyelimuti Afghanistan setelah kembali dikuasai kelompok Taliban. Biden menegaskan keputusannya untuk menarik tentara AS dari Afghanistan setelah operasi militer selama 20 tahun terakhir. (detik.com, 17/8/2021).
Fenomena Kemenangan Taliban
Tentu saja euforia kemenangan mengantar arus hangat dalam jiwa. Apalagi Al-Liwa dan Ar-Raya dikibarkan oleh milisi Thaliban. Bendera tauhid sekaligus bendera kaum muslim itu memberikan energi luar biasa bagi para pejuang Islam. Namun, benarkah kemenangan Taliban murni seperti metode Rasulullah Saw?
Terungkap sebuah pernyataan dari Cina terkait kesiapan mereka untuk menjalin kerja sama dengan Afghanistan setelah Taliban mengambil alih kekuasaan di negara itu pada Minggu (15/8). "Taliban sudah terus menyatakan harapan mereka untuk menjalin hubungan baik dengan Cina, dan mereka menanti partisipasi Cina dalam rekonstruksi dan pembangunan Afghanistan," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hua Chunying (AFP, 15/8/2021).
Pernyataan Joe Biden dan Juru Bicara Kemenlu Cina berseberangan. Di saat AS menyatakan menarik pasukannya, Cina menyatakan akan bekerja sama dengan Taliban. Sungguh kondisi itu bagai keluar dari mulut buaya masuk ke mulut harimau. Kondisi yang demikian itu sama bahayanya.
Taliban dan Amerika Serikat sempat melakukan perjanjian damai tahun lalu. Pihak Amerika Serikat (AS) dan Taliban telah menandatangani perjanjian damai pada Sabtu (29/2/2020) di Doha, Qatar. Perjanjian ini menandai berakhirnya invasi militer AS di Afghanistan selama 18 tahun lebih. Sejak 2001, AS menginvasi Afghanistan, puluhan ribu korban berjatuhan dan kerugian ditaksir mencapai 2 triliun dolar AS (sekitar Rp28,6 kuadriliun), demikian data yang diungkap The Washington Post. (kompas.com, 1/3/2020)
Adapun isi perjanjian tersebut antara lain: Pertama, AS menarik mundur pasukannya. Kedua, AS melepas tahanan perang Maret 2020. Ketiga, sanksi AS kepada anggota Taliban akan dihapus. Keempat, kewajiban Taliban untuk tidak kerja sama dengan siapa pun yang mengancam keamanan AS. Kelima, pengesahan PBB terkait perjanjian Taliban-AS.
Dari perjanjian tersebut tampak hegemoni AS begitu kuat. Perjanjian itu menggambarkan kewajiban Taliban, jika sampai melanggar, harus siap menanggung konsekuensinya. Tatkala AS bersuara akan menarik pasukannya, Taliban memanfaatkan kesempatan bergerak menguasai Afghanistan.
AS masuk ke Afghanistan pasca peristiwa 11 September 2001 dengan meledaknya WTC di New York dan Pentagon di Washington. Dalam kitab Mafahim Siyasiyah karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani edisi revisi, disebutkan bahwa AS menjadikan peristiwa peledakan WTC sebagai justifikasi memerangi apa yang disebut "terorisme." Maka, AS pun menduduki Afghanistan dan Irak dengan dalih itu.
Masa 20 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Afghanistan tentu sudah ada dalam bayang-bayang AS. Kebijakan "Eather you are with us or you are with terrorist" berembus di Afghanistan. Tentu hal itu memberi pengaruh pada masyarakat di sana. Kiranya layak kemenangan Taliban menjadi tumpuan harapan perubahan. Jika saja lurus dan berpegang teguh kepada syariat Islam, Taliban akan mampu berdikari. Pertanyaannya, apakah Taliban akan menerapkan syariat Islam dalam institusi negara yang akan dipimpinnya?
Kabar Taliban akan bekerja sama dengan Cina membuat harapan itu terkikis. Bagaimana mungkin Taliban akan mandiri dalam mengurusi urusan pemerintahan jika bersedia bekerja sama negara Cina. Intervensi itu masih akan berlanjut meski AS telah hengkang.
Arah Perjuangan Islam
Kemenangan Taliban tak serta-merta membuat Afghanistan menerapkan syariat Islam secara kafah. Kerja sama yang disepakati Taliban dengan hina mengindikasikan ke arah perubahan parsial. Apalagi jika arah perjuangan hanya sebatas perubahan di dalam negeri saja. Tentu, kondisi masyarakat tak akan berubah.
Dalam pandangan Islam, upaya mewujudkan kemenangan hakiki dan bebas intervensi tidak akan menerima tawaran dari pihak lain, terutama dari negara kafir. Rasulullah Saw. pernah menolak tawaran tahta, harta, dan wanita dari Kaum Quraisy. Beliau juga pernah menolak tawaran pemimpin Bani Amir bin Sho'sho'ah yang bersedia menolong Nabi dengan syarat, yakni setelah Nabi tiada, dia yang akan memegang tampuk kekuasaan.
Rasulullah Saw. dan para sahabat senantiasa istikamah di jalan dakwah. Fikrah dan thariqah dakwah Rasul membawa Islam pada kegemilangan dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Rasulullah menegakkan sistem pemerintahan Islam di Madinah tanpa iming-iming dan syarat dari Kaum Quraisy ataupun bani yang lainnya.
Kemenangan hakiki akan diraih saat arah perjuangan hanya untuk melanjutkan kehidupan Islam. Dimana Islam bukan hanya sebagai agama semata, namun juga sebuah ideologi yang sempurna. Semua problematika kehidupan akan ada penyelesaiannya. Saat Islam dijadikan sebagai ideologi, maka arah perjuangan Islam tak akan mudah disusupi embusan intervensi dari pihak mana pun.
Wallahu a'lam.[]
Photo : Pinterest