"Saya tidak punya perhitungannya karena variabelnya banyak sekali. Yang jelas utang itu semakin membebani negara, semakin membebani APBN, bunganya naik terus. Sudah jauh di atas negara raja utang"
(Faisal Basri )
Oleh. Merli Ummu Khila
(Pemerhati Kebijakan Publik)
NarasiPost.Com-Tidak ada solusi kecuali utang. Mungkin itu yang menjadi prinsip pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Bahkan Menkeu, Sri Mulyani, menyatakan bahwa utang merupakan instrumen menyelamatkan masyarakat dan perekonomian di masa pandemi. Sungguh sebuah pernyataan yang kontradiktif, mengingat bahaya jerat utang luar negeri. Pernyataan tersebut jelas dituntut pembuktiannya, dikarenakan faktanya tidak ada kebijakan yang dirasakan lansung oleh masyarakat.
Seperti dikutip dari Kompas.com (16/07/2021), Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia sampai dengan Mei 2021 sebesar 415 miliar dolar AS atau setara Rp6.017 triliun (asumsi kurs Rp14.500 per dolar AS).
Utang luar negeri dianggap hal yang biasa, terlebih bagi negara yang berasaskan kapitalisme liberal. Rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara memang tidak pernah seimbang. Pendapatan negara yang hanya mengandalkan pajak sebagai sumber utama, tentu saja tidak akan mampu menopang pengeluaran negara yang besar.
Pemerintah seolah hanya berkutat pada dua hal ketika menyangkut pengelolaan keuangan negara. Ketika terjadi defisit anggaran, maka pemerintah akan melakukan pemangkasan agar defisit tidak melebar. Memangkas atau menghilangkan sebagian subsidi yang dinilai membebani APBN. Selain itu pemerintah berupaya menggenjot pendapatan negara dengan memaksimalkan pajak. Jika penerimaan ini belum mencukupi, maka pemerintah memutuskan untuk menambah utang luar negeri.
Skema ini terjadi berulang-ulang setiap tahunnya dan terjadi dari rezim ke rezim. Seolah menjadi karma demokrasi, negara tidak bisa lepas dari jeratan utang. Inilah yang menjadi bom waktu sehingga nilai utang di luar kendali. Utang bak candu narkoba yang sulit dihentikan karena sudah dianggap sebagai solusi paling tepat.
Jerat Utang Ancam Kedaulatan Negara
Sejumlah pakar mulai mengkhawatirkan kemampuan Indonesia melunasi utang luar negeri. Faktanya saat ini, jangankan untuk melunasi atau mencicil sebagian ULN, justru menambah utang hingga melampaui batas rekomendasi IMF. Jadi, kecil kemungkinan pemerintah mampu membayar utang tersebut dan ini bukan tanpa risiko.
Seperti dikutip dari CNN Indonesia, (28/06/2021) Ekonom Senior, Faisal Basri, mengungkapkan risiko atas utang negara yang menggunung saat ini. Risiko itu bisa muncul bila Indonesia gagal membayar utang (default). Ia mengatakan risiko besar jika itu terjadi adalah ancaman pada kedaulatan RI.
"Saya tidak punya perhitungannya karena variabelnya banyak sekali. Yang jelas utang itu semakin membebani negara, semakin membebani APBN, bunganya naik terus. Sudah jauh di atas negara raja utang," ujarnya.
Dalam kesempatan lain, Faisal memperingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam mengelola utang. Pasalnya, mayoritas atau 85 persen komponen utang berasal dari pasar uang, sehingga bisa mengancam stabilitas makro ekonomi khususnya pelemahan nilai tukar rupiah. Hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena mungkin saja Indonesia akan bernasib seperti negara-negara yang kolaps karena utang. Seperti halnya yang terjadi pada negara Yunani, Argentina, Zimbabwe dan Venezuela. Bukan tidak mungkin aset-aset negara terancam bisa berpindah tangan ke kreditur.
Pengeluaran Tidak Sesuai Skala Prioritas
Defisit anggaran yang semakin melebar dipicu oleh pengeluaran yang tidak bisa mengimbangi pemasukan . Hal ini berlansung sejak lama yang membuat peperintah semakin tidak mampu menalangi anggaran kecuali berutang. Hal ini dikarenakan alokasi anggaran yang tidak berdasarkan skala prioritas.
Faktanya seperti anggaran pemindahan ibukota negara meskipun tidak semua dibebankan pada APBN, namun megaproyek ini bukanlah prioritas utama mengingat indonesia saat ini sedang berperang melawan pandemi. Contoh lain yang baru-baru ini sedang hangat diperbincangkan yaitu proyek laptop Merah Putih senilai Rp17 triliun yang dinilai hanya menjadi angin segar bagi investor. Belum lagi pembangunan infrastruktur yang mangkrak karena kasus korupsi serta proyek-proyek tidak beroperasi sesuai harapan.
Perampokan Uang Rakyat Makin Masif
Selain pembelanjaan yang tidak tepat. Kas negara juga menjadi bancakan para pejabat dari pusat hingga daerah. Setiap anggaran pengeluaran menjadi lahan basah bagi tikus berdasi merampok sebanyak-banyaknya. Dari kasus penyalahgunaan wewenang, gratifikasi hingga mark up anggaran. Bahkan bisa dipastikan tidak ada instansi pemerintah yang bebas dari korupsi. Mirisnya, dari tiga lembaga yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif justru terjadi politik saling sandera yang menjadikan megakorupsi sulit diungkap.
Penerapan Ekonomi Kapitaslisme Liberal Untungkan para Kapital
Roda perekonomian berjalan berasaskan kapitalis liberal. Kebijakan pasar diserahkan sepenuhnya pada pemilik modal dan kepemilikan menjadi hak individu tanpa batasan. Hal ini yang menjadi pemicu kesenjangan sosial di masyarakat. Para pemilik modal berkuasa dan mengendalikan pasar menjadikan mereka konglomerat. Sebaliknya rakyat kalangan menengah ke bawah hanya mampu menjadi konsumen dan tidak jarang mereka harus di kolong melarat.
Perekonomian kapitalisme liberal yang didominasi oleh sektor nonriil membuat distribusi kekayaan hanya berputar di segelintir orang. Kebanyakan orang kaya memarkirkan kekayaannya di sektor perbankan dan surat berharga. Hal inilah yang membuat minimnya lapangan kerja yang membuat gelombang pengangguran semakin besar setiap tahunnya.
Dari analisa di atas bisa disimpulkan bahwa menumpuknya utang luar negeri disebabkan oleh keterbatasan pemasukan negara yang hanya ditopang oleh pajak serta kegagalan negara mengelola pengeluaran.
Sumber Pemasukan dalam Islam Melimpah Ruah
Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwal fi dawlah Al-khilafah (sistem keuangan negara khilafah) menjelaskan sumber pemasukan negara diantaranya:
1.Bagian fai' & kharaj mencakup bidang ghanimah(harta rampasan perang), kharaj(cukai), status tanah, jizyah(pajak nonmuslim), fa'i(harta yang didapat dari nonmuslim), dharibah(pajak temporal).
- Bagian pemilikan umum, mencakup minyak & gas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan dan padang rumput gembalaan.
- Bagian zakat, mencakup zakat mal dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak unta, sapi dan kambing.
Dari sumber-sumber di atas bisa dibayangkan betapa surplusnya pemasukan negara seandainya diterapkan di negeri ini. Mengingat kekayaan alam yang melimpah ruah di darat, laut, dan bawah tanah. Dengan melimpahnya sumber pemasukan, kemudian diatur sesuai dengan sistem Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah tentu saja mudah bagi negara ini terbebas dari utang luar negeri.
"Pada masa pemerintahan Abdurrahman III diperoleh pendapatan sebesar 12,045,000 dinar emas (lebih dari Rp24 triliun). Diduga kuat bahwa jumlah tersebut melebihi pendapatan pemerintahan negeri-negeri Masehi Latin jika digabungkan. Sumber pendapatan yang besar tersebut bukan berasal dari pajak yang tinggi, melainkan salah satu pengaruh dari pemerintahan yang baik serta kemajuan pertanian, industri, dan pesatnya aktivitas perdagangan.” (Will Durant – The Story of Civilization).
Lalu apa yang diragukan dari sistem Islam yang telah terbukti menyejahterakan ini?
Wallahu a'lam bishshawaab[]
photo : pinterest