"Penggelontoran dana laptop merah putih menandakan kalau pemerintah berkutat pada lubang yang sama dengan rapor merah yang makin pekat dalam penanganan pandemi covid-19. "
Oleh. Dia Dwi Arista
NarasiPost.Com-Pemerintah telah memutuskan akan membuat gebrakan baru dengan memperkuat produksi barang dalam negeri. Ketergantungan impor yang selama ini menjadi pilihan, dinilai tidak baik bagi perkembangan bangsa ke depannya. Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Bansar Pandjaitan, telah memutuskan untuk memproduksi laptop dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang tinggi.
Tak tanggung-tanggung, biaya yang digelontorkan demi menghidupkan laptop yang akan resmi bernama Merah Putih ini menelan biaya hingga mencapai Rp17 triliun, dengan masa produksi dari tahun 2021 hingga 2024. Kebutuhan laptop untuk tahun ini, yang berjumlah 718.000 unit akan dipasok oleh enam produsen laptop gandengan pemerintah.
Dengan rincian, PT Zyrexindo Mandiri Buana akan memproduksi sebanyak 317 ribu unit pada bulan November tahun ini, PT Tera Data Indonusa 205 unit, PT Supertone sebanyak 21 ribu unit, PT Evercross Technology Indonesia 55 ribu unit, PT Bangga Teknologi Indonesia senbanyak 20 ribu unit, dan Acer Manufacturing Indonesia 100 ribu unit laptop.
Luhut mengatakan bahwa momen pandemi harus dimanfaatkan, karena pemakaian barang elektronik, apalagi laptop sangat tinggi, maka peluang ini harus dimanfaatkan. Dan pemerintah harus mendorong produksi dalam negeri agar tidak terus ketergantungan pada impor, padahal negeri ini bisa produksi sendiri. (money.kompas.com, 22/7/2021)
Salah Prioritas
Penggelontoran dana hingga belasan triliun oleh pemerintah untuk pengadaan laptop, lagi-lagi mendapat sorotan. Tentu karena banyak kalangan menilai, di tengah pandemi yang belum kunjung berakhir, bahkan jumlah positif dan kematian semakin meningkat, pemerintah bukannya fokus dalam membiayai penanganan pandemi, malah membuat langkah-langkah yang dinilai tidak penting pada saat ini.
Dengan berinvestasi pada hal yang bisa ditunda, pemerintah lagi-lagi melangkah pada lubang yang sama, menambah rapor merah penanganan pandemi di Indonesia. Belum lama ini pemerintah menambah utang ribuan triliun, dengan dalih untuk penanganan pandemi. Namun, kenyataannya, alokasi dana untuk kesehatan hanya Rp87,55 triliun, kalah besar dibanding dana upaya pemulihan ekonomi yang jika ditotal mencapai Rp385,75 triliun.
Apalagi utang pemerintah yang mencapai 2,56 triliun rupiah kepada 909 rumah sakit pada tahun 2020 belum terbayar, tunggakan kepada hotel yang menjadi tempat isolasi mandiri bagi pasien Covid-19 dengan total sebesar Rp140 miliar, dan tunggakan insentif tenaga kesehatan yang juga belum dicairkan dari tahun 2020 sebesar Rp1,480 triliun, berdampak pada tidak maksimalnya upaya penanganan wabah.
Ditambah dengan masalah kelangkaan alat-alat medis yang dibutuhkan oleh pasien Covid-19, seperti oksigen, yang hingga sekarang masih menjadi persoalan tersendiri. Terjadinya kelangkaan secara berkala terhadap alat-alat medis ini, menjadikan masyarakat panik dan berakhir pada penimbunan pada komunitas-komunitas masyarakat. Mereka beranggapan jika tidak menyimpan persediaan oksigen, nyawa mereka dan komunitasnya menjadi terancam, apalagi ketika rumah sakit penuh dan menolak pasien baru.
Tidak fokusnya pemerintah terhadap penyelesaian yang timbul karena adanya Covid-19, seperti alokasi dana yang kurang pada obat-obatan, alat medis, insentif nakes, dan bantuan kepada rakyat yang terdampak langsung dengan adanya pandemi menyebabkan pandemi semakin panjang. Bahkan pakar telah memprediksi jika Indonesia adalah negara terakhir yang berhasil keluar dari jeratan wabah ini jika penanganannya masih asal-asalan.
Sudah seharusnya pemerintah lebih memfokuskan arah kerjanya pada penanganan pandemi, agar pandemi ini segera hilang dari bumi pertiwi. Ketika fokus dibagi, apalagi diberi porsi mini, jangan harap hidup akan normal kembali, karena selama ada pandemi kehidupan ini tidak akan normal, apalagi ekonomi. Maka fokuslah pada pandemi. Ketika pandemi berakhir, dengan sendirinya ekonomi bisa terdongkrak naik.
Namun, saat ini pandemi malah dijadikan batu loncatan untuk menambah utang, padahal utang sudah diambang batas wajar. Penyelamatan rakyat jadi kambing hitam, tapi yang untung malah pengusaha, bisnisnya terselamatkan karena suntikan dana. Sedangkan rakyat lebih memilih mati di jalan daripada mati kelaparan.
Islam Menyelesaikan Persoalan Tepat Sasaran
Dalam masa syariat Islam menjadi aturan dalam daulah Khilafah, wabah juga pernah merajalela. Ketika Umar bin Khattab menjabat menjadi penguasa, Tha’un amwas menggejala di Syam. Banyak para sahabat Nabi yang gugur sebagai syahid karena wabah ini. Syam pun menjadi daerah terlarang untuk dikunjungi, warga yang berada di Syam juga tak dibiarkan keluar. Bala bantuan dari daerah-daerah lain berdatangan. Dan ketika jabatan Wali berada di tangan ‘Amr bin Al-Ash, ia menggunakan bimbingan nash syara’ dan kecerdikannya untuk mengatasi pandemi dengan bersih.
Ia memerintahkan mengisolasi yang sakit dari yang sehat, didasarkan pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. "Janganlah (unta) yang sakit itu didekatkan dengan (unta) yang sehat." (HR. Bukhari Muslim).
Kemudian diikuti dengan membuat aturan social distancing agar wabah tidak menular dari satu manusia ke manusia lain. ‘Amr bin Al-Ash berkata “Wabah itu adalah api sedangkan manusia adalah bahan bakarnya, maka hendaklah manusia memisahkan diri dengan manusia yang lain. Dengan cara ini api tidak akan menemukan bahan bakarnya”. Dalam pencegahan agar tidak tertular, Nabi juga pernah bersabda, "Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa." (HR. Bukhari Muslim).
Warga yang sakit karena terjangkit wabah diobati hingga sembuh, tak lupa keluarga dan rakyat lain yang sedang dikarantina juga mendapat bantuan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Fokus Khilafah akan dipusatkan pada penyelesaian wabah, dengan metode karantina wilayah yang terdampak hanya akan ada di wilayah tersebut. Maka perekonomian di wilayah lain bisa berjalan seperti biasa, hingga tidak mengguncang perekonomian negara secara menyeluruh.
Khilafah membiayai seluruh pengobatan dan biaya isolasi juga santunan kepada rakyat, bukan dari utang ribawi seperti yang terjadi pada negara kapitalis. Namun, harta tersebut berasal dari hasil pengelolaan harta milik umum yang akan dikembalikan untuk kepentingan rakyat kembali. Ketika harta tersebut tidak mencukupi, maka dengan terpaksa Khilafah akan menarik dharibah/ pajak pada rakyat yang kaya, dan akan berhenti jika harta telah mencukupi.
Wabah akan segera teratasi, perekonomian pun akan tetap berjalan seperti biasa, tidak perlu untuk terus-menerus memberi suntikan dana agar bisnis tidak kolaps. Demikianlah cara Khilafah tetap fokus pada penanganan wabah. Wabah teratasi, ekonomi pun terkendali. Allahu a’lam bis-showwab.[]