"Suara rakyat hanya sebagai instrumen pelengkap di saat pemilihan, setelahnya keberadaan mereka dilupakan. Inilah fakta buram sistem demokrasi yang terpampang nyata di negeri ini."
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Redaktur Pelaksana NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Wakil rakyat sejatinya adalah wadah penampung aspirasi rakyat dan penyambung lidah rakyat terhadap penguasa. Dalam sistem demokrasi, mereka dipilih untuk mengakomodasi kepentingan rakyat lewat berbagai kebijakan yang kelak akan disahkan. Namun, apa jadinya jika justru kepentingan rakyat banyak tercederai oleh ambisi kepentingan para wakilnya tersebut?
Sebagaimana yang baru-baru ini viral, anggaran pakaian dinas anggota DPRD di Kota Tangerang mencapai Rp672 juta untuk bahan pakaiannya saja. Sementara biaya menjahitnya diprediksi mencapai Rp600 juta. Alhasil, total anggaran yang dialokasikan untuk baju dinas 50 orang anggota DPRD tersebut mencapai Rp1.275 triliun. Sungguh fantastis!
Jelas saja hal tersebut menuai kontroversi. Sebab saat ini rakyat sedang dihadapkan pada keterpurukan ekonomi akibat pandemi yang tak kunjung usai. Khususnya rakyat di Tangerang, yang menurut data Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan di Kabupaten Tangerang meningkat tajam selama pandemi. Sebagaimana dilansir oleh Beritasatu.com (02-02-2021), Budi Supriyanto selaku Kepala BPS Kota Tangerang mengungkapkan ada penambahan 5,22% angka kemiskinan di Kota Tangerang selama pandemi.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Tangerang mencatat jumlah penduduk miskin dari awal Januari 2020 total angkanya naik mencapai 520.741. Sedangkan periode 2019 lalu sebanyak 476.636. (Kabar6.com, 20/05/2021)
Maka, wacana pengadaan pakaian dinas wakil rakyat dengan anggaran jumbo sungguh mengiris hati rakyat dan semakin mengikis tingkat kepercayaan publik pada jajaran anggota dewan. Bagaimana tidak, apa yang mereka wacanakan telah jelas mempertontonkan sebuah krisis empati terhadap kondisi masyarakatnya yang tengah terpuruk.
Semestinya para wakil rakyat yang sejatinya dipilih oleh rakyat, menjadi orang-orang yang paling peduli terhadap rakyat. Mereka seharusnya lebih memprioritaskan kepentingan rakyat ketimbang kepentingan pribadinya. Namun, sayangnya di sistem demokrasi hari ini, para wakil rakyat tidak bekerja untuk rakyat melainkan untuk memperkaya dirinya dan untuk memuluskan kepentingan partainya. Maka, jamak kita jumpai hari ini, aturan-aturan pesanan para korporat bahkan asing disahkan, meski tak mengakomodasi kepentingan rakyat. Sebut saja UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU Privatisasi, dan lain-lain. Kesemua itu hanyalah memuat aturan yang kian memuluskan jalan para kapitalis untuk menguasai negeri ini.
Begitulah karakter para wakil rakyat di sistem demokrasi hari ini, nyaris kontradiktif dengan namanya. Mereka bukanlah wakil dari rakyat, melainkan wakil para korporat. Sungguh miris! Lantas, bagaimana mungkin rakyat dapat melabuhkan asa kepadanya? Sementara kerapkali mereka harus menelan pil pahit kecewa atas berbagai kebijakan yang tidak pro rakyat.
Sungguh kian nyata, bahwa suara rakyat hanya sebagai instrumen pelengkap di saat pemilihan, setelahnya keberadaan mereka dilupakan. Inilah fakta buram sistem demokrasi yang terpampang nyata di negeri ini.
Di dalam sistem Islam, sebagaimana dahulu pernah diterapkan di masa Rasulullah Saw, para Khulafaur Rasyidin, dan para khalifah setelahnya, para wakil rakyat tidaklah sama dengan para wakil rakyat di sistem demokrasi hari ini. Para wakil rakyat pada saat itu dikenal dengan nama Majelis Umat. Mereka dibentuk untuk menjadi wakil dari rakyat dalam rangka menyampaikan pendapat kepada khalifah terkait perkara-perkara praktis yang berhubungan dengan pemeliharaan urusan rakyat. Nantinya, pendapat majelis umat akan dijadikan bahan pertimbangan bagi khalifah untuk membuat suatu kebijakan. Majelis umat juga boleh mengkritik atau memberi masukan kepada khalifah dalam kebijakan yang sudah atau sedang dilaksanakan. Adapun orang nonmuslim boleh menjadi anggota Majelis Umat sebagai wakil bagi kaumnya dalam rangka menyampaikan pengaduan dari kaumnya (nonmuslim) jika ada kezaliman penguasa terhadap mereka.
Begitulah, para wakil rakyat di dalam sistem Islam tidak berwenang membuat hukum, karena sejatinya kewenangan membuat hukum ada di tangan Allah. Dalam sistem Islam, khalifahlah yang menjadi wakil umat dalam menerapkan hukum syariat secara praktis di tengah masyarakat. Maka, di dalam sistem Islam tidak mungkin ada pelegislasian hukum pesanan asing maupun aseng, karena penggalian hukum bersumber pada Al-Qur'an dan As-Sunah.
Sungguh, dalam naungan sistem Islam takkan ada pembelanjaan terhadap anggaran negara demi sesuatu yang tidak perlu. Negara akan menakar prioritas pembelanjaan berdasarkan kepentingan rakyat yang utama. Sebab rakyat merupakan amanah, negara wajib memelihara seluruh urusan rakyat dengan serius agar terwujud keadilan dan kesejahteraan.
Begitulah hakikat sistem yang bernapaskan visi akhirat di dalamnya. Pondasinya adalah akidah Islam. Para penguasa yang menjalaninya pun telah memenuhi syarat syari, dari sisi kapabilitas keilmuan serta ketakwaannya kepada Allah. Sehingga roda pemerintahan akan dijalankan berdasarkan rasa tanggung jawab yang tinggi sebab ada kesadaran bahwa kelak semua itu akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Wallahu'alam.[]