Sungguh ironi, penistaan agama kembali terjadi di negeri mayoritas muslim ini. Penyebabnya tidak lain karena tidak adanya sanksi tegas dan menjerakan kepada para pelaku
Oleh. Ledy Ummu Zaid
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Siapa yang menyangka bahwa di negeri mayoritas muslim ini masih ada yang berani menistakan agama Islam? Tetapi inilah yang terjadi. Islam masih terus dinistakan bahkan oleh para pemeluknya sendiri. Sungguh ironi rasanya, penistaan agama yang tengah viral di masyarakat baru-baru ini dilakukan oleh seorang pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes). Tempat yang seharusnya menjadi rujukan para santri untuk menuntut ilmu syar’i, sayangnya dapat menjadi tempat penyebaran kesesatan dan penyimpangan agama.
Dilansir dari laman tvonenews.com (13-06-2024), Abuya Ghufron Al-Bantani atau yang biasa disapa Abuya Mama Ghufron mengaku telah merilis 500 kitab yang bertuliskan bahasa Suryani. Adapun hal ini berawal ketika publik menantang Abuya Mama Ghufron untuk membuktikan bahwa dirinya benar telah menulis 500 kitab dalam tulisan bahasa Suryani. Akhirnya, perdebatan mengenai adanya 500 kitab karangan Abuya Mama Ghufron yang bertuliskan bahasa Suryani tersebut viral di media sosial.
Dari laman yang berbeda, jatim.news.id (28-06-2024), sebelumnya, ponpes UNIQ Nusantara yang merupakan salah satu dari sembilan ponpes yang diasuh Abuya Mama Ghufron memantik perhatian usai ceramahnya disebut kontroversial. Pada ceramahnya tersebut, Abuya Mama Ghufron menyebut bisa berbahasa Suryani, berbahasa semut, hingga menjadi penjaga neraka. Adapun terkait bahasa Suryani ini, Abuya Mama Ghufron juga menyebutnya sebagai bahasa alam kubur kelak. Sontak, hal ini tentu menggegerkan publik. Padahal, terkait hal tersebut, muslim meyakininya sebagai hal yang gaib di mana hanya Allah subhanahu wa ta’ala yang tahu bagaimana kehidupan setelah kematian.
Memang membuat geregetan pernyataan-pernyataan Abuya Mama Ghufron tersebut. Dilansir dari laman suaranasional.com (19-06-2024), seorang aktivis Islam, Farid Idris mengatakan Abuya Mama Ghufron yang mengaku seorang wali dan mengarang 500 kitab berbahasa Suryani serta bisa berbahasa semut telah menyebarkan kesesatan. Menurutnya, pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) harus bertindak. “Masyarakat yang pemahaman Islamnya masih lemah bisa terpengaruh ajaran sesat Mama Ghufron,” ungkapnya dalam pernyataan kepada redaksi www.suaranasional.com, Rabu (19-06).
Kemudian, beliau juga menyarankan MUI seharusnya segera memanggil Abuya Mama Ghufron atas penyebaran ajaran sesat. Farid mengatakan MUI Banten harus memanggil Abuya Mama Ghufron untuk mengklarifikasi ajaran sesatnya. Adapun pertemuan MUI Banten dengan Abuya Mama Ghufron harus terbuka supaya publik mengetahui kapasitas keilmuan agama Islam yang dimiliki pengasuh Ponpes UNIQ Nusantara tersebut.
Sekali lagi, sungguh ironi, penistaan agama kembali terjadi dan terus berulang di negeri mayoritas muslim ini. Penyebabnya tidak lain karena tidak adanya sanksi tegas dan menjerakan kepada para pelaku sehingga tak mampu mencegah kejadian serupa terjadi di kemudian hari. Walhasil, akidah umat pun terancam. Tetapi kasus seperti ini telah menjadi hal yang lazim di sistem kapitalisme yang mana mengusung asas demokrasi atau kebebasan berpendapat. Dengan dalih mencari suara terbanyak atau yang dewasa ini kita kenal dengan viral di masyarakat, maka tak heran banyak orang yang ingin mencari popularitas dengan membuat konten-konten yang aneh bahkan tidak bermanfaat.
Hal semacam ini tentu akan mudah terjadi, mengingat kebebasan berpendapat diakui dalam sistem hidup hari ini. Akibatnya penistaan agama dapat tumbuh subur atas nama kebebasan berpendapat dan berperilaku. Di sisi lain, tidak ada dukungan dari sistem pendidikan dan informasi yang juga membuat masyarakat mudah percaya dengan informasi-informasi yang dapat mengancam akidah. Ketika pendidikan atau keilmuan masyarakat terkait akidah tidak kuat, maka individu dapat dengan mudah terjerumus pada hal-hal negatif termasuk percaya dan ikut-ikutan terhadap ajaran yang sesat. Kemudian, sistem informasi juga hanya berorientasi pada keuntungan belaka, di mana informasi yang dianggap aneh dan menarik banyak perhatian, maka akan terus dijual di ruang publik.
https://narasipost.com/opini/04/2021/hanya-sistem-islam-yang-mampu-melindungi-agama-dari-penistaan/
Namun, berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan negara sebagai penjaga akidah umat dan menetapkan semua perbuatan terikat dengan hukum syariat. Dalam Islam, tidak ada kebebasan dalam berbuat dan berbicara. Adapun pelanggaran hukum syariat adalah sebuah kemaksiatan yang mana ada sanksi tegas dan menjerakan dari negara. Begitu besar peran negara dalam menjaga akidah dan kesejahteraan hidup umat. Untuk membentuk seorang individu yang taat kepada Sang Khalik, Allah subhanahu wa ta’ala, negara akan menjaga mengontrol setiap keluarga muslim supaya memiliki keimanan yang kuat, dan menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Oleh karenanya, negara juga menjamin kebutuhan hidup rakyat dengan baik sehingga persoalan hidup terminimalisasi.
Adapun ketika berada dalam masyarakat, individu rakyat juga terpelihara atau teriayah dengan masyarakat dan peradaban islami. Dengan menjalankan syariat amar makruf nahi mungkar, setiap individu akan saling mengajak dalam ketaatan, dan mencegah dari kemaksiatan. Islam tentu memiliki sistem pendidikan yang mampu membangun keimanan yang kuat dan melahirkan generasi yang berkepribadian Islam. Walhasil, kemuliaan Islam dan umatnya akan senantiasa terjaga. Hal ini hanya akan kita temui dalam negara atau daulah Islam yang biasa disebut Khilafah Islamiah.
Khilafah tidak segan memberi sanksi bunuh bagi penista agama. Ada suatu riwayat yang menceritakan bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai khalifah atau pemimpin kaum muslimin pernah memerintahkan sanksi bunuh bagi penista agama. Kemudian, pada masa Khilafah Ustmaniyah, khalifah juga menindak tegas pelaku penista agama yang terang-terangan menistakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sebuah pertunjukan opera. Inilah bukti hanya sistem Islam sendirilah yang mampu menjaga kemuliaan agama dan para pemeluknya.
Tidak seperti hari ini, penistaan agama terus berulang yang mengakibatkan akidah umat terancam di negeri mayoritas muslim ini. Hal ini tak lain karena masih diterapkannya sistem kufur, kapitalisme demokrasi yang menjunjung tinggi nilai liberal atau bebas dalam berpendapat dan berperilaku. Padahal, Allah subhanahu wa taala berfirman, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al-Maidah: 50).
Oleh karena itu, muslim seharusnya hanya berpegang teguh pada hukum Allah subhanahu wa taala yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tak hanya itu, sudah sepantasnya kita juga merindukan peradaban Islam yang mulia di bawah naungan Khilafah Islamiah. Wallahu’alam bishshowab. []