Nasib guru honorer akan berbeda jika kebutuhannya dicukupi dan keberadaannya dilindungi. Mereka akan maksimal dan sepenuh hati mengajar anak didiknya.
Oleh. Atien
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Predikat "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" dalam arti sebenarnya ternyata bukan sekadar kata-kata. Hal tersebut benar-benar direalisasikan kepada para guru honorer di berbagai wilayah, termasuk di Provinsi DKI, Jakarta. Pemecatan sepihak dilakukan oleh kepala sekolah yang bersangkutan tanpa ada surat pemberitahuan sebelumnya.
Para guru honorer di wilayah DKI Jakarta dikejutkan dengan kebijakan cleansing guru yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan (Disdik). Kebijakan tersebut menjadi kado pahit di awal tahun ajaran baru 2024, sehingga membuat para guru yang masuk daftar kebijakan tersebut tidak tahu harus berbuat apa. Alhasil, mereka beramai-ramai mendatangi posko pengaduan yang dibuka oleh P2G dan LBH Jakarta.
Kepala Bidang Advokasi P2G, Imam Zanatul Haeri, mengatakan bahwa posko pengaduan tersebut telah menerima 100 aduan baru di hari ke-2. Total aduan yang masuk berjumlah 207, karena sebelumnya telah menerima aduan sebanyak 107.
Masih menurut Iman, posko pengaduan itu dibentuk guna memfasilitasi para guru honorer yang terkena imbas kebijakan cleansing dan perlindungan profesi. Rencananya, posko pengaduan itu akan dibuka selama sepekan, dari 18-25 Juli 2024. (Tempo.co, 20-07-2024)
Munculnya kebijakan cleansing yang menyasar guru honorer tentu menimbulkan kekecewaan bagi mereka. Bagaimana tidak? Awal tahun ajaran baru yang seharusnya memunculkan harapan baru akan peningkatan gaji bagi para guru bantu tersebut justru berubah menjadi mimpi buruk yang tak kunjung usai. Alih-alih mendapatkan kejelasan profesi dan kenaikan gaji, keberadaan mereka justru dianggap sebuah pelanggaran tingkat tinggi.
Atas dasar pelanggaran itulah, Dinas Pendidikan DKI mengeluarkan kebijakan cleansing bagi para guru honorer.
Hal itu disampaikan oleh Disdik DKI Jakarta dalam rangka menindaklanjuti temuan BPK yang menyatakan bahwa adanya kebutuhan guru honorer tidak merujuk kepada Permendikbud. Di samping itu, pihak sekolah juga dianggap melakukan pelanggaran karena telah mengangkat guru honorer tanpa seizin Disdik.
Kebijakan cleansing membuat para guru yang namanya masuk dalam daftar cleansing mempertanyakan kejelasan nasibnya. Saat menanggapi hal itu, Disdik DKI Jakarta menyatakan bahwa pihaknya tengah menyiapkan solusi terbaik bagi para guru honorer yang terkena kebijakan tersebut.
Solusi yang diberikan oleh Disdik DKI Jakarta adalah membuka pendaftaran jalur Kontrak Kerja Individu (KKI) di bulan Agustus 2024. Hal itu diperuntukkan untuk guru honorer yang terkena kebijakan cleansing yaitu sebanyak 1.700 kuota. Sementara itu, 2.300 guru lainnya bisa mendaftar Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontak (PPPK) yang dibuka oleh Kemendikbud Ristek sebanyak 1.900 orang. Hanya saja, jika mereka tidak lulus di KKI maupun PPPK, maka harus siap-siap mendaftar di tahun 2025. Hal itu disampaikan oleh Penjabat ( Pj) DKI Jakarta, Heru Budi Hartono. Heru juga menerangkan bahwa guru honorer yang terkena kebijakan cleansing sebanyak 4.000 orang. (Tempo.co, 21-07-2024)
Sementara itu, pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menyampaikan bahwa dari tahun 2022-2023 Indonesia memiliki 3,3 juta guru di sekolah negeri. Namun, di tahun 2024, Indonesia akan kekurangan tenaga pendidik sebanyak 1,3 juta orang karena banyaknya guru yang purna tugas atau pensiun. (detik.News, 28-04-2024)
Peran Penting Guru Honorer
Jika kita merujuk kepada jumlah para guru honorer yang diberhentikan dari tugasnya, tentu tidak sebanding dengan solusi yang diberikan oleh Disdik. Hal ini disebabkan dari 4 juta orang yang terkena imbas dari cleaning, tidak semuanya bisa tersaring di KKI maupun PPPK. Ditambah lagi ketika mereka harus bersaing dengan para guru honorer dari seluruh Indonesia. Tentunya kesempatan untuk diterima lebih sulit lagi. Dengan demikian, tawaran yang diberikan oleh Disdik pun belum tentu bisa menjadi solusi.
Lantas, ke mana lagi mereka harus mencari pekerjaan untuk membiayai kehidupannya ketika mereka tidak diterima di program yang ditawarkan? Mengapa kebijakan yang diambil begitu mendadak tanpa memperhatikan dampak yang akan ditimbulkan? Kepada siapa lagi mereka meminta penjelasan dan jalan keluar?
Pertanyaan-pertanyaan di atas seharusnya menjadi perhatian negara. Bagaimana pun juga, para guru honorer yang terkena imbas kebijakan cleansing adalah para pahlawan pendidikan yang berhak hidup layak dan memiliki kejelasan status profesinya.
Negara seharusnya juga menyadari peran guru honorer yang telah mencurahkan tenaga, pikiran, dan biaya untuk mencerdaskan anak bangsa. Tanpa keberadaan mereka, aktivitas pembelajaran di institusi pendidikan tidak akan berjalan dengan maksimal dan sebagaimana mestinya.
Di samping itu, kebutuhan akan guru honorer juga sangat diperlukan ketika melihat data yang disampaikan oleh Kemendikbud. Bisa dibayangkan, ketika tak ada guru honorer di institusi pendidikan. Kondisi tersebut tentu akan memengaruhi aktivitas belajar mengajar.
Korban Ketimpangan Sistem Buatan Manusia
Sayangnya, jasa-jasa yang diberikan oleh para guru honorer selama bertahun-tahun hilang lenyap dalam sekejap. Pengorbanan mereka pun seperti tak dianggap. Mirisnya, keberadaan mereka seolah-olah sebagai sesuatu yang meresahkan dan harus dibersihkan. Sungguh, kebijakan itu sangat tidak tepat ketika ditujukan kepada para guru honorer.
Seharusnya, para guru honorer mendapatkan haknya secara layak seperti guru lainnya yang sudah menjadi ASN. Bukankah tugas yang dibebankan kepada mereka sama dengan guru yang sudah memiliki SK? Bahkan, terkadang mereka masih harus mengerjakan tugas tambahan yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Lantas, mengapa keberadaan mereka seperti tidak diharapkan? Apakah status guru honorer tidak layak untuk mendapatkan kesejahteraan sebagaimana yang diterima oleh guru yang sudah menjadi ASN?
https://narasipost.com/opini/07/2024/nasib-horor-guru-honorer/
Fakta tersebut menunjukkan betapa sistem saat ini tidak berpihak kepada guru honorer. Atas nama tertib aturan dan birokrasi yang berbelit-belit, mereka tidak mendapatkan haknya secara sempurna. Mirisnya, demi sebuah aturan yang seharusnya masih bisa disesuaikan dijadikan alasan untuk memberhentikan keberadaannya. Alhasil, kontribusi para guru honorer yang seharusnya mendapatkan penghargaan atas jasa-jasanya justru berbuah kekecewaan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Itulah pengurusan sistem hasil pemikiran manusia yang diterapkan saat ini oleh negara. Dalam sistem ini, negara tak pernah berpihak kepada kepentingan rakyatnya, termasuk para guru honorer yang telah berjasa dalam bidang pendidikan yang diamanahkan kepada mereka.
Posisi Guru dalam Islam
Berbeda cerita ketika sistem Islam diterapkan. Islam tidak akan mengabaikan keberadaan guru honorer karena semua guru diperlakukan sama. Mengapa demikian? sebab Islam tidak mengenal dan tidak ada istilah guru honorer. Kebijakan itu diambil karena Islam begitu memperhatikan masalah pendidikan sebagai sebuah kebutuhan mendasar bagi umatnya. Oleh karena itu, sebagai garda terdepan di dalam sistem pendidikan, jasa seorang guru di dalam Islam betul-betul akan dihargai dan diperhatikan.
Hal itu pun telah dilakukan oleh Rasulullah saw. saat memberikan syarat kepada tawanan perang yang tak sanggup membayar tebusan, agar masing-masing dari mereka mengajarkan membaca dan menulis kepada 10 anak kaum muslim sebagai ganti dari pembebasan mereka setelah perang Badar.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Khalifah Umar di masa pemerintahannya.
Di masa itu, beliau menunjuk beberapa orang untuk memeriksa pejalan kaki. Ketika di antara mereka ada yang belum mengikuti pembelajaran, maka orang tersebut dibawa ke kuttab (tempat yang disediakan untuk belajar membaca dan menulis Al-Qur'an). (Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam)
Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan Khalifah Umar menjadi sebuah keniscayaan pentingnya pendidikan bagi seluruh umat (rakyat). Rasulullah saw. pun telah memerintahkan kepada setiap orang untuk belajar dan menuntut ilmu.
“Menuntut ilmu ada wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Dengan demikian, Islam juga sangat memperhatikan kesejahteraan para guru agar mereka maksimal dalam mendidik dan mengajar murid-muridnya karena tidak lagi memikirkan kebutuhan hidupnya. Hal itu bisa dilihat dari gaji yang diberikan kepada para guru.
Islam Memperhatikan Nasib Guru
Dilansir dari tsaqofah.in.official, pada masa kejayaan Islam di bawah kekhilafahan Abbasiyah, gaji para pengajar di masa itu sama dengan gaji para muazin yakni 1.000 dinar per tahun. Ini berarti sekitar Rp3,9 miliar atau Rp325 juta per bulan. Fakta tersebut menunjukkan betapa negara dengan sistem Islam begitu memperhatikan profesi seorang guru.
Negara dalam sistem Islam, sadar dan paham betul bahwa peran dan kontribusi ulama atau guru akan berpengaruh terhadap anak didiknya. Maka, ketika kebutuhannya dicukupi, nasibnya dipikirkan, dan keberadaannya dilindungi, niscaya tugas mereka dalam mengajar anak didiknya pasti juga akan dilakukan dengan maksimal serta sepenuh hati.
Hanya saja, keberadaan negara yang menerapkan Islam tentu menjadi sebuah keharusan dan wajib diwujudkan. Tanpa hal itu, nasib para guru akan terus terombang-ambing dalam ketidakjelasan.
Hal itu mutlak menjadi sebuah kewajiban kita sebagai umat muslim untuk memperjuangkan Islam secara kaffah demi tegaknya Daulah Islamiah agar kesejahteraan rakyat termasuk para guru bisa direalisasikan secara nyata. Semua itu dilakukan untuk menghargai besarnya jasa para guru dalam mendidik generasi penerus perjuangan Islam.
Wallahu a'lam bish-shawab.[]
Miris, ketika jasa guru tidak di hiraukan.
Jazakillah Khoir mom dan Tim NP
Ya Allah, diperlakukan sangat tidak manusiawi. Keberadaan mereka pastinya atas sepengetahuan para pemangku kebijakan di sekolah tsb. Pengabdian mereka pun bukan hitungan sebentar. Bagaikan habis manis sepah dibuang.
Betul mba. Nyesek rasanya melihat nasib guru honener. Keberadaannya bukannya diberi penghargaan, eh malah mau dihilangkan.