Tak hanya bertentangan dengan konstitusi negara, pemberian izin HGU pada swasta merupakan bentuk pengkhianatan pemerintah terhadap leluhur bangsa Indonesia.
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Rempaka Literasiku/Bianglala Aksara)
NarasiPost.Com-Pembangunan ibu kota negara terus memicu kontroversi. Megaproyek yang sedari awal disebut bermasalah oleh banyak pihak, kini kembali menuai sorotan. Hal ini terjadi setelah Presiden Joko Widodo memberikan izin berupa hak guna usaha (HGU) kepada investor yang ingin berinvestasi di Ibu Kota Nusantara (IKN). Tak tanggung-tanggung, izin HGU diberikan hingga 190 tahun.
Diwartakan oleh detik.com (16-7-2024), pemberian izin HGU tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Beleid tersebut diteken langsung oleh Jokowi pada tanggal 11 Juli 2024 yang lalu. Salah satu poin penting yang termuat dalam peraturan tersebut adalah memberikan hak penggunaan lahan kepada para investor sampai 190 tahun untuk dua siklus.
Melihat panjangnya masa pemberian hak penggunaan tanah di IKN tentu menyisakan pertanyaan besar bagi banyak orang. Apa sesungguhnya alasan pemerintah mengizinkan penggunaan lahan hingga 190 tahun di IKN? Apakah pemberian HGU tersebut berbahaya bagi kedaulatan negeri ini? Bagaimana pula gambaran pembangunan dalam Islam?
Dalih Pemerintah
Presiden Jokowi blak-blakan soal alasan pemberian izin HGU hingga 190 tahun dan HGB selama 160 tahun. Jokowi mengatakan, izin pemberian hak guna usaha sudah sesuai dengan UU IKN yang ada selama ini. Aturan tersebut, kata Jokowi, dibuat agar Otorita IKN bisa menjaring lebih banyak investor, baik dari dalam maupun luar negeri untuk membangun ibu kota negara.
Pemerintah berdalih, investasi tersebut sangat dibutuhkan untuk membangun infrastruktur di IKN. Masalahnya, pemerintah hanya mampu membangun infrastruktur dasar dan fasilitas kantor pemerintahannya saja, sedangkan infrastruktur pendukungnya akan dibangun oleh pihak swasta. Sayangnya, kebijakan tersebut menuai kritik berbagai kalangan, salah satunya dari Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika.
Kartika mengungkapkan, kebijakan HGU dan HGB yang mencapai ratusan tahun adalah wujud perpanjangan tangan dan kerja pemerintah untuk kepentingan investor. Selain itu, pemberian izin tersebut berpotensi meningkatkan konflik agraria, ketimpangan, dan monopoli tanah oleh badan usaha berskala besar. Hal ini karena tanah dan wilayah IKN yang dimiliki oleh masyarakat adat berpotensi dirampas demi membangun ibu kota.
Mengkhianati Konstitusi
Pemberian izin HGU dan HGB selama ratusan tahun telah melanggar banyak aturan di negeri ini. Pertama, bertentangan dengan konstitusi. Pemberian HGU dan HGB bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Ayat 3 dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk digunakan sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
Ini artinya, negaralah yang seharusnya menguasai dan mengelola seluruh sumber daya yang ada, kemudian hasilnya dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Bukan justru diberikan pada swasta. Jika swasta diberikan hak mengelola tanah secara jorjoran, bukankah ini artinya pemerintah lebih berpihak pada para pemilik modal, lebih memanjakan investor, dan abai terhadap kepentingan rakyat?
Kedua, bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-V/2007 tentang Penanaman Modal. Inti dari putusan MK tersebut menyatakan bahwa prinsip perpanjangan atas tanah sebagaimana izin HGU telah bertentangan dengan konstitusi. Ini terbukti dengan perincian jangka waktu HGU yang diberikan pada swasta.
https://narasipost.com/teenager/12/2022/hgu-bagi-investor-180-tahun-sepenting-itukah-ibu-kota-baru/
Pertama-tama pemerintah memberikan izin pengelolaan lahan selama 95 tahun pada siklus pertama, kemudian diberikan kembali perpanjangan izin selama 95 tahun pada siklus kedua. Jika ditotal, pemerintah memberikan izin kepada para pemilik modal selama 190 tahun. Tak heran jika para pengamat menyebut pemberian HGU bagi investor seperti penjajahan Belanda atas Indonesia yang mencapai ratusan tahun.
Satu hal yang pasti terjadi dari ditekennya perpres tersebut adalah ketimpangan penguasaan lahan yang makin melebar. Masyarakat adat, petani, dan nelayan yang ada di wilayah IKN akan termarginalkan karena regulasi tersebut. Hal ini lantaran regulasi HGU dan HGB melegalkan monopoli tanah oleh pihak swasta.
Sadar atau tidak, pemberian HGU dan HGB hingga ratusan tahun telah bertentangan dengan reforma agraria yang selama ini digaungkan pemerintah. Bukankah salah satu prinsip reforma agraria adalah untuk menghindari ketimpangan lahan? Jika izin HGU justru memperbesar ketimpangan lahan, berarti kebijakan reforma agraria hanyalah sekadar janji.
Membahayakan Kedaulatan
Tak hanya bertentangan dengan konstitusi negara, pemberian izin HGU pada swasta merupakan bentuk pengkhianatan penguasa terhadap leluhur bangsa Indonesia. Penguasa yang seharusnya menjaga setiap jengkal tanah dari penguasaan asing, justru menjadi seperti calo yang menjual lahan kepada para pemilik modal.
Dengan ditekennya Perpres Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN, sejatinya makin menunjukkan dukungan pemerintah terhadap kolonisasi asing di negeri ini. Betapa miris dan tragisnya nasib bangsa ini karena ibu kota negara yang merupakan pusat pemerintahan justru berada di wilayah yang dikuasai oleh korporasi asing.
Lebih miris lagi, disahkannya perpres tersebut dapat mengakibatkan hilangnya kedaulatan negara. Harus diingat, ibu kota merupakan pusat kekuasaan yang menunjukkan kedaulatan suatu negara. Apa jadinya jika pusat kekuasaan sebuah negara justru dibangun dan dibiayai oleh swasta? Sudah pasti negeri ini akan dikontrol oleh para pemilik modal agar pemerintah melayani kepentingan bisnis mereka. Jika negara sudah didikte oleh mereka yang memiliki kekuatan modal, saat itu juga kedaulatan negara telah terenggut.
Oleh karena itu, memberikan izin HGU hingga ratusan tahun pada investor bukanlah kebijakan tepat. Justru hal ini akan menjerumuskan negara pada jeratan utang yang berkepanjangan. Hal ini karena dalam sistem kapitalisme, investasi bukanlah sekadar persoalan bisnis, tetapi telah menjelma menjadi alat penjajahan gaya baru.
Seharusnya negeri ini bisa memetik ibrah dari negara lain yang telah tergadai kedaulatannya oleh utang dan investasi. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk melepaskan ikatan dengan sistem kapitalisme yang melegalkan penguasaan lahan oleh para kapitalis. Setelah itu, kembali pada sistem Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam.
Pembangunan Infrastruktur dalam Islam
Islam merupakan satu-satunya agama yang memiliki aturan sempurna terhadap segala hal, termasuk bagaimana membangun ibu kota. Dalam Islam, ibu kota tak sekadar dimaknai sebagai pusat pemerintahan, tetapi menunjukkan ketinggian peradaban dan agama. Oleh karena itu, pembangunan ibu kota harus mengadopsi prinsip yang menggambarkan ketinggian agama Allah Swt., sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam riwayat Baihaqi, "Islam itu agama yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya."
Pembangunan infrastruktur dan pengelolaannya adalah tanggung jawab negara. Oleh karenanya, pengelolaan dan pembangunannya tidak boleh diserahkan pada swasta, baik lokal maupun asing. Di sisi lain, infrastruktur dalam Islam tak sekadar dibangun, tetapi memiliki tujuan yang mulia, yaitu sebagai penunjang seluruh kegiatan masyarakat. Dengan demikian, infrastruktur tidak dibangun untuk melayani kepentingan korporasi, apalagi sekadar pencitraan.
Strategi Pembiayaan Pembangunan
Agar terlepas dari kepentingan segelintir orang, pembangunan infrastruktur haruslah mandiri. Kemandirian adalah "harga mati" bagi pembangunan infrastruktur, termasuk ibu kota. Hal ini agar negara terhindar dari berbagai kepentingan para pemilik modal.
Membangun infrastruktur memang membutuhkan anggaran yang besar. Meski demikian, Islam memiliki strategi jitu untuk membiayainya sehingga tidak sampai membahayakan kedaulatan negara. Islam memiliki beberapa strategi yang dapat ditempuh untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Dalam kitab Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah karya Syekh Abdul Qadim Zallum, disebutkan ada tiga strategi yang digunakan untuk membiayai infrastruktur, termasuk pembangunan ibu kota.
Strategi tersebut adalah meminjam kepada negara asing, memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum, dan menarik pajak dari rakyat. Terkait strategi pertama yakni meminjam kepada negara asing, langkah ini jelas keliru dan tidak dibenarkan oleh syariat. Meminjam pada asing atau lembaga keuangan global sesungguhnya merupakan pintu masuk penjajahan.
Strategi kedua adalah memproteksi beberapa kepemilikan umum yang dimiliki negara, seperti minyak, gas, dan tambang. Strategi ini boleh diambil oleh negara. Untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur, misalnya, negara bisa memproteksi beberapa kepemilikan umum, seperti gas, kilang minyak, dan sumber tambang tertentu (emas, tembaga, fosfat, dsb.). Negara bisa mengkhususkan pengeluaran dari sumber-sumber tersebut untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Kebijakan ini paling tepat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dana dalam membangun infrastruktur.
Sementara itu, strategi ketiga dalam mendapatkan pendanaan untuk membiayai infrastruktur adalah menarik pajak dari rakyat. Langkah ini hanya boleh dilakukan ketika negara mengalami kekosongan anggaran di baitulmal. Itu pun hanya boleh ditarik dari kaum muslim laki-laki dan mampu saja. Setelah kebutuhan tersebut tertunaikan maka pajak dihentikan. Selain untuk kepentingan urgen tersebut, penarikan pajak tidak boleh dilakukan.
Pembangunan infrastruktur dalam Islam menitikberatkan pada pelayanan kebutuhan umat. Salah satu contohnya adalah proyek Kereta Api Hijaz yang terbentang dari Istanbul hingga Makkah yang melewati Damaskus, Yerusalem, dan Madinah. Proyek tersebut dicanangkan oleh Sultan Abdul Hamid II pada tahun 1900. (Prof. Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar, Infrastruktur Transportasi Negara Khilafah)
Selain itu, jalur yang dibangun oleh Sultan Abdul Hamid II tersebut juga menghubungkan Baghdad Railway (di Damaskus) dan terus ke arah timur yang menghubungkan dengan banyak negara Islam. Jalur ini memangkas perjalanan menjadi lebih singkat. Dari Istanbul ke Makkah, misalnya, perjalanan yang sebelumnya ditempuh dalam waktu 40 hari, kemudian menjadi 5 hari saja. Ini adalah satu gambaran pembangunan infrastruktur yang sangat mengagumkan pada era kejayaan Islam
Khatimah
Demikianlah, pembangunan infrastruktur yang memprioritaskan pada pelayanan umat hanya mampu diwujudkan oleh sistem Islam. Pengelolaan SDA secara mandiri akan menjadikan negara berdaulat tanpa bergantung pada investasi asing. Negara juga tak perlu mengemis pada investor dengan memberi iming-iming izin HGU agar mereka mau berinvestasi.
Saatnya pemerintah merombak cara berpikir kapitalistik yang menganggap bahwa pembangunan tidak bisa dilakukan tanpa investasi dan utang. Jika negeri ini ingin lepas dari jeratan penjajahan, jalan satu-satunya adalah kembali pada Islam dan menjadikan syariatnya sebagai solusi.
Wallahualam bissawab.[]
Ya Allah, gini amat ya penguasa kita. Zalim sama pendufuk sendiri, tapi lembut sama investor.. Padahal, hidupnya ditopang pajak rakyat.
Betul mbak, karena prinsip utama para penguasa dalam mengurus rakyat bukan kemaslahatan, tapi untung rugi. Jadi gak heran kalau penguasa lebih condong pada para kapitalis.