Demokrasi dan oligarki adalah inheren, dua orang yang berjalan bersama bagaikan saudara kembar. Ketika kekuatan oligarki berbasis materi masuk dalam kekuasaan, mustahil mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Oleh. Novianti
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia, Arif Satria, berpendapat bahwa sistem politik di Indonesia harus dievaluasi secara total. Menurutnya, sistem politik demokrasi makin mahal sehingga kian eksklusif. Hanya kelompok berduit yang bisa eksis dalam dunia perpolitikan atau yang didukung investor bermodal besar. (cnnindonesia.com, 06-07-2024)
Ironi Demokrasi
Dalam sistem demokrasi, para calon anggota legislatif dan kepala daerah harus menggelontorkan dana besar. Hasil penelitian Prajna Research Indonesia menunjukkan caleg anggota DPR harus mengeluarkan dana sebesar Rp1 miliar-Rp2 miliar, menjadi caleg DPRD Provinsi sebesar Rp500 juta-Rp1 miliar, sedangkan caleg DPRD kabupaten/kota sebesar Rp250 juta-Rp300 juta.
Biaya menjadi kepala daerah lebih mahal lagi dan tergantung daerah pemilihan. Untuk kabupaten atau kota pinggiran sebesar Rp30-50 miliar, di daerah menengah Rp50-100 miliar, sedangkan untuk yang metro mencapai Rp150 miliar. Lalu berapa jika ingin nyapres? Seorang kandidat presiden diprediksi harus menyiapkan dana sekitar Rp7 triliun.
Pemenuhan biaya politik ini sulit jika mengandalkan kantong pribadi. Dibukalah keran bagi para pemilik modal yaitu oligarki. Profesor Northwestern University Jeffrey Winters mengungkapkan hampir 100 persen dana kampanye yang digunakan partai politik di Indonesia berasal dari para oligarki. Pemerintahan yang terpilih tersandera, dimanfaatkan sebagai alat untuk melipatgandakan kekayaan dan melebarkan kekuasaan para oligarki.
Kekuatan oligarki sulit terbendung karena selain memiliki modal, juga menguasai media. Meski jumlahnya segelintir, tetapi bisa memengaruhi pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan publik dan hajat hidup orang banyak. Meski pejabat hidup dari pajak rakyat, tetapi mereka berkhidmat pada oligarki karena harus balas budi. Jejak rekam hal ini jelas melalui berbagai regulasi.
Itulah mengapa kelompok kaya semakin kaya, sedangkan kelompok miskin tambah miskin dan jumlahnya makin banyak. Namun, dosa perselingkuhan ini diampuni oleh rakyat yang buta politik karena dihujani program bagi-bagi uang, seperti bansos dan pembangunan infrastruktur. Seolah-olah penguasa memiliki kepedulian sosial dan membangun nalar bahwa negara tidak bisa membangun tanpa ada oligarki.
Harapan Semu
Amerika Serikat (AS) yang dianggap sebagai kiblat bagi negara penganut demokrasi ternyata memiliki banyak persoalan. Profesor Sejarah American University Alla, Lichtman, mengatakan biaya kampanye selama pemilu di AS sangat mahal. Baik kampanye presiden maupun kampanye senator membutuhkan jutaan dolar agar menduduki jabatan. Para oligarki hadir dan turut merancang politik agar mereka mendapatkan keuntungan dari kebijakan-kebijakan ekonomi kapitalistiknya.
Meski memiliki sejarah panjang menerapkan sistem demokrasi, AS terus didera masalah. Mulai dari polarisasi politik, diskriminasi, tingkat kriminalitas yang tinggi, hingga kesenjangan sosial-ekonomi. Pantaslah tingkat kepuasan masyarakat di sana terhadap kinerja demokrasi terus merosot ke titik terendah. Terungkap dalam survei terbaru yang dilakukan Gallup dan dirilis sindonews.com (06-01-2024), hanya 28% orang dewasa di AS yang puas dengan demokrasi, lebih rendah 7 poin dari survei tahun 2021 sebesar 35%.
Ellen Meiksins Wood dalam bukunya Democracy Against Capitalism mencurigai bahwa sistem demokrasi memang sengaja dibangun oleh pemilik modal untuk mempertahankan kekayaan mereka. Artinya demokrasi dan oligarki adalah inheren, dua orang yang berjalan bersama bagaikan saudara kembar. Ketika kekuatan oligarki yang berbasis pada konsentrasi kekayaan dan materi masuk dalam kekuasaan, cita-cita menyejahterakan rakyat mustahil dapat diwujudkan. Terbukti kemiskinan di AS meningkat, kesenjangan ekonomi makin lebar.
Dengan fakta tersebut, masihkah kita mengglorifikasi demokrasi? Negara jantung demokrasinya sendiri terseok-seok dan sudah tinggal menunggu ambruk.
Kecacatan Demokrasi
Apabila dibongkar lebih jauh, sistem demokrasi memang sudah cacat sejak dari fase embrionya. Slogan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, dalam makna sesungguhnya adalah utopis. Mustahil semua orang berkumpul dalam satu tempat secara terus menerus untuk membuat berbagai keputusan. Akhirnya suara rakyat diwakilkan kepada penguasa dan anggota dewan yang dipilih. Tetapi, apakah mereka benar-benar menyuarakan keinginan rakyat?
Keluh kesah rakyat justru makin diabaikan. Buktinya, meski banyak penolakan terhadap UU Cipta Kerja, UU Kesehatan, Tapera, UKT, kebijakan-kebijakan tersebut tetap diberlakukan. Makin ke sini kebijakan makin memberatkan rakyat. Para pembayar pajak dipaksa bergerak dan menyelesaikan semua persoalannya secara mandiri.
https://narasipost.com/world-news/08/2022/berharap-pada-demokrasi-no-way/
Untuk menutupi kolaborasi oligarki dengan badut-badut politik yang hipokrit dan manipulatif, dibuatlah strategi politik pork barrel atau politik gentong babi yang melahirkan kebijakan populis. Negara menggelontorkan dana melalui bantuan sosial, gaji 13 bagi ASN sehingga membangun hubungan patron klien. Rakyat percaya ini hadiah karena kebaikan penguasa. Mereka harus terus didukung dan langgenglah posisi para oligarki.
Hal lain yang berbahaya yaitu prinsip kebebasan yang dianut dalam sistem demokrasi, seperti bebas beragama, bebas kepemilikan, bebas berpendapat, dan bebas berperilaku. Sistem demokrasi menjadi surga bagi para kapitalis. Dengan sifat eksploitatifnya, mereka tidak akan pernah merasa cukup untuk memuaskan kerakusan dan keserakahannya. Hukum bisa dikangkangi, dijadikan alat legitimasi untuk kepentingan mereka sendiri.
Sistem Islam
Fungsi pemimpin dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. Negara dibangun di atas akidah Islam sehingga keterikatan pada hukum syarak diterapkan pada semua level. Tidak ada pembahasan kebijakan atau undang-undang antar manusia kecuali jika ada perkara-perkara baru yang memerlukan ijtihad. Dalam menggali hukum pun harus didasarkan pada dalil-dalil syarak, bukan melalui kompromi atau suara terbanyak
Dalam surah Al-Maidah ayat 48 Allah berfirman,
“Dan Kami telah menurunkan Kitab Al-Qur'an kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.”
Seseorang yang menjadi pemimpin negara harus memenuhi syarat in'iqad yaitu muslim, laki-laki, balig, berakal, merdeka, adil, dan mampu. Setelah dibaiat oleh seluruh kaum muslimin, ia menjadi satu-satunya pemimpin. Pemilihan pemimpin tidak perlu melibatkan seluruh warga, melainkan dilakukan oleh ahlul halli wal aqdi yang bertugas menyeleksi nama-nama yang bisa diajukan dan harus memenuhi syarat in’iqad.
Pemilihan pemimpin dalam sistem Islam sederhana, efektif, dan berbobot. Ini dikarenakan batas kekosongan pemimpin hanya boleh tiga hari. Pemilihan kepala daerah setingkat gubernur dan wali kota menjadi hak prerogatif pemimpin dan harus memenuhi syarat tertentu. Mereka perpanjangan tangan dalam mengurus rakyat. Jika tidak berkompeten, akan menimbulkan banyak persoalan dan tentunya mengganggu kinerja pemerintahan. Kewajiban menyejahterakan dan mewujudkan keadilan tidak terganggu oleh pihak ketiga yang dapat mengintervensi negara sehingga bisa tidak berlaku adil.
Khatimah
Jelaslah keunggulan sistem Islam dibandingkan sistem demokrasi buatan manusia. Untuk itu, umat Islam harus dibangkitkan kesadarannya lalu dimobilisasi agar menolak sistem demokrasi karena kerusakannya sudah benar-benar kasat mata. Umat ini memilliki power yang dapat mengalahkan oligarki dan mendesak penguasa untuk menyegerakan penerapan sistem Islam.
Wallahu a'lam bishawab.[]