Menaikkan cukai tanpa membangun industri yang mampu bersaing dengan produk impor, sejatinya hanya jalan pintas untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam melindungi pasar domestik.
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Rempaka Literasiku/Bianglala Aksara)
NarasiPost.Com-Cukai menjadi salah satu sektor penyangga perekonomian negeri ini. Cukai yang serupa dengan pajak memang sudah lama diterapkan oleh pemerintah, salah satunya terhadap barang-barang impor. Selain sebagai penyangga APBN, penerapan cukai juga berfungsi untuk mencegah gempuran produk-produk impor.
Baru-baru ini, pemerintah kembali akan memberlakukan pengenaan bea masuk atau cukai hingga 200 persen. Bea masuk tersebut akan dikenakan terhadap produk tekstil dari berbagai negara, termasuk Cina. Mengutip laman liputan6.com (6-7-2024), dalam rapat koordinasi terbatas (rakortas), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyebut kebijakan pengenaan bea masuk tersebut dilakukan untuk melindungi industri dalam negeri sesuai dengan peraturan yang ada.
Selain itu, kata Luhut, Presiden Jokowi juga meminta agar pengawasan impor diperketat, khususnya terhadap pakaian bekas dan barang selundupan yang masuk ke Indonesia. Hal ini penting dilakukan karena pakaian bekas dan barang selundupan dari luar negeri berpotensi mengganggu pasar domestik. Benarkah upaya membatasi masuknya barang impor melalui pengenaan bea masuk mengindikasikan bahwa produk impor benar-benar telah menguasai pasar domestik? Jika demikian, apa dampaknya bagi usaha dan industri di dalam negeri?
Gempuran Produk Impor dan Dampaknya
Indonesia memang menjadi "surga" bagi produk-produk impor, khususnya yang berasal dari Cina. Produk impor Cina menjadi salah satu yang terbanyak menguasai pasar domestik sejak 2021 silam. Selain Cina, empat negara dengan jumlah produk impor terbanyak di Indonesia selanjutnya adalah Hong Kong, Jepang, Singapura, dan Amerika Serikat.
Direktur Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea Cukai di Kementerian Keuangan Fadjar Donny Tjahjadi menyebut barang-barang impor dari Cina yang dijual melalui e-commerce secara konsisten selalu di atas 20 persen. Sementara itu, empat negara lainnya tidak melampaui 20 persen sepanjang periode 2021 hingga 2023. (solopos.com, 12-10-2023)
Gempuran produk impor dari Cina menjadi kekhawatiran para pelaku industri di dalam negeri. Tak hanya mengalahkan produk lokal, produk impor pada akhirnya akan mematikan perusahaan-perusahaan lokal. Hal ini pun diungkapkan oleh Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman. Ia menyebut, sebanyak 60 persen industri tekstil dan produk tekstil yang merupakan Industri Kecil Menengah (IKM) tak lagi beroperasi alias gulung tikar.
Salah satu penyebabnya, menurut Nandi, adalah gempuran produk tekstil impor sepanjang dua tahun terakhir. Pasar dalam negeri, baik online maupun offline, dikuasai oleh produk impor dengan menawarkan harga yang sangat murah. (tempo.co, 20-6-2024)
Penyebab Maraknya Impor
Gempuran produk impor di pasar dalam negeri tentu membuat terenyuh. Bagaimana mungkin produk-produk impor begitu bebas masuk dan memonopoli pasar domestik hingga membuat industri dalam negeri kolaps? Tak hanya yang berlabel resmi, produk impor ilegal pun diduga masuk dan menguasai pasar dalam negeri. Akibat membanjirnya produk impor tersebut, banyak perusahaan yang terpaksa memangkas jumlah karyawan, bahkan sampai gulung tikar. Lantas, apa sebenarnya penyebab maraknya impor di negeri ini?
Sejatinya, ada beberapa faktor penyebab banjirnya produk impor di Indonesia. Namun, faktor utama membanjirnya impor di pasar domestik adalah ditandatanganinya perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), yakni perjanjian perdagangan bebas pada KTT RCEP ke-3. Perjanjian tersebut melibatkan 10 negara anggota ASEAN dan lima negara mitra dagangnya (Australia, Selandia Baru, Cina, Jepang, dan Korea selatan.
Orientasi RCEP adalah liberalisasi perdagangan secara gradual atau berangsur-angsur. Sederhananya, negara-negara anggota RCEP nantinya akan menghilangkan hambatan tarif sedikit demi sedikit menuju bea masuk nol persen. Akibat liberalisasi perdagangan tersebut, negara-negara anggota RCEP berpotensi mengalami gempuran barang impor. Inilah yang kini dialami negeri ini.
Ditambah lagi, belum maksimalnya upaya perlindungan perdagangan di negeri ini membuat pelaku usaha domestik makin tercekik. Pemerintah akhirnya tak tinggal diam. Berbagai upaya melindungi industri dalam negeri pun dilakukan, termasuk penerapan bea masuk sebesar 200 persen. Lantas, apakah penerapan bea masuk 200 persen tersebut akan efektif melindungi pasar domestik?
Menakar Keefektifan Cukai 200 Persen
Pemerintah berharap, penerapan cukai sebesar 200 persen dapat mengadang gempuran impor. Namun, rencana tersebut mendapat kritik dari para pengamat, salah satunya Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal. Faisal mempertanyakan alasan pemerintah menerapkan bea masuk hingga 200 persen. Kritik tersebut memang bukan tanpa alasan. Sejak 2015 misalnya, Indonesia sudah terikat perjanjian perdagangan dengan ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA). (cnnindonesia.com, 5-7-2024)
Perjanjian tersebut mengakibatkan negeri ini kebanjiran produk impor dari Cina selama 20 tahun terakhir. Kesepakatan itu juga berakibat sebagian produk dikenakan tarif sangat rendah, bahkan sebagian besarnya sampai nol persen. Sebenarnya, langkah tersebut memang bisa mengadang gempuran impor dari banyak negara, khususnya Cina. Namun, pemerintah seharusnya tidak berhenti sampai di situ. Harus ada langkah antisipasi berikutnya setelah penerapan bea masuk 200 persen tersebut.
Hal ini karena wacana penerapan cukai merupakan langkah drastis yang memiliki konsekuensi bagi Indonesia. Pemerintah seharusnya sudah memperhitungkan berbagai kemungkinan sebelum menerapkan bea masuk tinggi. Sebagai informasi, Indonesia masih belum mampu menyediakan bahan baku untuk sebagian kegiatan sektor industri di dalam negeri. Karena itu, bahan mentahnya harus diperoleh dari impor yang sebagiannya berasal dari Cina.
Dengan penerapan bea masuk tersebut, bisa jadi bahan baku yang dibutuhkan oleh industri justru sulit masuk ke Indonesia. Jika bahan baku impor tersebut tidak bisa digantikan dengan substitusi impor lainnya, bisa jadi industri dalam negeri akan kesulitan berproduksi. Ini satu hal yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Pada sisi yang lain, pemerintah juga harus mempertimbangkan munculnya impor gelap atau ilegal jika bea masuk 200 persen benar-benar diterapkan.
Jika bea masuk ditetapkan sangat tinggi, sedangkan koordinasi lintas departemen dalam kegiatan impor begitu lemah, bukankah hal ini berpotensi memunculkan para importir ilegal? Impor ilegal memang menjadi semacam penyakit yang sulit disembuhkan hingga saat ini. Meski berbagai kebijakan dilakukan untuk mengawasi kegiatan impor ilegal, negeri ini tetap saja kecolongan.
Jika hal itu terjadi, industri dalam negerilah yang akan menerima dampaknya, yakni tak mampu bersaing dengan produk impor legal maupun ilegal. Penegakan hukum yang tegas tentu diperlukan terhadap berbagai pelanggaran dan kecurangan yang merugikan industri di dalam negeri. Namun pertanyaannya, siapkah pemerintah menegakkan hukumnya dengan adil?
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, penerapan cukai sebesar 200 persen tersebut tidak memiliki dampak signifikan bagi industri dalam negeri jika pemerintah tidak mempertimbangkan berbagai akibat turunan dari penerapan cukai tersebut.
Minimnya Perlindungan Negara
Memang benar, membatasi impor yang telah memonopoli pasar dalam negeri harus dilakukan. Hal ini sebagai bentuk penjagaan terhadap industri dalam negeri. Namun, upaya itu tidak cukup hanya dengan menaikkan cukai bagi produk-produk impor. Pemerintah seharusnya melakukan langkah konkret untuk melindungi sekaligus membangun industri dalam negeri yang berkualitas.
Contohnya, pemerintah bisa membuat kebijakan untuk membatasi produk asing, menetapkan besaran harga produk, melakukan pengawasan ketat, dan menegakkan hukum yang tegas. Selain itu, pemerintah juga harus melakukan pembinaan, pelatihan, serta pendampingan SDM dari para pelaku usaha dalam rangka meningkatkan kemampuan teknis, manajerial, dan kualitas produk. Hal ini dilakukan agar produk yang dijual mampu bersaing dengan produk impor.
Sayangnya, upaya tersebut belum dilakukan secara maksimal. Hal ini terjadi karena harapan pemerintah tidak sejalan dengan langkah yang dilakukan. Di satu sisi, pemerintah memang ingin menyelamatkan industri dalam negeri dari gempuran produk asing. Namun, pada saat yang sama pemerintah justru membiarkan liberalisasi pasar terbuka lebar.
Alhasil, selama kebijakan pasar bebas masih terus dilakukan, perlindungan terhadap industri dalam negeri nyaris mustahil dilakukan secara maksimal. Apalagi, kebijakan pemerintah selama ini justru lebih menguntungkan korporasi global yang memiliki mitra dagang dengan Indonesia. Jika benar ingin berpihak pada rakyat, seharusnya pemerintah meninggalkan politik ekonomi kapitalisme liberal yang menyengsarakan rakyat. Inilah sesungguhnya urgensi memilih sistem alternatif sebagai solusi mengatasi karut-marut permasalahan impor.
Peran Sentral Negara
Jika sistem kapitalisme sangat minim memberi perlindungan bagi industri dalam negeri, berbeda halnya dengan Islam. Dalam kacamata Islam, negara memiliki peran sentral dalam melindungi rakyatnya dan menjamin kebutuhan mereka. Negara bukanlah perpanjangan tangan para kapitalis global yang berjuang memuluskan kepentingan mereka.
Negara adalah pengurus dan pelayan rakyat. Terkait hal ini, Rasulullah saw. pun telah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari,
فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya: "Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya."
Namun, peran tersebut hanya akan maksimal dengan penerapan Islam secara kaffah. Di bawah naungan Islam, seluruh aspek dijalankan berdasarkan standar syariat. Dalam bidang ekonomi misalnya, negara menerapkan sistem ekonomi Islam yang di dalamnya mengatur industri perdagangan, baik dalam maupun luar negeri (ekspor dan impor).
Mekanisme Ekspor dan Impor dalam Islam
Dalam mengatur perdagangan ekspor dan impor, negara (Khilafah) memiliki beberapa mekanisme:
Pertama, Islam menetapkan bahwa aktivitas perdagangan adalah jual beli, sebagaimana dijelaskan dalam buku Politik Ekonomi Islam, karya Abdurrahman al-Maliki. Islam juga menentukan bahwa hukum-hukum yang terkait jual beli adalah hukum-hukum tentang pemilik harta, bukan hukum tentang harta. Sementara itu, status hukum perdagangan dalam Islam tergantung pada siapa pedagangnya, apakah ia berasal dari negara Islam (Khilafah) atau negara kufur.
Pembedaan ini dilakukan karena Khilafah akan memberikan pelayanan dan pengurusan kepada siapa saja yang berstatus warga negara. Warga negara adalah setiap orang yang memiliki kewarganegaraan Khilafah, baik muslim maupun nonmuslim. Sementara itu, mereka yang berstatus orang asing adalah orang yang tidak memiliki kewarganegaraan Khilafah, baik muslim maupun nonmuslim.
https://narasipost.com/opini/07/2022/cukai-rokok-kian-ngebul/
Kedua, setiap warga negara yang berprofesi sebagai pedagang boleh melakukan perdagangan dalam negeri. Meski demikian, dalam menjalankan aktivitas perdagangannya mereka harus tetap terikat dengan hukum-hukum Islam. Mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang terlarang dalam perdagangan, seperti melakukan penimbunan, menjual barang-barang yang diharamkan, mematok harga, berbuat curang, dan sebagainya.
Ketiga, selain melakukan perdagangan dalam negeri, para pedagang juga boleh melakukan perdagangan luar negeri (ekspor dan impor). Ekspor dan impor hanya boleh dilakukan pada komoditas yang tidak membawa dampak buruk bagi rakyat. Jika ada komoditas yang berpotensi membawa dampak buruk, negara akan melarang komoditas ekspor impor tersebut.
Kebijakan lainnya terkait impor, setiap warga negara diizinkan mengimpor komoditas dari negara-negara kafir, kecuali kafir harbi fi'lan. Sementara itu, bagi orang-orang kafir yang negaranya menjalin perjanjian dengan Khilafah, mereka diperlakukan sesuai poin-poin perjanjian yang sudah disepakati, baik komoditas yang diimpor dari Khilafah maupun yang diekspor ke Khilafah. Namun, mereka tidak diizinkan mengimpor persenjataan dan alat-alat pertahanan strategis.
Keempat, negara akan memberlakukan cukai atas perdagangan yang dilakukan oleh negara kafir, sebagaimana mereka juga menarik cukai dari perdagangan Khilafah. Namun, cukai tidak dipungut dari para pedagang (warga negara) atas perdagangan ekspor dan impor yang mereka lakukan.
Khatimah
Demikianlah pengaturan impor dan ekspor dalam kacamata Islam. Pembatasan impor dengan menetapkan cukai 200 persen bukanlah solusi hakiki melindungi industri dalam negeri. Menaikkan cukai tanpa membangun industri yang mampu bersaing dengan produk impor, sejatinya hanya jalan pintas untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam melindungi pasar domestik. Satu-satunya cara membendung gempuran impor adalah dengan mencampakkan sistem kapitalisme yang melahirkan liberalisasi perdagangan dan menjadikan Islam sebagai solusi.
Wallahua'lam bishawab.[]
#MerakiLiterasiBatch2
#NarasiPost.Com
#MediaDakwah
Jadi serba salah dan kayaknya terlambat. Sudah banyak perusahaan dalam negeri gulung tikar. Di sisi lain, ketergantungan pada bahan impor menimbulkan problema tersendiri.
Betu mbak, inginnya menyelamatkan industri dalam negeri tapi masih tergantung dengan bahan impor. Sama saja akhirnya.
Ini pemberlakuan cukai 200 persen jadi boomerang juga yah. Tujuannya membendung agar barang2 impor nda masuk. Eh malah negaranya ngajarin Impor terus.
Hehe ... sudah begitu ribetnya urusan di sistem kapitalisme. Bikin lieur