Kebijakan cleansing guru honorer menunjukkan kegagalan penguasa dalam menyelesaikan problem pendidikan karena tidak adanya visi pendidikan yang jelas.
Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sebanyak 207 guru honorer telah mengadukan nasib mereka ke posko pengaduan yang didirikan untuk melindungi profesi guru. Posko itu dibentuk oleh Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Posko itu dibuka hingga tanggal 25 Juli 2024.
Para guru honorer tersebut telah diberhentikan dari pekerjaannya akibat kebijakan cleansing yang diterapkan oleh Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta. Mereka diberhentikan secara sepihak melalui pesan berantai yang dikirim oleh kepala sekolah pada 5 Juli 2024. Ada pula yang diminta untuk mengisi sendiri tautan pemecatan yang dinamakan cleansing guru honorer. (tempo.co, 20-07-2024)
Alasan Cleansing Guru Honorer
Lantas, mengapa para guru honorer tersebut dipecat? Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Disdik DKI Jakarta Budi Awaluddin, kebijakan cleansing dilakukan karena tidak adanya seleksi yang jelas saat pengangkatan mereka. Budi menyatakan bahwa antara tahun 2017–2022, para kepala sekolah telah diberitahu agar tidak merekrut guru honorer. Faktanya, mereka tetap nekat melakukan perekrutan. Jumlah guru honorer di tiap sekolah memang hanya 1–2 orang. Namun, karena jumlah sekolahnya banyak, jumlah mereka pun menjadi banyak.
Alasan lain dari kebijakan cleansing itu adalah pemberian gaji yang tidak manusiawi. Gaji yang diambilkan dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) itu dianggap kurang memenuhi standar. Rata-rata gaji guru honorer di DKI Jakarta hanya 1–2 juta rupiah per bulan.
Guru honorer yang terkena kebijakan cleansing adalah mereka yang tidak terdata di Data Pokok Pendidikan (Dapodik) serta tidak memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Mereka tidak berhak mendapatkan gaji dari dana BOS karena guru honorer yang berhak mendapatkan gaji dari BOS harus memenuhi empat kriteria, yaitu bukan aparatur sipil negara (ASN), terdata dalam Dapodik, memiliki NUPTK, serta tidak menerima tunjangan guru. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ada 4.127 guru honorer yang tidak memenuhi empat kriteria ini. Berdasarkan temuan BPK inilah, Disdik DKI Jakarta menerapkan kebijakan cleansing. (kumparan.com, 24-07-2024)
Budi kemudian mengungkapkan bahwa selama ini pengangkatan guru honorer tidak diketahui oleh Disdik DKI Jakarta. Pengangkatan tersebut hanya berdasarkan kedekatan atau subjektivitas kepala sekolah. Informasi lowongan tidak dipublikasikan dan tidak sesuai kebutuhan. Di samping itu, tidak ada kontrak yang jelas sehingga mereka bisa diberhentikan sewaktu-waktu.
https://narasipost.com/opini/07/2024/nasib-guru-makin-ambigu/
Guru honorer yang terdampak kebijakan cleansing harus mengikuti seleksi kontrak kerja individu (KKI) atau seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Masalahnya, jumlah guru honorer jauh lebih banyak dibandingkan dengan kuota PPPK. Selain itu, proses seleksi PPPK sangat ketat. Akibatnya, tidak semua guru honorer memiliki kesempatan menjadi PPPK.
Cleansing Guru Honorer Tidak Manusiawi
Itulah sebabnya, kebijakan cleansing guru honorer yang diterapkan oleh Disdik DKI Jakarta dipandang tidak manusiawi. Penggunaan istilah cleansing yang dapat diterjemahkan sebagai pembersihan itu dianggap berlebihan. Hal itu karena kata pembersihan biasanya hanya dikenal dalam pelanggaran berat hak asasi manusia, seperti pembersihan etnis.
Penggunaan istilah cleansing itu seolah menunjukkan bahwa guru honorer harus dibasmi, padahal mereka telah berjasa dalam mendidik para siswa di sekolah tempat mereka mengabdi. Mereka telah mencurahkan waktu dan tenaga untuk menyebarkan ilmu yang mereka miliki. Mereka tetap menjalankan tugas, meskipun mendapatkan gaji yang sangat rendah.
Rendahnya gaji guru honorer ini tidak hanya dialami oleh guru honorer di DKI Jakarta. Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) telah mengadakan survei bekerja sama dengan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa pada awal Mei 2024 dalam rangka Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hasil survei menunjukkan bahwa 74% gaji guru honorer di Indonesia berada di bawah upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2024. UMK yang dipakai sebagai standar adalah UMK terendah di Indonesia, yaitu di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah sebesar Rp2.038.005. Artinya, sebagian besar dari mereka mendapat gaji kurang dari 2 juta per bulan, bahkan 20,5% di antaranya berpenghasilan di bawah Rp500 ribu per bulan. Memprihatinkan sekali!
Dengan gaji sebesar itu, tentu saja mereka belum dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Mereka kemudian mencari penghasilan tambahan dengan melakukan pekerjaan sampingan. Hasil survei yang dilakukan oleh Ideas menyebutkan bahwa 39% dari mereka mengajar privat atau bimbingan belajar. Kemudian, 29,3% di antaranya menambah penghasilan dengan berdagang. Sedangkan 12,8% dari mereka menjadi petani, 4,4% rela menjadi buruh, 4% menjadi konten kreator, dan 3,1% menjadi pengemudi ojol. (tempo.co, 22-07-2024)
Saat menjadi guru saja mereka masih kekurangan sehingga harus mencari penghasilan tambahan. Bagaimana jadinya setelah mereka diberhentikan? Lebih dari itu, mereka diberhentikan secara mendadak, saat tahun ajaran baru dimulai. Bagaimana mereka harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari?
Diberhentikannya guru honorer tersebut sangat disayangkan karena sebenarnya mereka sangat dibutuhkan dalam mendidik putra putri negeri ini, sedangkan saat ini Indonesia masih kekurangan banyak guru. Pada tahun ini, Indonesia membutuhkan 1,3 juta guru karena banyak guru yang memasuki masa pensiun. Setiap tahun, sebanyak 70 ribu guru memasuki masa pensiun. Sayangnya, profesi guru kurang diminati oleh generasi muda saat ini sehingga Indonesia berpotensi mengalami darurat kekurangan guru. (antaranews.com, 01-09-2023)
Ketidakjelasan Visi Pendidikan
Kebijakan cleansing guru honorer menunjukkan kegagalan penguasa dalam menyelesaikan problem pendidikan karena tidak adanya visi pendidikan yang jelas. Ketidakjelasan visi ini berawal dari tidak jelasnya memahami visi hidup manusia. Akibatnya, tidak ada kejelasan tentang karakteristik yang hendak dibentuk pada peserta didik. Dalam kondisi seperti ini, peserta didik hanya menjadi kelinci percobaan dari kurikulum yang disusun berdasarkan trial and error.
Selain itu, penguasa juga memiliki visi pendidikan kapitalistik yang hanya mempertimbangkan profit atau keuntungan. Jika mendatangkan keuntungan, akan dijalankan. Jika tidak, akan dijalankan dengan setengah hati. Dalam penyelenggaraan pendidikan, negara tidak mendapatkan keuntungan materi, bahkan harus mengeluarkan dana. Oleh karena itu, anggaran yang diberikan sangat terbatas. Tidak mengherankan jika gaji guru honorer pun sangat kecil karena terbatasnya anggaran.
Pentingnya Guru dalam Sistem Pendidikan
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam keberlangsungan sistem pendidikan. Sebaik apa pun sistem pendidikan yang dianut dan sebagus apa pun kurikulum yang disusun, tidak akan ada artinya tanpa kehadiran guru. Ini karena gurulah yang menjadi ujung tombak dalam dunia pendidikan.
Para guru akan berhadapan langsung dengan peserta didik. Merekalah yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan. Mereka pula yang mendidik para siswa agar menjadi pribadi-pribadi yang baik. Dapat dikatakan bahwa para guru berperan dalam membentuk kepribadian generasi penerus negeri ini.
Dengan demikian, tidak ada perbedaan antara guru honorer, PPPK, atau ASN. Semua mempunyai peran yang sangat penting dalam mencerdaskan umat. Negara seharusnya memberikan apresiasi berupa gaji yang layak sehingga mereka dapat fokus menjalankan amanah sebagai pendidik.
Visi Pendidikan Khilafah
Upaya guru dalam membentuk karakter yang baik pada para siswa akan mudah dilakukan jika kurikulum yang digunakan memiliki visi yang jelas. Kurikulum seperti ini hanya ada dalam sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan Islam berupaya untuk membentuk generasi yang memiliki kepribadian Islam, menguasai tsaqafah Islam, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki keterampilan yang berdaya guna.
Dengan demikian, akan terbentuk sosok yang mandiri dan bermanfaat bagi orang lain. Sosok seperti ini adalah sebaik-baik manusia, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw. dalam HR. Ahmad,
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi manusia.”
Di samping itu, dalam sistem Islam, pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara. Negara akan menyediakan berbagai sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas di semua jenjang pendidikan. Semua itu diberikan secara cuma-cuma. Para guru juga akan mendapatkan gaji yang layak sehingga mereka dapat fokus melaksanakan kewajibannya.
Semua dana yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pendidikan dan menggaji guru dapat diambil dari baitulmal. Di baitulmal terdapat pos-pos anggaran fai, kharaj, ganimah, jizyah, dan hasil pengelolaan harta milik umum. Dana di pos-pos ini dapat digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan dan menggaji guru.
Konsep seperti ini pernah diterapkan oleh Rasulullah saw. Beliau saw. meminta kepada para tawanan Perang Badar untuk mengajarkan baca tulis kepada anak-anak kaum muslim sebagai tebusan bagi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara.
Para khalifah pun menerapkan konsep yang sama. Mereka sangat memperhatikan masalah pendidikan dan memberi penghargaan yang besar kepada para guru. Misalnya, pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, para guru mendapatkan gaji sebesar 100 dinar. Khalifah Harun ar-Rasyid bahkan memberi gaji yang lebih besar kepada mereka. Rata-rata gaji mereka adalah 2.000 dinar per tahun. Satu dinar setara dengan 4,25 gram emas. Jika satu gram emas dihitung satu juta rupiah, gaji seorang guru waktu itu adalah Rp8,5 miliar per tahun atau sekitar Rp708 juta per bulan. Jauh lebih banyak dari gaji guru ASN saat ini, lebih-lebih jika dibandingkan dengan gaji guru honorer.
Demikianlah penghargaan yang diberikan oleh para khalifah kepada guru. Mereka dimuliakan karena mengajarkan ilmu yang tidak ternilai harganya. Karena merekalah, generasi muda Islam menjadi generasi yang berkualitas hingga mampu memimpin dunia.
Penutup
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter generasi penerus. Tak peduli apakah ia berstatus sebagai pegawai negeri, pegawai kontrak, atau guru honorer. Mereka semua dibutuhkan untuk menyiapkan calon-calon pemimpin negeri ini. Oleh karena itu, seharusnya mereka mendapat perhatian yang sama dari penguasa, bukan sebaliknya, dikenai kebijakan cleansing. Mereka juga berhak mendapatkan upah yang layak agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga.
Wallahua’lam bishawab. []
Kasihan para guru honorer dianggap seperti sampah yang harus dibersihkan. Harusnya para anggota dewan yang cuma jadi pemanis yang dibasmi, bukan para guru.
Penguasa makin nirempati. Dalam memilih diksi saja sudah menyakiti rakyat. Mendengar korban di TV sudah menggambarkan sulitnya hidup yang harus ia jalani. Meski kecil, gaji tetap dapat untuk menyambung hidup. Apalagi tatkala tidak ada sama sekali. Gelap dunia bagi mereka.