Bahan Berbahaya dalam Roti Kemasan

Bahan Roti kemasan

Dugaan adanya bahan berbahaya dalam roti Aoka dan Okko bukan hanya masalah produsen, tetapi juga permasalahan sistem yang diterapkan di negeri ini, yakni kapitalisme

Oleh. Arum Indah
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Bahan berbahaya ditemukan dalam beberapa roti kemasan, yakni Aoka dan Okko. Belum genap lima tahun beredar di pasar, Aoka dan Okko telah berhasil memikat hati masyarakat. Dengan harga jual berkisar Rp3.000 per bungkus, roti kemasan ini disambut baik oleh masyarakat, terkhusus kalangan menengah ke bawah. Sedihnya, saat roti kemasan ini sudah banyak dikonsumsi oleh masyarakat, justru beredar kabar adanya bahan berbahaya dalam roti Aoka dan Okko, yakni sodium dehydroacetate, zat yang biasa digunakan untuk pengawetan kosmetik.

Menanggapi hal ini, BPOM pun melakukan inspeksi ke sarana produksi Aoka, PT Indonesia Bakery Family di Bandung dan mengambil sampel roti dari peredaran. Hasilnya, BPOM tidak menemukan kandungan berbahaya pada roti kemasan Aoka dan pabrik tetap diberi lampu hijau untuk terus berproduksi. (CNNIndonesia.com, 25-7-2024)

Lain halnya dengan roti kemasan Okko yang diproduksi oleh PT Abadi Rasa Food yang juga bertempat di Bandung, BPOM menemukan kandungan sodium dehydroacetate dalam produksi roti mereka yang tidak sesuai dengan komposisi saat pendaftaran produk. BPOM juga menemukan bahwa produsen tidak menerapkan cara produksi pangan olahan yang baik (CPPOB) dengan benar dan konsisten. Okko pun ditarik dari peredaran dan pabrik dikenakan sanksi untuk berhenti berproduksi. BPOM menegaskan bahwa sodium dehydroacetate tidak termasuk bahan tambahan pangan yang diizinkan alias merupakan kandungan terlarang sebagaimana peraturan BPOM tentang BTP.

Kronologis Ditemukannya Bahan Berbahaya

Awalnya Paguyuban Roti dan Mi Ayam Borneo (Parimbo) menaruh curiga pada Aoka dan Okko setelah menerima laporan dari anggotanya ihwal roti kemasan yang masih terlihat bagus dan tidak berjamur sama sekali, meskipun telah melewati masa kedaluwarsa selama sembilan bulan. Parimbo pun melakukan uji dengan mengirimkan sampel roti-roti tersebut ke laboratorium milik SGS Indonesia (bagian dari grup SGS yang menyediakan jasa laboratorium verifikasi, pengujian, inspeksi, dan sertifikasi). Hasil pengujian menyatakan bahwa Aoka mengandung bahan berbahaya sodium dehydroacetate sebanyak 235 miligram per kilogram dan Okko mengandung hal serupa sebanyak 345 miligram per kilogram.

Adanya perbedaan hasil uji antara BPOM dan SGS ini tentu menimbulkan tanya di tengah masyarakat. Bagaimana bisa dua lembaga ini menghasilkan temuan yang berbeda? Meskipun pihak Aoka menepis tuduhan dan diperkuat dengan hasil uji BPOM, tetapi diamnya pihak Aoka terhadap pengujian laboratorium yang dilakukan Parimbo serta tidak adanya tuntutan balik kepada Parimbo menyiratkan kebenaran keberadaan bahan berbahaya sodium dehydrocetate dalam produk mereka.

Pihak Aoka sendiri beralasan bahwa produknya yang kedaluwarsa, tetapi tidak berjamur (bintik-bintik hitam) sebagaimana roti pada umumnya adalah buah dari produksi mereka yang higienis dan teknik pengawetan yang tepat.

Bahaya Sodium Dehydrocetate dalam Roti

Guru Besar Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor Hardiansyah mengatakan bahwa natrium dehidrosetate (sodium dehydroacetate) adalah zat aditif yang bisa digunakan sebagai pengawet. Senyawa kimia yang dimilikinya dapat menghambat pertumbuhan mikroba sehingga dapat mengawetkan produk. Akan tetapi, jika sodium dehydroacetate digunakan dalam dosis tinggi akan menimbulkan iritasi, kanker, serta gangguan hati dan ginjal pada manusia.

Di beberapa negara besar seperti Eropa dan Amerika, sodium dehydroacetate yang awalnya digunakan sebagai bahan kosmetik ini mulai diizinkan untuk digunakan sebagai BTP (bahan tambahan pangan), tetapi dalam dosis yang sangat kecil. Batas asupan harian yang ditetapkan WHO hanya 0-0,6 miligram per kilogram berat badan per hari. Oleh karenanya, butuh pengawasan ekstra ketat dalam penggunaan sodium dehydroacetate sebagai BTP.

Investor Cina di Balik Pabrik Roti

Melansir dari Majalah Tempo, produsen roti Aoka dan Okko yang menjalankan pabrik dengan skala produksi puluhan ribu bungkus per hari ini ternyata disokong pemodal asal Cina. PT Indonesia Bakery Family (produsen Aoka) berstatus sebagai perusahaan dengan penanaman modal asing. Direktur Utamanya ialah GX, seorang warga negara Cina dan jajaran kepengurusan lainnya juga didominasi oleh asing, terutama Cina.

Sementara itu, PT Abadi Rasa Food ialah perusahaan berstatus swasta nasional. Namun, mayoritas sahamnya dikuasai oleh WQ, seorang warga Fujian, Cina yang juga menjabat sebagai Direktur Utama. Pengelola Pabrik ini mengeklaim bahwa mereka hanya mengambil untung tipis sehingga bisa menjual roti kemasan dengan harga murah, sedangkan kualitas roti yang bisa bertahan sampai 90 hari karena produksi yang higienis dan berstandar internasional.

Faktor Penyebab Maraknya Produk Berbahaya

Kasus roti kemasan Aoka dan Okko ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya juga telah banyak produk makanan mengandung bahan berbahaya yang beredar di pasaran, seperti permen, minuman, mi instan, ikan olahan dalam kaleng, dan lain-lain.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab maraknya peredaran produk berbahaya ini, yakni:

  • Dari sisi masyarakat. Kemiskinan dan sulitnya ekonomi membuat masyarakat terpaksa mengonsumsi makanan yang dibanderol dengan harga murah. Apalagi jika makanan murah itu bisa mengenyangkan dan memiliki rasa enak, ditambah lagi dengan iming-iming hemat. Hampir seluruh produk makanan kemasan yang bermasalah adalah produk dengan pangsa pasar masyarakat menengah ke bawah. Kalangan ekonomi bawah memang menjadi sasaran paling empuk para kapitalis yang hanya berorientasi keuntungan. Belum lagi dari sisi minimnya edukasi tentang bahan-bahan berbahaya dalam makanan kemasan. Semuanya makin diperparah dengan kebiasaan masyarakat yang enggan membaca komposisi sebuah produk.
  • Dari sisi produsen makanan. Produsen yang hanya berorientasi pada keuntungan membuat mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Apalagi sistem ekonomi saat ini terkenal dengan slogan “Modal sekecil-kecilnya dan untung sebesar-besarnya”. Ini mengakibatkan produsen akan menekan biaya produksi seminimal mungkin, termasuk di dalamnya penekanan terhadap bahan baku produk. Tak mengherankan jika pemilihan bahan-bahan yang tidak memenuhi standar dan penambahan zat kimia sintetis menjadi alternatif pilihan bagi produsen sebab bisa mengecilkan biaya produksi.
  • Dari sisi lembaga pengawasan. Minimnya pengawasan dan evaluasi dari lembaga yang bersangkutan mengakibatkan produsen-produsen nakal bebas memainkan produk yang beredar di pasar. Sering kita temui komposisi produk yang beredar di pasar berbeda dengan komposisi produk pada saat uji kelolosan BPOM.
  • Dari sisi negara. Lemahnya sanksi negara, bahkan tidak ada efek jera juga mengakibatkan suburnya produsen-produsen tak bertanggung jawab. Selama ini, kasus-kasus seperti ini hanya dikenai sanksi penarikan produk dari pasar dan pembekuan izin usaha yang bersifat sementara. Setelah beberapa waktu, pabrik-pabrik ini sudah bisa beroperasi dan beraktivitas kembali seperti biasa, padahal efek bagi konsumen yang telah mengonsumsi produk ini tidak dapat hilang begitu saja dan bisa berdampak pada kesehatan jangka panjang.

Kapitalisme Minim Empati

Dugaan adanya bahan berbahaya dalam roti Aoka dan Okko bukan hanya masalah produsen yang tidak bertanggung jawab. Lebih dari itu, permasalahan ini tidak lepas dari sistem yang diterapkan di negeri ini, yakni sistem kapitalisme sekuler (memisahkan agama dari kehidupan).

https://narasipost.com/food/05/2022/bluder-roti-manis-dari-kota-gadis/

Sistem ini telah menjadikan banyak individu yang hidup di dalamnya hanya memikirkan materi dan segala hal yang bisa mendatangkan materi tanpa peduli halal atau haram, manusiawi atau tak manusiawi, dan merugikan orang lain atau tidak. Asal cuan mengalir, segala hal pun menjadi boleh. Sistem ini juga telah menciptakan kemiskinan dan kebodohan sistemis.

Islam Solusi Tuntas

Isu bahan berbahaya dalam roti Aoka dan Okko ini serta permasalahan produk makanan apa pun dalam kapitalisme hanya bisa diselesaikan tuntas dengan penerapan Islam kaffah. Islam memiliki mekanisme untuk menyelesaikan problem ini secara tuntas.

Pertama, dari sisi individu, Islam mampu mencetak individu yang memiliki keimanan yang kukuh sehingga landasan dalam perbuatan bukanlah materi, melainkan halal dan haram.

Kedua, standardisasi pabrik penghasil produk yang ketat, mulai dari pengujian, produksi, pengawasan, hingga keberlangsungan produk di pasaran.

Ketiga, sanksi yang tegas dari negara yang memberikan efek jera bagi pelaku dan pencegahan bagi pihak yang lain untuk melakukan tindakan serupa. Khalifah memiliki kewenangan untuk menetapkan standar-standar khusus pengaturan jual beli dan perdagangan. Khalifah juga berhak menjatuhkan sanksi kepada mereka. Hukuman bisa berupa peringatan keras, penjara, atau yang lain, tergantung kepada tingkat pelanggaran yang dilakukan.

Allah berfirman dalam surah An-Nisa ayat 14:

وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَتَعَدَّ حُدُوْدَهٗ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيْهَاۖ وَلَهٗ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ

Artinya: “Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan."

Lebih dari itu, khalifah akan mengedukasi masyarakat terkait dengan pangan sehat. Jelaslah bahwa permasalahan produk makanan yang beredar di masyarakat adalah permasalahan kompleks yang erat kaitannya dengan sistem negara hari ini.

Permasalahan ini hanya bisa diselesaikan dengan solusi mendasar, yakni penerapan Islam yang mampu menyolusi dari segala sisi, baik sisi kemiskinan maupun aturan korporasi serta sanksi dalam masyarakat. Aturan Islam ini hanya bisa diterapkan kaffah dalam naungan Khilafah Islamiah.

Wallahua’lam bishawab. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Arum Indah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Anggaran Pupuk Dipangkas, Apa Kabar Indonesia Emas?
Next
Karhutla Berulang, Mitigasi Setengah Hati?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

5 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Sartinah
Sartinah
2 months ago

Ngeri ya sekarang, tanpa jaminan kehalalan dan bahan-bahan yang sehat, masyarakat jadi terancam kesehatannya. Begitu lemahnya pengawasan pemerintah sampai makanan mengandung zat berbahaya bebas beredar di masyarakat.

Desi nurjanah
Desi nurjanah
2 months ago

Subhanallah...
Kerusakan fatal dimana" Bahkan roti saja yang di anggap makanan paling praktis tuk bekal /sarapan anak-anak bahaya juga ternyata.

Betul" Sudah urgent, mesti segera ganti sistem!

Arum indah
Arum indah
Reply to  Desi nurjanah
2 months ago

Benar. Makanan yang paling simple dan dianggap lebih sehat drpd ciki2an. Tp ternyata sama saja. ☹️

Novianti
Novianti
2 months ago

Sama seperti makanan yang dijual murah banget oleh penjual keliling kampung. 1000 rb dapat satu bungkus. Atau minuman berwarna. Pedagangnya juga tidak punya pilihan. Rakyat senang yang murah karena sesuai dompet mereka. Mereka tidak paham ada ancaman kesehatan pada tahun-tahun setelahnya. Ginjal, obesitas, diabetes. Penyakit yang pengobatannya bertahun-tahun dan tidak murah.

Arum indah
Arum indah
Reply to  Novianti
2 months ago

Benar, mbak. Permasalahan yng cukup kompleks..

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram