Melihat skema pembiayaan pembangunan konstelasi satelit yang masih mengandalkan pinjaman dan kerja sama dengan pihak lain, hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sejatinya belum memiliki kemampuan untuk membangun satelitnya sendiri. Jika belum mampu, lantas mengapa pemerintah memaksakan diri?
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pemerintah melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sedang menyiapkan konstelasi satelit nasional. Demi suksesnya rencana pembangunan 18 satelit konstelasi tersebut, pemerintah disebut telah menyiapkan anggaran fantastis. Sayangnya, kondisi keuangan negara yang tak mencukupi serta kemampuan teknologi dan fasilitas yang belum memadai, membuat pemerintah menggandeng pihak lain dalam pembangunannya.
Jika melihat keseriusan pemerintah membangun konstelasi satelit, lantas tujuan besar apa yang ingin diwujudkan negara? Pun demikian dengan anggarannya yang fantastis, dari mana pemerintah memperoleh dana pembangunannya? Jika belum mampu secara teknologi dan fasilitas, lantas mengapa pemerintah masih memaksakan diri?
Pengertian dan Tujuan Konstelasi Satelit
Konstelasi satelit dapat digambarkan sebagai sekelompok satelit buatan yang bekerja secara bersama-sama untuk suatu sistem tertentu. Dapat juga dikatakan, konstelasi satelit merupakan wahana setipe yang mengorbit secara berkelompok. Keunggulan dari konstelasi satelit tersebut adalah cakupannya yang lebih luas. Konstelasi ini tidak seperti satelit tunggal yang memiliki jangkauan lebih sempit.
Kepala Pusat Riset Pengindraan Jauh Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa (ORPA) BRIN, Robertus Heru Triharjanto telah menjelaskan konsep konstelasi satelit yang diusulkan oleh BRIN. Heru menyebut, BRIN tengah mengembangkan 18 plus 1 satelit komunikasi dan pengamatan bumi Indonesia yang peluncurannya akan dilakukan secara bertahap. Satelit-satelit tersebut yakni dua satelit resolusi sangat tinggi, empat satelit resolusi tinggi, serta dua satelit Synthetic Aperture Radar (SAR) atau radar. Berikutnya ada 10 satelit konstelasi yang memiliki misi komunikasi, serta satu satelit geostasioner. (kompas.id, 15/07/2023)
Pemerintah pun menilai, konstelasi satelit sangat penting untuk mendukung kebutuhan negara terhadap data citra pengindraan jauh dan kebutuhan lainnya. Artinya, dengan adanya data citra satelit, maka pengamatan atas wilayah di Indonesia dapat dilakukan tanpa menunggu waktu kedatangan kembali dari satelit tersebut.
Pengamatannya pun dapat dilakukan di berbagai bidang di negeri ini, antara lain untuk memantau daratan (perkebunan, pertanian, dan kehutanan), pesisir, dan laut (untuk mengamati terumbu karang, mangrove, banjir, penurunan muka tanah, dampak dari gempa, letusan gunung berapi, batimetri (ukuran tinggi rendahnya dasar laut), dan tsunami). Semua upaya tersebut ternyata tak cukup diselesaikan hanya dengan puluhan atau ratusan juta rupiah. Lantas dari mana pemerintah memperoleh anggarannya?
Kerja Sama dan Pinjaman
Pembangunan konstelasi satelit tentu membutuhkan dana yang cukup besar. Apalagi pemerintah bermaksud membangun satelit resolusi sangat tinggi (resolusi 50 cm) dengan ukuran 500 hingga 700 kg. Dalam program risetnya, BRIN direncanakan akan meluncurkan LAPAN-A4 yang diperkenalkan sebagai satelit pertama dari konstelasi Nusantara Earth Observation pertama (NEO-1).
Pembangunan satelit NEO-1 sendiri direncanakan akan dilaksanakan di negara mitra. Pasalnya, Indonesia belum memiliki fasilitas dan kemampuan teknologi untuk membangun satelit yang memiliki resolusi 50 cm. Sedangkan satelit NEO-2 yang memiliki resolusi 50 cm imager, disebutkan pendanaannya berasal dari kerja sama antara pemerintah dan badan usaha. Sementara itu, untuk pembangunan satelit SAR sendiri pemerintah akan mengandalkan pinjaman luar negeri. Melihat skema pembiayaannya yang masih bergantung pada pinjaman, lantas masih perlukah membangun satelit nasional sendiri?
Tak hanya terkait konstelasi satelit, skema pinjaman juga dilakukan pemerintah ketika meluncurkan satelit telekomunikasi terbesar milik Indonesia yakni Satelit Republik Indonesia (SATRIA) 1, pada Juni 2023 lalu. Satelit tersebut diklaim akan meningkatkan kemampuan penetrasi internet di Indonesia, khususnya di daerah terpencil. Sayangnya, pembiayaan pembangunannya yang diperoleh dari pinjaman internasional justru semakin menjerumuskan negeri ini pada jeratan utang yang berkepanjangan.
Pasalnya, biaya pembuatan hingga peluncuran satelit SATRIA-1 saja sudah menghabiskan dana sangat besar, yakni sebesar US$540 juta atau sekitar Rp8 triliun. Padahal, biaya awal pembangunannya diperkirakan hanya sebesar US$450 juta atau sekitar Rp6,69 miliar. Jumlah tersebut kemudian membengkak menjadi US$540 juta karena beberapa faktor, salah satunya perang Rusia-Ukraina. (katadata.co.id, 13/06/2023)
Jumlah tersebut hanya untuk pengadaan satu satelit. Maka dapat dibayangkan berapa dana investasi yang dibutuhkan untuk membangun 18 satelit tersebut. Jika melihat skema pembiayaan pembangunan konstelasi satelit yang masih mengandalkan pinjaman dan kerja sama dengan pihak lain, hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sejatinya belum memiliki kemampuan untuk membangun satelitnya sendiri. Jika belum mampu, lantas mengapa pemerintah memaksakan diri?
Mengutamakan Satu Sisi, Mengabaikan Sisi Lain
Pembangunan teknologi demi memenuhi tuntutan kemajuan zaman dan mewujudkan kemaslahatan rakyat tentu merupakan cita-cita mulia. Namun, cita-cita tersebut seharusnya tidak boleh mengabaikan sisi yang lainnya. Sebut saja, anggaran fantastis yang akan digelontorkan pemerintah untuk membangun konstelasi satelit. Padahal, pemerintah masih belum memiliki kesiapan fasilitas dan kemampuan teknologi yang canggih. Mengapa anggaran tersebut tidak dialokasikan saja untuk ranah pendidikan dan kesehatan, khususnya bagi rakyat yang sulit mengenyam pendidikan dan mengakses layanan kesehatan gratis?
Pasalnya, masih banyak rakyat negeri ini yang tidak atau belum sekolah. Sebagaimana dikutip dari dataindonesia.id(04/04/2023), jumlah penduduk Indonesia yang tidak atau belum sekolah sebanyak 66,07 juta jiwa atau 23,8% dari jumlah penduduk Indonesia per 31 Desember 2022. Belum lagi, masih sulitnya masyarakat mengakses layanan kesehatan berkualitas dan gratis. Meski ada BPJS, tetapi layanannya pun masih berkasta. Masyarakat kelas menengah ke atas dapat memperoleh layanan berkualitas, sedangkan masyarakat miskin hanya mendapatkan layanan kesehatan sekadarnya.
Setali tiga uang dengan konstelasi satelit, pemerintah pun jorjoran membangun infrastruktur dengan dalih meningkatkan perekonomian yang nantinya akan berdampak pada kesejahteraan rakyat. Namun, pada saat yang sama pengangguran tetap membeludak karena sulitnya mengakses lapangan pekerjaan. Artinya, pembangunan infrastruktur yang gila-gilaan tersebut tidak berdampak signifikan terhadap kesejahteraan rakyat.
Inilah realitas kepemimpinan sebuah negara yang diasuh oleh sistem kapitalisme. Sistem yang menjadikan materi sebagai prioritas, hanyalah setengah hati dalam mengurus rakyat. Meski kesejahteraan selalu menjadi dalih dalam setiap kebijakannya, tetapi hakikatnya hal itu hanyalah fatamorgana. Secanggih apa pun teknologi yang akan dibangun, tetapi sejatinya itu bukanlah demi kemaslahatan rakyat.
Teknologi dalam Pandangan Islam
Umat Islam adalah umat terbaik. Hal ini pun sudah Allah Swt. sebutkan dalam surah Ali Imran ayat 110, "Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah ..."
Salah satu karakter umat terbaik adalah memiliki kemandirian dan tidak bergantung pada negara lain. Kemandirian tersebut harus terwujud dalam seluruh aspek, baik dalam memenuhi kebutuhan dasar (seperti pangan, sandang, dan papan), maupun dalam bidang ipoleksosbudhankam.
Sejatinya teknologi merupakan produk pemikiran. Artinya, semakin maju pemikiran kolektif suatu bangsa, maka di saat yang sama para ilmuwan dan teknologi akan bermunculan. Penemuan dan pengembangan teknologi canggih rupanya tak hanya terjadi pada masa kini, tetapi sudah dilakukan sejak peradaban Islam masih berjaya. Bahkan, puncak kejayaan sains dan teknologi pernah terjadi pada masa Kekhilafahan Abbasiyah (750–1258).
Islam pun memiliki pandangan yang khas terkait penggunaan teknologi. Islam memandang bahwa pembangunan dan pengembangan teknologi dilakukan demi satu tujuan yaitu mewujudkan kemaslahatan. Karena itu, pembangunan dan pengembangan teknologi haruslah "tepat guna", yakni benar-benar bermanfaat bagi rakyat. Bukan sekadar canggih, tetapi tidak memberikan dampak langsung terhadap kemaslahatan rakyat. Sebagaimana yang terjadi pada masa keemasan Islam, di mana sebagian besar teknologi yang berkembang itu berawal dari kebutuhan mayoritas masyarakat. Karena itu, mayoritas teknologi yang ada saat itu disebut "tepat guna".
Selain itu, pembangunan teknologi harus seiring sejalan dengan seluruh kebijakan di bidang lainnya seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pertanian, dan sebagainya. Khilafah sebagai penanggung jawab urusan rakyat tidak akan memprioritaskan satu sisi, tetapi merugikan sisi lainnya. Misalnya memprioritaskan teknologi ataupun infrastruktur, tetapi mengabaikan aspek pendidikan, kesehatan, dan lainnya.
Sedangkan terkait pembiayaan, Khilafah akan menganggarkannya dari kas keuangan negara yakni baitulmal. Sumber-sumber pemasukan baitulmal yang sangat besar, meniscayakan negara mampu membiayainya secara mandiri tanpa mengandalkan pinjaman dari negara lain.
Salah satu teknologi yang berkembang pada masa peradaban Islam adalah teknologi pangan. Pada saat itu muncul seorang ahli bernama Al-Asma'i (740–828 M) dalam dunia pertanian. Beliau mengabadikan namanya sebagai ahli hewan ternak dalam banyak bukunya, seperti kitab tentang hewan liar, kuda, dan domba. Ada pula Abu Hanifah Ahmad ibn Dawud Dinawari (828–896), yang merupakan pendiri ilmu tumbuh-tumbuhan (botani).
Beliau menulis kitab Al-Nabat dan memaparkan sedikitnya 637 tanaman. Beliau juga mengkaji tentang aplikasi astronomi dan meteorologi untuk pertanian, seperti tentang angin, petir, hujan, posisi matahari, sungai, dan mata air. Selain itu, beliau juga mengkaji tentang geografi (dalam konteks pertanian), seperti tentang pasir, batuan, dan tipe-tipe tanah yang cocok untuk jenis tanaman tertentu.
Fakta-fakta tersebut seluruhnya berkaitan dengan ilmu pertanian dalam arti sempit. Pada perkembangannya terjadi penemuan-penemuan yang tergolong teknologi canggih, seperti alat untuk memprediksi cuaca, teknologi irigasi, teknologi pengolahan pascapanen, hingga manajemen perusahaan pertanian. Perpaduan dari semua teknologi ini melahirkan hasil yang luar biasa dan disebut sebagai revolusi pertanian muslim. Sekali lagi, semua teknologi dibangun dan dimaksimalkan demi terwujudnya kemaslahatan umat, bukan demi gengsi sebagai sebuah negara yang besar.
Khatimah
Demikianlah, jika ingin menjadi bangsa yang besar dan mandiri, maka Indonesia tidak boleh bergantung dengan negara lain, baik dalam urusan politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, hingga teknologi. Namun, teknologi saja tidak cukup mewujudkan kemandirian sebuah bangsa. Karenanya selain teknologi "cepat guna" dibutuhkan pula kebijakan dan negara yang "tepat guna". Semua itu akan terwujud jika Islam diterapkan dalam institusi Khilafah sebagai pengatur kehidupan.
Wallahu a'lam bishawab
Harusnya pemerintah bisa melihat skala prioritas. Pendidikan, kemiskinan, degradasi moral, kerusakan lingkungan, dll itu telah jelas di depan mata dan butuh segera diselesaikan.
Satelit nasional sangat tidak urgen. Ingin dikatakan lebih 'maju' dengan konstelasi satelit tapi infrastuktur belum memadai. Akhirnya kembali berutang. Ironis
Betul mbak Rere. Kalau saat ini memang Indonesia sebenarnya belum mampu. Urusan rakyat saja masih kacau-balau, eh malah mau menambah derita ralyat lagi.
Lagi-lagi utang ya..
Negara bisa mandiri dan tidak bergantung dengan negara lain apalagi penjajah hanya dengan menerapkan Islam.
Betul mbak, utang dan pajak adalah pilar penopang ekonomi dalam sistem kapitalisme. Jadi gak heran jika utang justru jadi tradisi.
Kok, komen orang gak bisa saya balas ya Mom
MasyaAllah, Islam sungguh sempurna sebagai dien yang mengatur tentang asfek spiritual sekaligus mengatur sistem kehidupan manusia. Kemampuannya menyelesaikan setiap problematika kehidupan secara komprehensif semestinya menjadi rujukan bagi aturan kehidupan manusia di alam semesta ini.
Kalau kata anak muda sekarang ...
Bangun satelit triliunan?
Tapi modal minjem dan kerja sama dengan pihak lain?
Chuaaaaks.
Jazakunnallah khairan katsiran Mom dan tim NP
Alhamdulillah sdh baca keseluruhan naskah ini. Melihat tindakan pemerintah buat kita mengelus dada. Terkait soal pembelian satelit benar2 ceroboh. Bagaimana tdk seakan memudahkan dan memajukan rakyat namun yg ada justru menjerat dg utang yg sangat besar. Sementara kondisi berbagai sarana infrastrukstur dlm negeri perlu byk yg harus dibenahi.