Pada abad pertengahan, desain rumah sakit di Suriah, Mesir, Baghdad, dan Kairo mirip dengan istana bangsawan, mampu menampung 8.000 bed, tanpa memandang ras, warna kulit, maupun agama. Layanan kesehatannya gratis, dokter dan tenaga medis pun tetap memperoleh gaji.
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Seabrek masalah klasik layanan kesehatan di negeri ini membuka mata pemerintah bahwa sistem kesehatan perlu diperbaiki, yakni melalui disahkannya RUU Kesehatan. Namun, tampaknya transformasi layanan kesehatan memantik sejumlah kekhawatiran karena dianggap membahayakan dan tidak prorakyat. Salah satunya, UU Kesehatan Pasal 233-241 yang nantinya tidak hanya mempermudah dokter diaspora, namun juga dokter asing untuk beroperasi di dalam negeri.
Diketahui, Indonesia masih kekurangan dokter spesialis dengan rasio 0,12 per 1.000, dan dokter umum 0,62 per 1.000 penduduk. Rasio ini lebih rendah dari standar WHO, yakni sebesar 1,0 per 1.000 penduduk. Untuk itu, transformasi UU Kesehatan diharapkan dapat meningkatkan jumlah dokter dan dokter spesialis dalam negeri.
Menurut Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril, kontribusi dokter diaspora akan memperkuat sistem kesehatan di dalam negeri. Pasalnya, selama ini banyak tenaga medis diaspora yang kesulitan berpraktik di Indonesia dan lebih memilih bekerja di luar negeri. Kendalanya beragam, salah satunya karena kurangnya peralatan canggih yang membuat mereka sulit beradaptasi dengan rumah sakit dalam negeri (nasional.kompas.com, 15/7/2023).
Sebenarnya, rencana impor dokter telah lama diusulkan pemerintah. Pemerintah berdalih bahwa program ini bertujuan agar tidak ada lagi rakyat yang berobat di luar negeri, sehingga devisa negara tetap terjaga. Pertanyaannya, mengapa pemerintah selalu memilih jalan instan untuk mengatasi setiap masalah layanan kesehatan. Misalnya, demi mewujudkan rumah sakit bertaraf internasional, pemerintah menawarkan investor asing untuk membangun rumah sakit, dan mengimpor obat-obatan, alat kesehatan, dokter, bahkan tenaga medis. Padahal, persoalan layanan kesehatan di negeri ini begitu kompleks, namun lagi-lagi solusi yang ditawarkan pemerintah tidak komprehensif dan menyentuh akar persoalannya.
Akibat Minimnya Peran Negara
Selama ini, banyak dokter diaspora yang mengeluh mengenai birokrasi yang rumit dan mahalnya biaya pengurusan untuk bekerja di Indonesia. Ada wacana bahwa IDI dinilai sebagai “biang kerok” karena menghambat masuknya dokter diaspora dengan mempersulit izin praktik mereka. Pihak pemerintah pun menyebut IDI sebagai dalang yang pantas disalahkan dalam mandeknya penciptaan dokter spesialis. Namun, semua dibantah oleh pihak IDI. Pihaknya mengaku beberapa kali membantu para dokter untuk menempuh pendidikan kedokteran di luar negeri dan membantu mereka berkarier di Indonesia (nasional.kompas.com, 15/7/2023). Tampaknya telah terjadi saling lempar tuduhan mengenai siapa yang menjadi “biang kerok” penyebab mandeknya pertumbuhan dokter spesialis di dalam negeri.
Misalnya, masalah minimnya dokter gigi. Diketahui, setiap tahun lulusan dokter gigi sekitar 2.500 orang, dan sekarang berjumlah 45.000 dokter. Namun, hanya 30% yang bekerja dan difasilitasi pemerintah. Artinya, Indonesia sebenarnya tidak kekurangan dokter gigi. Hanya saja, tidak semua dokter mau ditempatkan di daerah terpencil. Wajar saja karena dokter juga manusia yang butuh kesejahteraan. Mereka juga mempunyai anak-anak yang butuh pendidikan berkualitas. Sedangkan, di daerah terpencil tidak tersedia layanan publik yang memadai. Ditambah lagi, sarana dan prasarana rumah sakit daerah terpencil belum memadai karena minimnya anggaran.
Sejak awal, masalah kurangnya tenaga medis dan maldistribusi merupakan kegagalan pemerintah dalam mengurus layanan kesehatan di negeri ini. Bagaimana mungkin, di tengah bonus demografi dan banyaknya lulusan mahasiswa kedokteran, Indonesia justru kekurangan SDM unggul?
Menakar Keseriusan Pemerintah
Selama ini ‘kan, pendidikan tinggi untuk jurusan kedokteran dan dokter spesialis begitu mahal, sehingga banyak masyarakat tidak mampu menempuh pendidikan tersebut. Ditambah lagi, rendahnya kualitas pendidikan dan sulitnya perjalanan menjadi dokter membuat sebagian orang memilih untuk melanjutkan pendidikan dan bekerja di luar negeri. Padahal jika negara fokus memperbaiki sistem pendidikan dan kesehatan dengan baik, maka negara tidak perlu membuka keran impor dokter. Rakyat pun tidak perlu jauh-jauh menempuh pendidikan dan bekerja di luar negeri.
Artinya, jika pemerintah memang serius ingin memperbaiki layanan kesehatan, seharusnya dengan memaksimalkan potensi SDM, memperbaiki distribusi pemerataan dokter, meningkatkan kesejahteraan tenaga kesehatan, dan meningkatkan kuantitas, serta kualitas layanan kesehatan dalam negeri secara mandiri. Buktinya, banyak dokter diaspora yang telah bekerja di luar negeri. Itu menandakan bahwa anak bangsa memiliki kemampuan yang sama dengan dokter asing. Hanya saja ‘kan selama ini kebijakan negara tidak ramah kepada rakyatnya.
Logika mendapat untung devisa dengan mengimpor dokter, dan menerima investor asing untuk membangun rumah sakit bertaraf internasional merupakan solusi yang menyesatkan. Realitasnya, jika negara selalu mengandalkan impor tanpa berupaya memaksimalkan potensi dalam negeri, maka kemandirian negara perlahan akan rapuh. Pemerintah seolah sengaja membiarkan rakyatnya bersaing dengan TKA tanpa mempersiapkan benteng pelindung. Rakyat sendiri disuruh "bertempur" memperebutkan lapangan pekerjaan, namun dengan lawan yang tidak seimbang. Hal ini akan menghilangkan kendali negara terhadap layanan kesehatan dan dapat menggerus peran dokter lokal. Terlebih lagi, standar kesehatan dokter asing belum tentu sesuai dengan standar mayoritas umat Islam.
Desain Global
Liberalisasi dan kapitalisasi sektor kesehatan tak bisa dilepaskan dari intervensi dan desain global. Indonesia sendiri telah terikat perjanjian dengan WTO tentang Perdagangan Jasa atau GATS (General Agreement on Trade in Service). Perjanjian tersebut berlaku setelah dituntaskannya Putaran Uruguay, pada Januari 1995, yang bertujuan untuk memperluas liberalisasi pada sektor jasa.
Liberalisasi diawali dengan lahirnya UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). UU ini secara fundamental mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi asuransi sosial. Hak sosial rakyat diubah menjadi kewajiban rakyat.
Belum cukup mengubah semua itu, muncullah UU Kesehatan yang baru untuk menciptakan kemandirian dan mendorong perkembangan industri kesehatan. Melalui UU ini, pemerintah bermaksud mendorong agar rakyatnya tidak bergantung kepada pemerintah dan berusaha sendiri memperoleh layanan kesehatan. Secara tidak langsung, sejak awal negara memang ingin berlepas diri dari perannya mengurus pelayanan kesehatan dengan menyerahkannya pada mekanisme pasar.
Tidak heran jika UU Kesehatan kemudian meniadakan pengaturan lokasi anggaran 5% dalam aspek kesehatan. Bukankah itu sebuah kemunduran dari upaya meningkatkan layanan kesehatan? Padahal, selama ini banyak pelayanan dasar dan fasilitas kesehatan daerah bergantung pada anggaran tersebut.
Bayangkan jika alokasi pembayaran insentif tenaga kesehatan, penyediaan obat, pemberian makanan bergizi untuk mencegah stunting, pembiayaan bantuan iuran kepesertaan BPJS, hingga program edukasi dihilangkan. Dampak buruknya dapat dilihat dari RSUD Scholoo Keyen, Sorong Selatan, Papua Barat Daya yang nyaris lumpuh karena para pekerja kontraknya terlambat digaji, mengalami kelangkaan obat, dan bahan medis.
Saat adanya alokasi pemerataan pelayanan kesehatan saja, Indonesia masih jauh dari harapan, apatah lagi jika ditiadakan. Dapat disimpulkan bahwa penghapusan mandatory spending akan membuat beban pembiayaan kesehatan yang ditanggung masyarakat semakin besar. Ironisnya, tidak hanya pasien, tenaga kesehatan pun akan menjadi buruh industri kesehatan bagi oligarki. Aspek kesehatan pun berubah dari health care menjadi health industry.
Paradigma Islam Mengenai Layanan Kesehatan
Kapitalisme memandang layanan kesehatan hanya sebagai komoditas atau persoalan ekonomi, sehingga untung rugi finansial sebagai dasar pertimbangan kebijakan negara. Tak heran jika devisa menjadi alasan utama negara memberi izin dokter diaspora dan asing untuk berpraktik. UU Kesehatan pun tak lepas dari upaya memuluskan ambisi para kapitalis, baik dalam negeri maupun luar negeri. Apalagi melihat potensi pasar di Indonesia yang sangat besar dan keuntungan di bidang ini sangat menggiurkan. Sebaliknya, politik kesehatan Islam memandang bahwa pengurusan kesehatan harus berkarakter penyejahteraan dan disterilkan dari aspek bisnis. Artinya, negara tidak boleh mengeksploitasi dan menempatkan warga negara sebagai “pasar” untuk barang dan jasa kesehatan.
Syariat Islam telah melarang umat Islam untuk menjalin kerja sama dengan kafir harbi fi’lan, termasuk urusan pelayanan kesehatan. Apalagi sampai mau diintervensi dan bergantung pada mereka. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Mumtahanah ayat 9, artinya,
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang zalim.”
Bekerja dan mencari nafkah hukumnya wajib. Namun, Khilafah juga wajib menyiapkan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya. Jangan sampai rakyat sendiri banyak yang menganggur karena kesulitan mengakses lapangan pekerjaan karena dibebaskan bersaing dengan warga negara lain. Hal ini jelas menyimpang dari ajaran Islam. Sebab, seorang khalifah merupakan pengurus urusan rakyat. Khalifah ibarat perisai karena memiliki otoritas, kemampuan, dan kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan dan mengalokasikan dana yang prorakyat. Sehingga, peran negara sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya, baik secara promotif, preventif, terlebih secara kuratif.
Kesehatan adalah kebutuhan dasar manusia dan setiap diri wajib menjaga kesehatannya. Sedangkan negara bertanggung jawab sepenuhnya dalam penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai, mulai dari pendidikan kedokteran, penyediaan dokter spesialis, dan tenaga medis yang profesional, serta membentuk badan-badan riset untuk mengidentifikasi berbagai macam penyakit beserta penangkalnya.
Paradigma ini bukan sekadar konsep. Meskipun belum terstruktur, Nabi Muhammad selaku kepala negara telah menyediakan layanan kesehatan kepada Kabilah ‘Urainah yang jatuh sakit. Mereka pun tinggal di penggembalaan unta zakat di dekat Quba dan diperbolehkan minum air susu unta tersebut secara gratis hingga sembuh. Konsep kesehatan gratis tersebut kemudian diteruskan oleh para khalifah setelahnya.
Pada abad pertengahan, rumah sakit di Suriah, Mesir, Baghdad, dan Kairo telah memiliki desain eksterior dan interior yang mirip dengan istana bangsawan. Rumah sakitnya mampu menampung 8.000 bed, tanpa memandang ras, warna kulit, maupun agama. Semuanya gratis, mulai dari pelayanan medis, berbagai menu makanan sehat, dan pakaian bersih. Meskipun gratis, dokter dan tenaga medis tetap memperoleh gaji. Pada abad ke-11, seorang dokter di Baghdad, bernama Muhadzab Al-Din Ibn Al-Naqqasy mempunyai gaji sebesar 15 dinar (1 dinar setara dengan 4,25 gram emas).
Semua ini membuktikan bahwa layanan dan jaminan kesehatan yang baik hanya bisa diwujudkan dari sistem pemerintahan yang tegak di atas paradigma dan aturan yang terbaik. Layanan kesehatan berdasarkan akidah dan syariat Islam tersebut hanya bisa diterapkan dalam institusi Khilafah. Wallahu a’lam bishawab.
Banyak anak negeri yang bisa diberdayakan dengan baik untuk menjadi dokter.. namun sayang, pendidikan kedokteran ini biayanya tidak murah... alias mihiiilll...
Negeri dalam sistem kapitalis hanya mengambil jalan pintas. Solusi yang ditawarkan hanya tambal sulam tak karuan. Berbeda dengan sistem Islam yang memiliki solusi secara komprehensif. Maka sudah saatnya menerapkan sistem Islam secara menyeluruh (kaffah .
Paradigma kapitalisme inilah penyebab berbagai bentuk layanan masyarakat akan dilihat untung rugi. Rakyat dilayani dan diurus tidak akan pernah didapatkan di negara kapital. Hanya Islam yang mampu memberikan kesejahteraan pada rakyatnya.
Saat negara kekurangan bahan pangan, negara tanpa pikir panjang langsung impor pangan, impor beras, jmpor jagung, impor ini, itu. Semuanya bergantung pada impor. Saat sistem pendidikan rendah, mau impor dosen, impor rektor
Jika Islam yang diterapkan, semua akan berdaya guna termasuk SDM. Dokter yang ada difasilitasi lebih baik, semata untuk kemaslahatan umat. Negara ini terbelenggu Kapitalisme, sehingga tak punya wibawa di hadapan para kapitalis. Sudah saatnya Islam yang memimpin dunia.
Karut-marutnya permasalahan kesehatan terjadi karena liberalisasi sektor kesehatan yang telah lama terjadi di negeri ini. Hal ini tak lepas dari diterapkannya kapitalisme sebagai sistem hidup. Maka tak heran jika kebijakan negara justru semakin menyengrasaran rakyat, termaauk soal impor dokter.
Kalau ngobrolin soal pengangguran, banyak, banyaaaak sekali. Lulusan kedokteran. Lulusan pendidikan apalagi.
Eh, dokter-dokter luar malah lenggang kangkung ke Indonesia. Tambah banyak pengangguran.
Umat harus segera berbenah!
Terapkan sistem Islam!
Layanan kesehatan Bakan sempurna dengan adanya peran negara. Sistem pemerintahan dalam Islam negara wajib memberikan layanan kesehatan dengan baik dan diselenggarakan secara gratis tanpa birokrasi yang berbelit dan bikin rumit
Sejak awal kehadiran RUU Kesehatan telah menimbulkan kontroversi
Benar sekali. Semua tidak lepas dari peran negara.
Semua serba impor. Padahal, Indonesia mampu kalau mau mengupayakan.
Liberalisasi kesehatan semakin tampak nyata hari ini. Bahkan UU kesehatan yg jelas telah ditolak oleh para praktisi kesehatan dan elemen masyarakat karena dianggap merugikan. Tetap tak dianggap oleh pemerintah. Sehingga muncul pertanyaan, tugas negara ini sebenarnya apa? Melindungi rakyatkah? atau memeras rakyat. Terlihat sekali negara telah lepas tangan akan kesehatan rakyatnya. So, hanya kembali kepada aturan Islam secara kaffah. Jamainan kesshatan benar2 didapatkan secara gratis pula.
Tolak impor dokter,