"Persoalan TPPO sejatinya masalah yang kompleks, sehingga membutuhkan langkah penyelesaian yang sistematik. Sudah waktunya negara membenahi tata nilai kehidupan yang rusak ini akibat jauh meninggalkan agama sebagai pedoman hidup dan bernegara."
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Perdagangan manusia (human trafficking) dalam bentuk perbudakan modern terus meningkat. Publik pun pesimis terhadap upaya pemerintah dalam mencegah dan memberantas aksi TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang). Pasalnya, human trafficker justru berkembang cepat membentuk sindikasi lintas batas negara dengan cara canggih dan sulit diberantas.
Dalam rentang waktu antara 5 Juni hingga 10 Juli 2023, Satuan Tugas (Satgas) TPPO Polri telah menangkap 749 tersangka perdagangan orang, dan sebanyak 2.027 korban berhasil diselamatkan. Terdapat 455 kasus yang terjebak iming-iming sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) dan pekerja rumah tangga (PRT). Kemudian, sebanyak 188 kasus dengan modus sebagai pekerja seks komersial (PSK) dan eksploitasi anak sebanyak 45 kasus (news.detik.com, 11/7/2023).
Kemungkinan besar angka tersebut hanya puncak gunung es karena masih banyak kasus TPPO yang belum terungkap. Meskipun negara telah berupaya mencegah munculnya human trafficking dengan menerbitkan Perpres No.69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO, namun mengapa kasus ini tidak berujung tuntas?
Penyebab Kasus TPPO
Human trafficking dalam bentuk eksploitasi nonseksual biasanya berbentuk kerja paksa di lahan pertanian atau pertambangan, perdagangan orang, dan penjualan organ. Sedangkan eksploitasi seksual biasanya berbentuk pelacuran dan kawin paksa. Tak jarang, korbannya mengaku dipaksa dengan kekerasan oleh muncikari. Tentu saja ada penyebab yang membuat fenomena TPPO kian menjamur di negeri ini. Jika dianalisis, berikut beberapa faktor pemicunya:
Pertama, faktor ekonomi. Tingginya angka kemiskinan akibat pengangguran dan PHK membuka celah lebar terjadinya TPPO. Masyarakat yang diimpit masalah ekonomi jelas akan tergiur dengan tawaran pekerjaan di luar negeri. Kemiskinan dan konsep berpikir yang salah terkadang memaksa banyak keluarga merencanakan strategi penopang ekonomi, termasuk menjual diri dan anak-anak mereka karena jeratan utang.
Kedua, rendahnya pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan membuat banyak masyarakat tidak mampu mengenyam sekolah. Alhasil, kurangnya pengetahuan terkait dunia ketenagakerjaan dan dunia usaha sering membuat para korban tidak peka dengan modus kejahatan yang berbalut madu tersebut. Padahal, pengetahuan dan kemampuan membaca dokumen administrasi akan meminimalisasi penipuan dan kecurangan.
Ketiga, definisi kejahatan yang tidak jelas. Dalam hukum sekularisme, perzinaan tidak dianggap sebagai kejahatan jika pelakunya rida. Tak jarang, perzinaan dijadikan lahan bisnis dan masuk dalam sindikat TPPO. Korban yang ingin melapor tidak memiliki keberanian jika belum memiliki bukti yang kuat di mata hukum. Alhasil, sulit untuk mengungkap kasus TPPO karena tidak ada kejelasan antara yang hak dan batil, bahkan hukum sering mencampurkan keduanya.
Hukum sekuler dengan dalih HAM tidak memberikan efek jera bagi pelaku zina karena alasan suka sama suka. Hal ini justru menjerumuskan perempuan sebagai objek permainan laki-laki, sehingga menyuburkan angka kriminalitas dan perbudakan.
Keempat, menjamurnya muamalah batil. Konsep kapitalisme yang berusaha menjadikan modal sekecil-kecilnya untuk meraih keuntungan besar membuat upah karyawan dihitung sebagai biaya produksi. Hal ini menyebabkan biaya upah menjadi bahaya variabel yang senantiasa ditekan serendah mungkin. Akhirnya, para pekerja dipaksa dan dizalimi untuk memenuhi hasrat para kapitalis. Akad-akad muamalah yang batil sering menjadikan para pekerja tidak diperlakukan layaknya manusia. Manusia dirobotisasi dan diperbudak mengikuti syahwat para kapitalis.
Kelima, melibatkan oknum pejabat. Menilik kasusnya pun sering kali melibatkan oknum pejabat dan aparat keamanan. Perdagangan manusia bukan sekadar persoalan jual beli, mulai dari tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, penerimaan, dan pemalsuan dokumen, jelas memperoleh persetujuan dari oknum yang memegang kendali transaksi antarnegara. Hal ini dibenarkan oleh Menko Polhukam Mahfud MD bahwa TPPO terkadang melibatkan jaringan yang ada di pemerintahan dan swasta (nasional.kompas.com, 6/4/2023). Tampaknya, keuntungan besar membuat mereka makin serakah dalam memanipulasi modus kejahatan.
Keenam, lemahnya hukum dan pengawasan negara. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum di Indonesia bersifat "Tumpul ke atas namun runcing ke bawah". Tidak ada spirit pejabat negara untuk menegakkan keadilan. Terkadang hukum sengaja dibuat untuk memuluskan kepentingan pejabat dan tumpul membasmi berbagai bentuk kejahatan. Adanya diskriminasi dan perbedaan perlakuan hukum antara mereka yang kaya dan berkuasa dengan masyarakat miskin. Sifat hukum seperti ini jelas akan memberi karpet merah bagi sindikat TPPO yang berpenghasilan besar.
Akar Masalah
Faktanya, TPPO tidak dapat dituntaskan hanya dengan menajamkan kerja sama pengawasan ataupun meningkatkan penguatan hukum. Persoalan mendasar adalah penerapan demokrasi kapitalisme yang membuat negara perlahan namun pasti mengabaikan perannya sebagai pengurus urusan rakyat. Kegagalan politik, ekonomi, dan hukum menjadi bukti betapa bobroknya penerapan sistem saat ini.
Jangankan urusan keselamatan jiwa, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok saja rakyat harus berjuang sendiri. Hingga kini, persoalan pendidikan dan keterampilan yang rendah masih menjadi masalah krusial di negeri ini. Buktinya, para korban mayoritas adalah mereka yang berpendidikan rendah, yakni pekerja lulusan SD dan SMP. Lusuhnya perekonomian tidak hanya memberatkan para ayah, bahkan para ibu dan anak di bawah umur pun dipaksa menyokong perekonomian. Kalau sudah begini, terciptalah rantai kemiskinan dari generasi ke generasi.
Minim dan sulitnya masyarakat mendapatkan pekerjaan di negeri sendiri, tak ayal membuat mereka tergiur tawaran gaji tinggi di negeri asing. Andai saja negara berhasil menyejahterakan rakyatnya, maka tidak perlu para korban repot-repot apalagi sampai tergiur mencari sesuap nasi di luar negeri. Kenyataan pahit lainnya bahwa banyaknya investor asing yang mengelola SDA di negeri ini justru ikut mendatangkan TKA. Negeri ini justru memberi lapangan pekerjaan bagi TKA, sedangkan rakyatnya terpaksa menjadi buruh di negeri orang.
Krisis ekonomi merupakan konsekuensi nyata diterapkannya kapitalisme dalam mengatur SDA dan distribusi kekayaan negara. Melalui UU Minerba dan Omnibus Law, negara adidaya bebas mengeruk SDA negeri ini atas nama investasi. Sejatinya, inilah model penjajahan gaya baru yang membuat jurang kemiskinan menganga lebar di negeri ini. Kemudian, kemiskinan struktural tersebut menjadi penyebab utama meningkatnya aksi TPPO. Semua itu diperparah dengan minimnya iman dan takwa di tubuh masyarakat yang membuat mereka berpikir instan demi meraih keuntungan duniawi.
Tak heran, karena sekularisme memang sengaja menjauhkan moral dengan agama. Sistem ini begitu kejam dan tidak manusiawi karena menjadikan manusia menjadi pemangsa bagi sesamanya demi meraup materi. Sekularisme membuat manusia mengalami degradasi atau dekadensi moral. Belas kasihan dan empati terhadap rakyat miskin pun makin menipis.
Islam Solusi Tuntas TPPO
Persoalan TPPO sejatinya masalah yang kompleks, sehingga membutuhkan langkah penyelesaian yang sistematik. Sudah waktunya negara membenahi tata nilai kehidupan yang rusak ini akibat jauh meninggalkan agama sebagai pedoman hidup dan bernegara. Lantas adakah jalan keluar dari persoalan pelik ini yang mampu menumpas habis human trafficking?
Islam adalah sistem aturan yang berasal dari Sang Pencipta manusia. Sehingga, sistem politik, ekonomi, dan hukumnya sesuai dengan fitrah manusia. Terkait kasus TPPO, Islam memiliki aturan yang bisa mengantisipasi itu semua, di antaranya:
Pertama, jelas mendefinisikan antara halal-haram. Misalnya, dalam urusan muamalah, Islam memiliki tuntunan yang jelas ketika mendefinisikan komoditas apa saja yang boleh atau haram untuk diperjualbelikan. Misalnya, perzinaan dengan kedok PSK yang jelas-jelas haram untuk dijadikan bisnis. Meskipun menghasilkan keuntungan yang besar, hukum Islam tetapi tegas menetapkan bahwa yang haram tetap haram.
Kedua, aturan muamalah yang jelas dan tidak dapat diintervensi. Islam mengharamkan perbudakan manusia. Sehingga aturan upah yang dihitung berdasarkan kemampuan dan kerelaan kedua belah pihak. Rasulullah saw. bersabda,
“Berikanlah upah kepada pekerja, sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam Islam, antara karyawan dan pengusaha terikat akad ijarah yang saling menguntungkan. Pengusaha diuntungkan dengan jasa yang diberikan oleh karyawan, sementara pekerja diuntungkan dengan besaran upah yang diberikan.
Perdagangan dan bisnis dengan asing juga harus menggunakan standar Islam. Bagi pihak asing yang tidak menerima aturan Islam maka kerja sama harus dibatalkan. Pengaturan muamalah yang jelas membuat potensi TPPO akan mudah diendus dan diberantas secara cepat dan tegas.
Ketiga, kebutuhan dasar publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan menjadi tanggung jawab mutlak Khilafah. Konsep ini akan menjamin besaran upah akan layak dan makruf karena rakyat hanya menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, dan papan.
Keempat, memiliki sistem ekonomi yang kuat karena memiliki aturan hak kepemilikan yang jelas. Konsep kepemilikan dan jual beli dalam Islam memiliki aturan dan standar yang jelas antara mana yang bisa dimiliki individu, umum, dan negara.
Pengelolaan SDA secara mandiri akan menyerap tenaga kerja, sehingga mereka tidak lagi tergiur mencari pekerjaan di luar negeri. Konsep ini juga akan memberikan pemasukan yang besar untuk APBN, sehingga negara dengan mudah memberikan pendidikan yang berkualitas bagi rakyatnya. Pendidikan diberikan secara gratis dengan meng-up grade kurikulum di perguruan tinggi agar wawasan dan keahlian rakyat meningkat. Tidak ada alasan untuk merekrut TKA, di saat warganya sendiri kesulitan mendapat pekerjaan.
Kelima, perempuan dan anak-anak tidak wajib bekerja mencari nafkah. Allah Swt. berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 233 yang artinya,
“Kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.”
Dengan begitu, kasus TPPO yang biasanya memangsa kaum perempuan dan anak-anak bisa diminimalisasi.
Sebenarnya, sulitnya memberantas kasus TPPO tidak bisa dipisahkan dari lemahnya aturan hukum yang tidak mampu membuat pelaku jera. Oleh karena itu, penerapan sistem Islam secara sempurna dapat meminimalisasi TPPO karena hukum yang diterapkan dapat memberi efek jera bagi para pelaku yang terbukti melanggar syariat Islam.
Khatimah
Kasus TPPO dengan berbagai macam modus akan terus terjadi karena watak kapitalisme selalu memangsa apa pun yang menjadi komoditas bisnis. Selama kapitalisme eksis maka dehumanisasi dan eksploitasi manusia masih dan akan terus menghantui negeri ini. Kasus ini akan terus berulang karena negara gagal menuntaskan masalah kemiskinan. Rakyat miskin akan terus menjadi santapan lezat sindikat TPPO. Pemberantasan TPPO butuh sistem Islam (Khilafah) yang memosisikan penguasa sebagai pengurus dan penanggung jawab untuk menyejahterakan dan melindungi setiap rakyatnya. Wallahualam a’lam bishawab.[]
analisa yang bagus..
Permasalahan sistemik, butuh penyelesaian sistemik juga. Seperti lingkaran setan atau lingkaran kejahatan harus diputus secara total. Sistem yang rusak banyak merusak, harus segera diganti dengan sistem yang sahih. Menjamin kesejahteraan dan keamanan. Untuk mewujudkannya, butuh perjuangan ekstra dengan dorongan akidah.
Ya, begitulah mirisnya hidup di negeri yang atur oleh sistem kapitalisme. Rakyat itu seperti makan buah simalakama, di negeri sendiri sulit mendapat lapangan pekerjaan, sementara jika ke luar negeri maka rawan terjadinya TPPO. Solusi pragmatis pemerintah pun tidak akan menyelesaikan masalah, karena sumber masalah utamanya tidak dituntaskan. Hanya dengan kembali pada Islam permasalahan TPPO akan tuntas.
Ya Allah, ngeri banget. Di sistem kapitalisme, rasa aman sulit di dapat masyarakat. Selama sistem Islam belum ditegakkan, rasa khawatir akan terus ada. Lindungi kami semua ya Allah.