"Selama Indonesia masih berpijak pada kapitalisme sekuler, maka kebijakan pemerintah hanya akan menguntungkan oligarki. Kesejahteraan hanya menjadi milik segelintir orang rakus dengan merampas hak-hak publik di bawah legitimasi hukum."
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Di tengah iklim kapitalisme, harapan pemerintah menyukseskan program hilirisasi untuk kemandirian bangsa mengalami kendala. Program hilirisasi yang bertujuan untuk menambah devisa negara ternyata dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk melakukan kecurangan demi meraih keuntungan pribadi. Badan pengawas yang diamanahkan untuk mencegah ekspor ilegal, seperti Bakamla, Bea Cukai, Pol Air, dan KSOP (Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan), justru menjadi lahan basah terjadinya aksi suap-menyuap.
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mendeteksi bahwa sepanjang 2020 hingga Juni 2022, telah terjadi ekspor ilegal sebesar 5,3 juta ton bijih nikel (nikel ore) ke Cina. Hal ini membuat negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp575 miliar.
Menanggapi kasus tersebut, Nirwala Dwi Heryanto selaku Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai mengaku bahwa pihaknya telah berhasil mengantongi bill of leading yang telah dikonfirmasi oleh Bea Cukai Cina. Hasilnya, terdeteksi sebanyak 85 pelaku ekspor ilegal tersebut. (CNBC Indonesia, 28/6/2023)
Padahal, sebagai salah satu langkah hilirisasi sektor pertambangan, pemerintah telah melarang ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020. Artinya, aktivitas ekspor selama dua setengah tahun tersebut ilegal karena telah melanggar hukum.
Lantas, benarkah kebijakan hilirisasi tersebut untuk memajukan ekonomi bangsa dan kesejahteraan rakyat? Mengapa pelanggaran hukum terus berulang dalam sistem demokrasi? Bagaimana strategi Islam mewujudkan ekonomi yang mandiri?
Kebijakan Hilirisasi Menguntungkan Kapitalis
Pada tahun 2022, Indonesia menjadi negara penghasil nikel tersebar dunia dengan estimasi produksi sebesar 1,6 juta metrik ton. Akan tetapi, fakta ini tak dapat menyejahterakan rakyat Indonesia. Sebab, kebijakan pemerintah justru menguntungkan pihak Cina sebagai negara pengelola dengan saham terbesar sekaligus sebagai pengimpor utama atas nikel Indonesia. Di mana kurang lebih 95% bijih nikel tersebut dikelola oleh perusahaan smelter Cina dengan pembebasan pajak selama 25 tahun.
Sejak tren penggunaan kendaraan listrik meningkat, pemerintah pun mengeluarkan kebijakan hilirisasi, seperti pelarangan ekspor bijih nikel untuk meningkatkan nilai tambah nikel di dalam negeri. Faktanya, kebijakan ini sebenarnya dipesan dan didukung oleh kapitalis asing.
Diketahui bahwa 80% bahan baku baterai untuk kendaraan bertenaga listrik adalah nikel. Sedangkan sisanya membutuhkan fabrikasi lain, seperti litium hidroksida sebanyak 70.000 ton per tahun yang harus diimpor dari Cina dan Australia. Kemudian, mangan sulfit dan belerang sulfit, masing-masing sebesar 12.000 ton per tahun dan masih diimpor dari Cina dan Brasil.
Untuk menciptakan transportasi ramah lingkungan, Presiden Jokowi memerintahkan kepada seluruh kementerian, lembaga, dan pemda untuk menggunakan mobil listrik sebagai kendaraan dinas (tercantum dalam Inpres 7/2022).
Sekilas kebijakan ini terlihat baik karena bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dengan mengurangi bahan bakar fosil di bagian transportasi. Namun, penggunaan mobil listrik yang harapannya dapat memangkas impor BBM, justru di hulu (pembangkit listrik) masih didominasi batubara dan BBM. Ending-nya tetap akan meningkatkan emisi karbon karena terjadi peningkatan pemakaian listrik. Mengurangi beban di hilir, namun meningkatkan beban di hulu.
Terkait pengadaan mobil listrik disinyalir akan dipenuhi impor karena Indonesia hanya memiliki dua pabrik milik perusahaan asing, yakni Wuling dan Hyundai. Belum lagi baterainya masih menggunakan baterai impor dengan insentif bea masuk 0%. Walhasil, Indonesia hanya menjadi pasar bagi produk korporasi asing.
Harus dipahami bersama, ambisi negara Komunis Cina sebenarnya sama seperti ambisi negara Kapitalis Barat. Cina akan terus melakukan ekspansi selanjutnya eksploitasi terhadap sumber daya dan infrastruktur yang dibangun dengan dalih investasi. Bagaimana Indonesia mau maju jika pengelolaan nikel dan pembangunan industri baterai untuk mobil listriknya saja masih bergantung sama perusahaan asing dan impor?
Pelanggaran Hukum Sistematis
Pasal 33 UUD 1945 ayat 3 menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Kenyataannya, UU tersebut dilanggar secara sistematis melalui UU Minerba No.4/2009. UU tersebut justru sangat friendly terhadap investor asing. Alhasil, investor meraup untung besar dan kemakmuran rakyat terabaikan.
Saat yang sama, demokrasi menjadi lahan subur bagi para koruptor. Lihat saja, pihak yang seharusnya bertugas mencegah terjadinya ekspor ilegal, justru terdeteksi melakukan pelanggaran hukum. Tak jarang, KPK yang bertanggung jawab memberantas koruptor pun gagal melakukan pengawasan dan membongkar kasus besar yang melibatkan petinggi negara.
Nyali KPK ciut dan melakukan hukum tebang pilih. Padahal, sejak tahun 2021 lalu, Ekonom Senior Universitas Indonesia, Faisal Basri telah mengendus adanya permasalahan ekspor bijih nikel ke Cina, dan menyarankan agar pihak berwenang segera melacak pelaku transaksi gelap tersebut.
Penegakan hukum yang lemah tersebut membuat integritas pejabat tergadaikan. Demi uang, kejujuran dikorbankan dan amanah dikhianati. Terbukti, sistem ini banyak melahirkan koruptor di semua sisi, dari kelas teri hingga kelas kakap.
Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan dan bernegara menjadikan tiap individu tak mampu menahan godaan dunia. Alhasil, tanpa malu, mereka melakukan korupsi berjemaah dan aneka pelanggaran hukum lainnya.
Oleh karena itu, selama Indonesia masih berpijak pada kapitalisme sekuler, maka kebijakan pemerintah hanya akan menguntungkan oligarki. Kesejahteraan hanya menjadi milik segelintir orang rakus dengan merampas hak-hak publik di bawah legitimasi hukum.
Meningkatkan Ekonomi Negara Berdasarkan Prinsip Islam
Liberalisasi pengelolaan sumber daya alam, termasuk nikel tidak akan menguntungkan negara, apalagi rakyat. Negara hanya mendapatkan sebagian kecil dari keuntungan, seperti keuntungan berupa pajak dan royalti. Paradigma pengelolaan SDA seperti ini harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya.
Nabi saw. bersabda, “Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)
Dalam Islam, kekayaan milik umum yang tidak bisa dimanfaatkan secara langsung karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, dan biaya besar, seperti halnya nikel akan dikelola sepenuhnya oleh negara. Kemudian, hasilnya dimasukkan ke kas negara. Khilafah (negara) berwenang mendistribusikan pendapatan hasil tambang sesuai dengan ijtihadnya demi kemaslahatan umat.
Dalam mengelola kepemilikan tersebut, negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat demi mencari keuntungan karena harga jualnya sebatas mengembalikan harga produksi. Jika di wilayah Khilafah mengalami kelebihan, negara boleh menjualnya ke luar negeri (ekspor) demi mencari keuntungan semaksimal mungkin. Hasil penjualan digunakan untuk keperluan dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta kepemilikan umum, baik segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, produksi, pemasaran, dan distribusi.
Dalam Islam, hukum boleh dan haramnya melakukan hubungan perdagangan luar negeri, acuannya berdasarkan sikap negara tersebut kepada Islam. Jika negara tersebut menampakkan permusuhan secara nyata pada umat Islam, maka tidak boleh menjalin kerja sama apa pun. Sebab, hubungan kerja sama apa pun yang dijalin tidak akan memberi manfaat kepada negara, termasuk hubungan perdagangan. Faktanya, dapat dilihat pada hari ini, bagaimana negara-negara yang memperlihatkan permusuhannya kepada Islam hanya menggunakan kerja sama perdagangan sebagai alat penjajahan.
Untuk aturan ekspor komoditas ke luar wilayah Khilafah, umat Islam maupun kafir zimi dilarang menjual persenjataan, sistem komunikasi, alat-alat berat, dan komoditas strategis lainnya kepada negara, perusahaan, dan individu di luar negara Khilafah. Semua ini dilakukan untuk melindungi Khilafah karena komoditas tersebut berpotensi digunakan untuk memerangi Islam.
Umat Islam dan kafir zimi boleh menjual barang-barang yang tidak strategis, seperti pakaian, suvenir, dan lain-lain. Barang-barang tersebut dapat diekspor dengan syarat jika ketersediaannya telah mencukupi kebutuhan dalam Khilafah. Jika ketersediaannya sedikit dan dapat membahayakan ketahanan pangan Khilafah, maka dilarang untuk mengekspornya.
Adapun untuk kebijakan impor, Khilafah mengizinkan umat Islam dan kafir zimi untuk mengimpor dari kafir muahad saja. Sedangkan untuk kafir harbi hukman, tidak boleh masuk ke wilayah Khilafah, kecuali ada izin masuk atau visa dari negara. Jika mereka masuk tanpa visa, maka mereka akan diperlakukan sama dengan kafir harbi fi’lan, yakni harta dan jiwa mereka tidak mendapat perlindungan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa negara bertugas sebagai pengawas dan penegak hukum atas segala transaksi ekonomi yang terjadi. Sehingga, harus ada pengawas yang bertugas untuk memantau lalu lintas wilayah Khilafah. Setiap pejabat negara pun menaati hukum negara atas dasar keimanan, sehingga meminimalisasi muamalah yang melanggar syariat.
Khilafah juga melakukan proteksi stabilitas ekonomi dan politik demi mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia. Sehingga, kebijakan Khilafah sarat akan kesetaraan dan keadilan dalam interaksinya dengan negara kafir. Misalnya, jika negara kafir memberlakukan tarif 20% atas komoditas yang masuk di negaranya, maka Khilafah juga akan memberlakukan tarif yang sama untuk negara tersebut. Kemudian, akan diterapkan emas dan perak sebagai standar baku mata uang. Sehingga, neraca perdagangan Khilafah tidak mengalami defisit akibat selisih nilai tukar mata uang asing.
Oleh karena itu, penerapan aturan Islam akan mewujudkan kedaulatan ekonomi negara yang sebenarnya. Tidak seperti demokrasi kapitalisme yang justru membuat negara mudah diintervensi oleh kepentingan kapitalis dan oligarki.
Khatimah
Adanya ekspor ilegal dalam kurun waktu yang lumayan lama merupakan konsekuensi logis dari penerapan demokrasi kapitalisme. Meski jelas-jelas merugikan negara dan rakyat, tetap saja sistem ini masih terus diadopsi negara. Padahal, mengambil kebijakan pengelolaan SDA dan mekanisme perdagangan luar negeri menurut hukum syarak adalah bentuk ketaatan negara atas perintah Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, menentang semua ketentuan-ketentuan tersebut adalah bentuk pelanggaran hukum syarak dan merupakan perbuatan dosa yang membawa kemurkaan-Nya.
Sebagaimana Allah Swt. berfirman, “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (TQS. Taha: 124)
Wallahu a’lam bishawab.[]
Kapitalisme memang error bin failed
Miris ya negeriku ini. Jadi negara kaya SDA, tapi miskin kedaulatan. Aneh memang, UU dibuat justru untuk dilanggar oleh mereka sendiri. Logikanya ya, tidak mungkin perusahaan2 nikel bisa bebas mengekspor tanpa kongkalikong dengan pejabat terkait. Sudah selayaknya SDA itu dikelola dengan cara Islam agar hasilnya kembali kepada seluruh rakyat dan bangsa ini.
Miris sekali. Kekayaan alam yang seharusnya dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat justru hanya menguntungkan para kapitalis.
Hanya pengelolaan berdasarkan aturan Islam lah, maka kekayaan alam bisa mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat dan negara. Maka menerapkan sistem Islam merupakan kebutuhan penting, untuk menggantikan sistem kapitalis yang terbukti merugikan dan menyengsarakan.
"negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat demi mencari keuntungan karena harga jualnya sebatas mengembalikan harga produksi."
Mindset ekonomi Islam memang bukan cari untung ya, tapi pemenuhan kebutuhan umat