"Sistem zonasi juga tidak menutup celah terjadinya kapitalisasi pendidikan. Wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tak bisa membendung praktik meraup materi di setiap ajaran baru. Dari mulai uang pangkal, SPP, seragam, buku, praktikum atau lainnya. Padahal sejatinya kewajiban belajar ini menjadi tanggung jawab negara agar proses belajar dan mengajar berjalan nyaman dan lancar. Para siawa nyaman menuntut ilmu tanpa dibebani biaya dan minimnya fasilitas."
Oleh. Uqie Nai
(Member AMK4 dan Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pekan ini tahun ajaran baru telah dimulai. Dalam beberapa hari ke depan, para siswa/i baru pun dihadapkan dengan kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Meski untuk mencapai ke tahap ini tidak semudah yang diharapkan, terutama pasca diberlakukannya sistem zonasi. Persoalan demi persoalam terus saja muncul. Ada yang keterima, ada pula yang tidak, padahal jarak tempat tinggal dengan sekolah terbilang dekat. Fakta lainnya adalah ada sekolah yang mendapat murid sesuai kuota, ada juga yang hanya mendapat satu siswa saja.
Sebut saja misalnya di SDN 197 Sriwedari, Surakarta, Jawa Tengah, yang hanya mempunyai satu murid baru hasil PPDB secara daring. Kepala SDN 197 Sriwedari Surakarta, Bambang Suryo Riyadi, mengatakan bahwa sejak diterapkan sistem zonasi memang dari tahun ke tahun jumlah siswa baru cenderung menurun. Apalagi, SDN Sriwedari No 197 letaknya tidak berada di tengah perkampungan, melainkan perkantoran dan hotel. (Tirto.id, Jumat, 8/7/2022)
Pendidikan Berkeadilan ala Kapitalisme Hanya Berbuntut Kekecewaan
Walaupun setiap tahunnya PPDB di berbagai wilayah Indonesia berbuntut kekisruhan, nyatanya pemerintah dalam hal ini Mendikbudristek, tak berupaya menghapus sistem zonasi. Bahkan menurut Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek, Jumeri, kebijakan zonasi dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) merupakan salah satu upaya meningkatkan akses layanan pendidikan yang berkeadilan.
Dengan merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 1 Tahun 2021, tahun ini pun PPDB dilakukan melalui empat jalur yaitu zonasi, afirmasi, perpindahan orang tua, dan jalur prestasi baik di jenjang SD, SMP, atau SMA.
Di jenjang SD, sebanyak 70% dari daya tampung sekolah digunakan untuk zonasi, 15% untuk afirmasi, dan 5% pada jalur perpindahan orang tua. Sedangkan untuk SMP dan SMA, jalur zonasi diberikan kuota sebesar 50%, afirmasi 15%, serta jalur perpindahan orang tua maksimal 5%. (Gatra.com, 20/6/2022)
Sistem zonasi dianggap pemerintah sebagai sistem yang "berkeadilan" karena siapa pun yang akan menjadi peserta didik bisa mendaftar ke sekolah terdekat tanpa melihat latar belakang kemampuan, perbedaan status sosial atau ekonomi. Negara ingin memastikan bahwa setiap anak harus memperoleh pendidikan tanpa ada diskriminasi, hak eksklusif, atau kompetisi yang berlebihan untuk mendapatkan layanan dari pemerintah. Sehingga ke depannya tidak ada lagi anak putus sekolah akibat tak punya biaya atau tidak mendapat sekolah di dalam zonanya.
Yang dimaksud "berkeadilan" di sini tentu masih memerlukan pendalaman dari berbagai aspek. Adil seperti apa dan siapa yang bisa memastikan anak tidak putus sekolah, sementara sarana dan prasarana, infrastruktur, guru yang berkualitas, bahan ajar, dan lain-lain masih belum merata di berbagai wilayah, terutama sekolah yang berada di pelosok terpencil.
Sejauh ini sistem zonasi dianggap sebagai solusi agar masyarakat menganggap bahwa semua sekolah memiliki mutu dan kualitas yang baik, sehingga tidak ada lagi istilah sekolah favorit dan nonfavorit, unggulan atau biasa karena berdampak terjadinya kesenjangan sosial dan ketidakadilan mendapatkan pendidikan berkualitas. Namun, tak bisa dimungkiri akibat adanya sistem zonasi banyak peserta didik yang tidak dapat bersekolah di sekolah yang ia inginkan atau sekolah yang dianggap memiliki kualitas yang baik. Di wilayah terpencil contohnya, dimana terdapat anak didik yang memiliki prestasi namun karena sistem zonasi yang diterapkan, maka ia akan mengubur mimpinya melanjutkan pendidikan yang lebih baik, yang itu hanya terdapat di perkotaan.
Masalah lain yang disebabkan sistem zonasi adalah ketidakmerataan jumlah siswa di setiap sekolah. Ada sekolah yang muridnya melampaui kuota, tapi di sisi lain ada yang kekurangan siswa, sehingga mengakibatkan sebagian anak yang tidak lulus di suatu sekolah harus mengalami putus sekolah akibat pendaftaran sekolah yang sudah tutup.
Sistem zonasi juga tidak menutup celah terjadinya kapitalisasi pendidikan. Wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tak bisa membendung praktik meraup materi di setiap ajaran baru. Dari mulai uang pangkal, SPP, seragam, buku, praktikum atau lainnya. Padahal sejatinya kewajiban belajar ini menjadi tanggung jawab negara agar proses belajar dan mengajar berjalan nyaman dan lancar. Para siawa nyaman menuntut ilmu tanpa dibebani biaya dan minimnya fasilitas. Sementara para pengajar, mereka bisa fokus memberikan ilmunya tanpa dipusingkan dengan beban hidup di luar sekolah, seperti gaji yang cukup, tunjangan yang memadai, kesehatan gratis, dan perlindungan keamanan yang optimal.
Saat ini, negara atau pemerintah hanya mencukupkan diri membuat kebijakan yang menurut mereka adil, sementara fakta di lapangan hingga tanggung jawab agar masyarakat nyaman menyekolahkan putra-putrinya tak menjadi perhatian negara. Kenyamanan itu bukan cuma jarak sekolah dekat dengan tempat tinggal, tapi bagaimana sekolah itu benar-benar bisa menjadi lembaga pendidikan yang berkualitas dengan outputnya juga berkualitas. Kenyamanan bukan hanya menghapus kesenjangan ekonomi atau status sosial dalam sistem pendidikan, namun bagaimana ketegasan negara menghapus kapitalisasi secara sistematis. Maka, pendidikan berkeadilan tidak mungkin terwujud jika kapitalisme masih dianggap sebagai tolok ukur keberhasilan, sementara sekularisme dijadikan asas (akidah) negara.
Sistem Terbaik Mewujudkan Pendidikan dan Output Terbaik
Islam dengan kesempurnaannya memiliki perhatian lebih terhadap ilmu dan penuntut ilmu. Dengan ilmu, umat Islam bisa mengetahui hukum syariat dalam landasan amalnya baik untuk meraih dunia ataupun akhirat. Allah Swt. bahkan menjanjikan kedudukan yang istimewa bagi orang-orang beriman dan orang yang menuntut ilmu.
يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ ۙ وَا لَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍ ۗ وَا للّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
"…Pasti Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan." (QS. Al-Mujadilah [58]: 11)
Dalam sistem pendidikan, Islam mempunyai konsep dan mekanisme yang unik (khas), yang diatur dengan jelas, sistematis, dan sempurna. Islam tidak membatasi siapa pun yang belajar dengan jenjang dan batasan waktu dengan 3 tahun atau 9 tahun. Apalagi memilahnya dengan sekolah unggulan, favorit atau diklasifikasi berdasarkan zonasi. Di antara ciri khas pembelajaran dalam Islam adalah:
Pertama, kurikulum pendidikan Islam berbasis akidah Islam. Dengan kurikulum ini, negara akan memastikan bahwa seluruh bahan belajar dan metode pengajaran ditetapkan berdasarkan asas tersebut.
Kedua, tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk syakhsiyah (kepribadian) Islam dengan pola pikir dan pola sikap yang islami.
Ketiga, diberikan waktu dan jumlah jam yang cukup untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam, bahasa Arab, dan ilmu lainnya. Keempat, ilmu-ilmu terapan dan sains diajarkan tanpa mengenal peringkat pendidikan, tetapi mengikuti kebutuhan, sedangkan tsaqafah Islam diajarkan pada tingkat sekolah rendah hingga menengah atas dengan kurikulum pendidikan yang tidak bertentangan dengan konsep dan hukum Islam. Sedangkan di tingkat universitas bisa diajarkan secara utuh, baik tsaqafah Islam maupun non-Islam.
Kelima, program pendidikan yang diterapkan adalah sama/seragam. Di sini, tidak ada larangan untuk mendirikan sekolah swasta dengan syarat sekolah-sekolah tersebut mengikuti kurikulum pendidikan negara.
Keenam, negara menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan media belajar-mengajar di samping membangun sekolah dan universitas untuk memberikan kesempatan kepada mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Ketujuh, kebijakan negara bersifat sentralistik. Artinya, program dan mekanisme pembelajaran yang ditetapkan pusat berlaku juga di daerah. Selain itu, dengan pelayanan dan pemerataan infrastruktur yang diberikan negara, dipastikan seluruh masyarakat tidak mengalami kesenjangan sosial atau kesulitan mendapat akses pendidikan yang layak.
Wallahu a'lam bi ash Shawwab.[]
sistem yang semrawut menghasilkan output yang semrawut..