"Sistem kapitalisme memaksa banyak perempuan untuk beranjak dari fitrahnya. Menopang kehidupan di yang serba dalam kesempitan, umumnya soal materi. Kapitalisme ini telah berhasil mengubah kerangka berpikir masyarakat mengenai perempuan. Utamanya perempuan yang bertitel, yang katanya sayang kalau tidak digunakan untuk menghasilkan uang."
Oleh. Syifa Nurjanah
(Kontributor NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Mungkin kita terbiasa mendengar perkataan banyak masyarakat, “Buat apa sekolah tinggi, kalau ujung-ujungnya balik lagi ke sumur, kasur, dapur” , atau “Ngapain banyak gelar kalau engga dipakai”, dan sebagainya yang selalu didengungkan di telinga para perempuan yang mereka memilih untuk kembali kepada tugas mulia, menjadi ummu wa rabbatul bait.
Jika kita menilik lebih jauh, begitu banyak hak-hak perempuan yang dieksploitasi. Bukan hak berpendidikan, bukan pula hak mendapatkan materi. Justru sebaliknya hak perempuan untuk pulang ke rumah dengan tenang, untuk fokus mengurusi rumah dan keluarga. Mendidik anak-anak dan mengawasi mereka, memenuhi hati anak-anak dengan kecintaan kepada Rabbnya. Hak itulah yang hilang dari perempuan di era kapitalisme sekarang.
Sistem kapitalisme memaksa banyak perempuan untuk beranjak dari fitrahnya. Menopang kehidupan yang serba dalam kesempitan, umumnya soal materi. Kapitalisme ini telah berhasil mengubah kerangka berpikir masyarakat mengenai perempuan. Utamanya perempuan yang bertitel, yang katanya sayang kalau tidak digunakan untuk menghasilkan uang.
Kapitalisme pula yang berhasil menyempitkan tujuan pendidikan perempuan mengarah hanya pada bagaimana perempuan dapat menyokong perekonomian dan mirisnya lagi hal ini sudah pasti mendapat dukungan dari para aktivis feminis yang katanya memperjuangkan hak dan kesetaraan perempuan.
Makna Sukses bagi Perempuan
Rasanya terlalu sempit jika kesuksesan bagi perempuan hanya dinilai dari materi yang mampu ia hasilkan. Cara ini memang lekat dan erat dengan sistem hari ini yang membentuknya di tengah-tengah masyarakat. Samanya gaji dengan lelaki, posisi yang ditempati juga melebihi laki-laki, ikut bagian menjadi partisipan dalam meningkatkan jatah duduk di kepegawaian, entah itu swasta atau pun di bangku pemerintahan, yang penting tidak jauh dari cuan.
Kalau kita kembalikan, mengenai hakikat kesuksesan bagi setiap insan, maka yang harus kita jadikan sudut pandang adalah Al Qur’an. Allah berfirma dan Al Qur’an, surat Al-Hujurat 13
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
"Hai manusia, sungguh Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sungguh Allah Mahatahu lagi Maha Mengenal." (QS al-Hujurat [49]: 13)
Takwa, adalah parameter kesuksesan yang Allah sebutkan dalam Al Qur’an. Takwa adalah bagaimana insan taat kepada Allah, menjauhi larangan-Nya disertai ketakutan kepada Allah, berharap selalu mencintai dan dicintai Allah, dan terpenting adalah menggapai rida- Nya. Maka, sukses bagi perempuan adalah menjadi muslimah yang bertakwa, menaati seluruh perintah Allah, mejalankan peran utamanya sebagai ummu wa rabbatul bait, pencetak generasi-generasi rabbani, mujahid dan mujahidah yang berkontribusi dalam perjuangan dalam rangka kebangkitan Islam.
Maka, begitu spesifik dan apiknya Islam dalam memberikan definisi sukses bagi perempuan. Bukan seperti kapitalisme sekarang yang mempersempitnya dengan segala hal yang beraroma banyaknya materi.
Ajaklah Perempuan Pulang ke Fitrah, Jika Ingin Membangkitkan Peradaban
Mungkin kita terbiasa mendengar bagaimana BJ Habibie mengatakan, “Didiklah satu lelaki, maka kamu akan medidik satu orang. Didiklah satu perempuan, maka kamu mendidik satu generasi”. Tersiratkan bagaimana urgensinya perempuan pada sebuah generasi. Penopang arah gerak peradaban yang dimulai dari madrasatul 'ula, yaitu ibu.
Sejatinya ibu haruslah dipersiapkan sejak ia masih gadis bukan saat menjadi ibu, didekatkan dengan bekal ilmu mengenai peranan sejatinya, bukan untuk dijauhkan.
Tahukah kita bagaimana ibunda Muhammad Al Fatih mempersiapkan diri menjadi ibu dari seorang panglima dan pemimpin penakluk konstantinopel. Ia hujamkan begitu banyak ilmu kepada Muhammad Al Fatih, menyemangati Al Fatih sambil menunjukki letak dimana ia mampu menaklukan benteng yang tebal lagi tinggi.
Tahukah kita bagaimana ibunda Shalahuddin Al Ayubi yang mempersiapkan cita-cita tinggi sejak masih gadis, yaitu untuk menjadi ibu dari sang pembebas Al-Aqsa.
Ya, begitu indahnya saat wanita kembali diarahkan kepada fitrahnya kepada sukses sejati. Maka, saat sistem ini sudah mulai ganas menggerogoti pola pemikiran perempuan, maka ajaklah mereka pulang untuk memperjuangkan kebangkitan yang hakiki, yaitu sistem Islam, yang mampu menopang hak perempuan dan memastikan kewajibannya terjalankan dengan sebaik-baiknya.
Ajaklah mereka pulang untuk berkontribusi menjadi bagian dari pencentak generasi pejuang Islam.
Wallahu’alam bi Ash Shawab[]
Photo : Pinterest