"Dengan alasan bahwa semua agama adalah sama, tidak boleh ada yang mengklaim paling benar, toleransi pun menjadi landasan dalam pernikahan beda keyakinan. Inilah buah ide kebebasan (liberalisme) yang digaungkan demokrasi. Alhasil, muncullah individu-individu dengan pemikiran liberal yang seolah boleh memilih antara taat atau maksiat."
Oleh. Irma Faryanti
(Kontributor NarasiPost.Com & Member Akademi Menulis Kreatif)
NarasiPost.Com-Aku untuk kamu
Kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin
Iman kita yang berbeda?
Sepenggal lirik lagu salah seorang penyanyi yang menggambarkan cinta dua pasangan yang tidak bisa bersatu karena beda keyakinan, sepertinya tidak akan lagi menjadi kendala. Pasalnya, saat ini telah ada upaya untuk menyatukan perbedaan tersebut. Pasangan berbeda agama yang sebelumnya dilarang bersatu dalam ikatan pernikahan, bisa melakukannya secara resmi.
Sebagaimana yang terjadi di Surabaya, Pengadilan Negeri (PN) di sana telah mengizinkan pernikahan beda agama. Kontan hal ini menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat, muncul kekhawatiran bahwa putusan tersebut akan menjadi pelegalan atas kejadian serupa di masa yang akan datang. Dari ketetapan tersebut diketahui bahwa hakim memerintahkan pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota Surabaya untuk mencatat perkawinan para register setelah syarat-syarat yang diperlukan terpenuhi. (Sindonews.com Jumat 24 Juni 2022)
Tholabi Kharlie selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta menyatakan ketidaksepakatannya terhadap putusan tersebut. Menurutnya, hal itu bisa menjadi preseden lahirnya putusan yang sama bagi pasangan lainnya. Menurut Tholabi, beberapa waktu terakhir ini tren menikah beda agama cenderung meningkat dan mereka tidak segan tampil di depan umum dan melakukan berbagai cara hingga akhirnya mendapat legitimasi dari instansi terkait. Sudah ratusan bahkan ribuan pernikahan beda keyakinan yang mendapatkan pengesahan, hanya saja tidak terekspos ke publik.
Hal di atas tentu menjadi permasalahan krusial dari sisi norma hukum yang mengatur urusan perkawinan di negeri ini. Ketua Forum Dekan Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) se-Indonesia ini lebih lanjut menyatakan bahwa dualisme keabsahan dan keharusan mencatat perkawinan dalam dokumen negara harus segera diakhiri karena muara permasalahan terletak di sini.
Adapun terkait putusan PN Surabaya sendiri didasarkan pada Pasal 35 dan 36 UU RI No 23 tahun 2006. Mengenai Administrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa pencatatan yang dimaksud pada pasal 34, berlaku juga pada : (a) perkawinan yang ditetapkan pengadilan, (b) perkawinan warga negara asing yang dilakukan di Indonesia sesuai permintaan yang bersangkutan.
Maraknya pernikahan beda agama menjadi bukti ketidakjelasan aturan pernikahan yang ada di Indonesia. Fakta yang terjadi tidak bisa dilepaskan dari sistem yang diterapkan. Kapitalis yang selama ini menjadi pijakan, menjadikan toleransi sebagai solusi.
Dengan alasan bahwa semua agama adalah sama, tidak boleh ada yang mengklaim paling benar, toleransi pun menjadi landasan dalam pernikahan beda keyakinan. Inilah buah ide kebebasan (liberalisme) yang digaungkan demokrasi. Alhasil, muncullah individu-individu dengan pemikiran liberal yang seolah boleh memilih antara taat atau maksiat.
Terlebih lagi, ide moderasi beragama yang selama ini disosialisasikan oleh Kemenag di tengah masyarakat, semakin memperkuat tertanamnya pemikiran tersebut. Padahal sejatinya moderasi adalah proyek pesanan Barat yang ingin menjauhkan umat Islam dari agamanya.
Dakwah Islam kaffah mereka sebut sebagai radikal, sementara perbuatan yang melanggar nilai agama justru mendapatkan apresiasi dan legitimasi. Kapitalisme benar-benar ingin menggiring umat Islam menjadi generasi maksiat yang tidak taat syariat.
Sudut pandang kapitalis terkait nikah beda agama sangat jauh berbeda dengan Islam. Islam menentukan hukumnya dibagi dalam dua pembahasan yaitu pernikahan muslim dengan ahli kitab dan dengan pemeluk agama lainnya.
Imam Ibnu Katsir menuturkan bahwa yang terkategori ahli kitab adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Karena pada keduanyalah Allah menurunkan kitab Injil dan Taurat melalui para Rasul. Pendapat serupa telah menjadi kesepakatan para ulama. Maka, pernikahan seorang muslim dengan ahli kitab hukumnya boleh (QS. Al maidah ayat 5), namun sebaliknya seorang muslim perempuan diharamkan menikah dengan laki-laki ahli kitab (QS. al Mumtahanah : 10).
Kebolehan tersebut bukan berarti harus dilakukan, karena faktanya saat ini sering disalahgunakan untuk memurtadkan umat Islam dan generasinya. Dinikahinya perempuan ahli kitab akan berisiko tinggi terhadap pendidikan anak-anak muslim, karena kualitas generasi akan tergantung pada pola didik seorang ibu. Oleh karenanya, daripada mendatangkan manfaat, pernikahan beda agama lebih cenderung menimbulkan mafsadat.
Sementara itu, pernikahan seorang muslim dengan wanita pemeluk agama lain seperti Hindu, Buddha, Konghucu, Majusi dan yang lainnya, jelas diharamkan dalam Islam. Keharamannya tercantum dalam QS Al-Baqarah ayat 211, yang artinya:
"Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman."
Fakta yang terjadi seharusnya semakin menyadarkan umat Islam, bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dari sistem kapitalisme sekuler yang saat ini diberlakukan. Perlu ada naungan untuk bisa menerapkan Islam secara menyeluruh, sehingga keberkahan akan bisa dirasakan oleh seluruh umat manusia, yakni saat syariat Allah diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam.
Wallahu a'lam Bishawwab[]