SCBD, Ada Bahaya di Balik Eksistensi Remaja

“Padahal, akan sangat berbahaya jika terus difasilitasi dan dibiarkan tanpa bimbingan. Peran agama sangat diperlukan agar umat tahu batasan aktivitas apa yang diperbolehkan. Demikian pula sistem bernegara yang mempunyai kekuasaan penuh dalam mengarahkan media dan budaya apa yang diadopsi dan dieliminasi.”

Oleh. Merli Ummu Khila
(Kontributor NarasiPost.Com dan Pemerhati Kebijakan Publik)

NarasiPost.Com-"Kalau bisa cari duit cara instan, kenapa harus sekolah tahunan? Cape mikir belum tentu lulus dapat kerja." Seandainya ini yang menjadi mindset anak-anak remaja yang eksis di Citayam Fashion Week, mungkinkah visi Indonesia emas 2045 pembangunan manusia serta penguasaan iptek akan terwujud? Mengingat merekalah kelak yang akan menjadi pengganti pemimpin negara.

Siapa yang tidak tertarik, hanya modal konten bisa menghasilkan cuan. Kontennya pun sangat sederhana, tidak memerlukan keahlian, ilmu, dan modal besar. Cukup berlenggak-lenggok di zebra cross dengan outfit nyentrik. Menjadi konten kreator menjadi pilihan di tengah sulitnya mencari pekerjaan. Celakanya, hal ini sebagian besar diminati oleh anak-anak remaja seusia sekolah yang harusnya fokus menuntut ilmu.

Sebagaimana diketahui, Citayam Fashion Week, adalah sebuah kegiatan fashion show anak remaja di kawasan atau dekat pintu masuk Stasiun Sudirman Dukuh Atas Jakarta. Para anak muda ini berasal dari sekitar daerah Citayam, Bojong Gede, dan Bogor. Biasanya mereka adu kebolehan berekspresi dengan cara berbusana dan berlenggak-lenggok bak model di zebra cross kawasan Sudirman Central Business District (SCBD).

Namun tidak sekadar itu saja, banyak fakta-fakta yang menarik untuk menjadi perhatian agar kita tidak sekadar menganggap fenomena ini hanya kreativitas anak muda yang patut diapresiasi. Dari berbagai konten yang viral di media sosial justru lebih banyak aksi-aksi tidak senonoh yang dipertontonkan. Dari cara berpakaian yang terkesan seronok, joget-joget erotis hingga aktivitas pacaran yang diumbar di media. Tentu saja ini sangat berpotensi merusak generasi dan budaya latah yang akut pada generasi muda hari ini hampir tanpa filter.

Keberadaan dua anak muda sebagai ikon Citayam Fashion Week yakni Jeje dan Bonge menjadi representasi kebebasan berekspresi yang hampir kebablasan. Ditambah lagi dukungan media bahkan pemerintah yang menobatkan mereka sebagai duta sampah seolah ikut mengaminkan setiap konten yang mereka produksi. Sungguh sangat disayangkan jika ini terus di- blow up , maka akan muncul CFW yang lain di daerah lainnya. Mereka akan terus memproduksi konten dengan tampilan yang nyentrik dan aksi-aksi yang tidak jauh-jauh dari mengeksploitasi diri.

Seperti dikutip dari ANTARA pada Minggu, 24/7/2022, apresiasi positif bahkan diberikan oleh kepala negara, Pak Jokowi ikut menanggapi kreativitas remaja ini sebagai karya yang harus didukung asal tidak melanggar aturan. Dukungan media dan pemerintah makin membuat aktivitas remaja ini makin eksis. Konten-konten CFW menjadi trending topic di aplikasi Tik Tok. Meskipun bisa dikatakan konten tersebut tidak mengandung nilai pendidikan dan sosial sama sekali.

Remaja saat ini mengalami penyakit latah akut. Mudah sekali ikut-ikutan apa yang sedang viral. Konten-konten CFW menjadi konsumsi jutaan mata anak muda bahkan anak di bawah umur. Ini yang akan menjadi role model mereka selanjutnya, dari cara berpenampilan hingga gaya hidup hedonis. Bahkan, mulai bolos sekolah hingga akhirnya putus sekolah demi bisa ngonten dan mendapatkan uang.

Lalu bagaimana kelak pemimpin masa depan, jika anak mudanya saja tidak peduli pendidikan? Bagi mereka popularitas dan materi adalah tujuan utama. Jangan sampai popularitas yang mereka dapatkan secara instan ini justru hanya sesaat, mengingat persaingan pada industri hiburan sangat tinggi. Seorang pekerja seni harus bersaing dengan ribuan wajah-wajah baru yang lebih fresh dan lebih kreatif. Akhirnya mereka terjebak pada persaingan yang menghalalkan segala cara demi eksistensi.

Lalu apakah fenomena CFW ini sebuah kemajuan bagi anak muda atau sebuah kemunduran peradaban? Jika dipandang dalam perspektif Islam tentu saja ini merupakan kemunduran berpikir. Aksi nongkrong-nongkrong dan berbagai kegiatan justru mengalihkan konsentrasi anak yang saat ini justru baru saja masuk tahun ajaran baru. Harusnya ajang nongkrongnya anak-anak muda ini bisa difasilitasi dengan adu kreativitas sains dan teknologi misalnya yang jauh lebih bermanfaat.

Fenomena ini adalah konsekuensi logis dari sistem bernegara yang bercorak kapitalis sekularisme. Kebebasan berekspresi dijunjung tinggi tanpa memperhatikan dampaknya bagi pengguna media sosial yang menonton aksi-aksi mereka. Kebebasan ini muncul karena dicampakkannya aturan agama dalam kehidupan. Agama sebatas identitas, bahkan banyak sekali remaja yang sekadar niat salat fardu saja lupa. Bagaimana mungkin kita menampik fakta bahwa sesungguhnya Islam semakin ditinggalkan oleh pemeluknya. Padahal, Allah Swt. tegaskan dalam Al-Qur’an yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (TQS. Al-Baqarah: 208)

Fenomena ini hanyalah perkara cabang, permasalahan utamanya bukan pada anak-anak mudanya. Tapi negara memberi ruang atas nama kebebasan berekspresi. Padahal, akan sangat berbahaya jika terus difasilitasi dan dibiarkan tanpa bimbingan. Peran agama sangat diperlukan agar umat tahu batasan aktivitas apa yang diperbolehkan. Demikian pula sistem bernegara yang mempunyai kekuasaan penuh dalam mengarahkan media dan budaya apa yang diadopsi dan dieliminasi.

Walhasil solusi yang tepat bukan hanya meniadakan acara tersebut, tapi menerapkan hukum Allah Swt. sebagai pedoman hidup bagi makhluk-Nya. Keterbatasan akal manusia tidak akan mampu membuat hukum atau undang-undang yang menyelesaikan problematik hidup yang kompleks. Kita telah diberi teladan oleh Rasulullah saw. tidak hanya dalam beribadah tapi juga dalam bernegara. Selain sebagai Nabi, Rasulullah saw. juga sebagai kepala negara dan komandan perang. Kepemimpinannya kemudian diteladani oleh umatnya selama ribuan tahun lamanya dalam sebuah institusi yaitu Khilafah Islamiah.

Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Merli Ummu Khila Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Meneropong Wisata Religi Loang Baloq
Next
Hijrah Menuju Islam Kaffah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram