RUU KIA, Solusi atau Justru Petaka?

"Seharusnya, yang diatasi terlebih dahulu adalah bagaimana menjamin terpenuhinya hak-hak rakyat oleh negara. Jika biaya hidup terjangkau, tingkat pendapatan mecukupi, ditambah fasilitas pendidikan dan kesehatan bisa diakses secara gratis, maka seorang ibu bisa berkonsentrasi membesarkan buah hati tanpa terbebani keharusan mencari nafkah."

Oleh. Hesti Andyra
(Kontributor NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-Pembahasan Rancangan Undang-Undang oleh DPR RI kembali menjadi polemik. Setelah kegaduhan akibat RUU PKS, saat ini perhatian publik tertuju kepada usulan RUU KIA (Kesejahteraan Ibu dan Anak). Yang paling menjadi sorotan adalah poin usulan perubahan cuti melahirkan yang semula tiga bulan menjadi enam bulan. Dikutip dari detik.com, RUU KIA disebut telah disepakati oleh Badan Legislasi (Baleg) dan disetujui 7 fraksi di DPR.

Wakil Ketua Komisi IV DPR, Anggia Erma Rini, menyatakan RUU KIA bertujuan menjamin terpenuhinya hak dan kebutuhan dasar ibu dan anak secara fisik, psikis, sosial, dan spiritual. Penyelenggaraan KIA merupakan upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat guna memenuhi kebutuhan dasar ibu dan anak. (Republika.com)

Sebelumnya, kebijakan mengenai cuti melahirkan sudah diputuskan pemerintah dalam UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 81 ayat 1. RUU KIA menyebabkan ketidakharmonisan dengan peraturan yang ditetapkan lebih dahulu. Apabila ada peraturan baru yang tidak sesuai dengan peraturan sebelumnya, seharusnya ada koreksi atau sinkronisasi. Sementara saat ini, rakyat dibuat bingung dengan dualisme kebijakan yang berseberangan.

Dari sisi pengusaha, kebijakan ini tidak mendapat sambutan hangat. Ditambah dengan perekonomian yang baru bangkit pasca pandemi, pengusaha menganggap implementasi RUU KIA akan memberikan dampak negatif. Dikutip dari CNBC Indonesia, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Provinsi Apindo DKI Jakarta, Nurjaman, menyatakan rencana kebijakan ini bisa menurunkan produktivitas pekerja. Perusahaan berpotensi bongkar muat karyawan baru demi menambal kekosongan yang ada, dan itu pun belum tentu berjalan mulus karena umumnya pegawai baru perlu beradaptasi dengan cara kerja serta lingkungannya.

Kebijakan cuti panjang masa melahirkan sudah dianggap lumrah di beberapa negara maju. Beberapa negara seperti Swedia dan Inggris juga menetapkan cuti untuk suami agar dapat mendampingi istri selama proses laktasi. Swedia memberikan waktu 16 bulan bagi ibu dan dua bulan bagi ayah untuk mengurus anaknya, dengan gaji 80 persen dari gaji normal. Sedangkan Inggris memberikan cuti sebesar 8 bulan dengan gaji 90 persen dari gaji normal. Namun, patut dicatat, tingkat pendapatan perkapita dan tingkat perekonomian kedua negara tersebut sangat tinggi, jauh berbeda jika dibandingkan dengan Indonesia. Swedia adalah negara paling sejahtera di Eropa, dan negara paling bahagia ke-7 menurut laporan World Happinness Report, yang dikeluarkan oleh Sustainable Development Solutions Network untuk PBB. Inggris menempati posisi ke 17 di laporan yang sama, sedangkan Indonesia menempati posisi ke 81.

Dengan laju perekonomian dan pendapatan perkapita yang tinggi, pengusaha tidak terlalu merasakan dampak panjangnya cuti melahirkan terhadap dunia usaha. Lain hasilnya jika diterapkan di negara berkembang dengan tingkat kesejahteraan rendah. Pengusaha bisa dipastikan kewalahan untuk mengatasi biaya operasional gaji selama enam bulan terhadap pekerja yang mengambil cuti hamil serta pekerja pengganti yang mengisi kekosongan posisi tersebut. Ke depannya bisa jadi pengusaha akan lebih mempertimbangkan pekerja pria dalam proses perekrutan karyawan demi menghindari kerepotan keluar masuk-nya pekerja wanita. Peluang mengubah status pekerja ke arah pekerja kontrak pun semakin besar.

Ketua DPR RI, Puan Maharani, mengatakan bahwa RUU KIA bertujuan untuk menciptakan SDM Indonesia yang unggul. Ia menilai RUU KIA menitikberatkan pada masa pertumbuhan emas anak (golden age) yang merupakan periode krusial tumbuh kembang anak. Masa ini sering terkait dengan 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) sebagai penentu masa depan anak. (Kompas.com)

Tidak ada yang salah dengan pernyataan ketua DPR RI di atas. Namun, perpanjangan cuti melahirkan bukanlah solusi jitu untuk mengatasi masalah mencetak generasi masa depan yang berkualitas. Seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya. Baik buruknya karakter anak tergantung pada cara bagaimana sang ibu mendidik. Rasulullah saw bersabda: “Seorang wanita adalah pengurus rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya” (HR Muslim)

Seorang ibu yang terpaksa menjadi pekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga adalah masalah besar yang terjadi akibat sistem kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan semata. Beratnya beban ekonomi, mahalnya biaya hidup, tingginya biaya pendidikan dan kesehatan, adalah sebagian kecil dari ribuan alasan yang mendorong seorang ibu menjadi pekerja. Seharusnya, yang diatasi terlebih dahulu adalah bagaimana menjamin terpenuhinya hak-hak rakyat oleh negara. Jika biaya hidup terjangkau, tingkat pendapatan mecukupi, ditambah fasilitas pendidikan dan kesehatan bisa diakses secara gratis, maka seorang ibu bisa berkonsentrasi membesarkan buah hati tanpa terbebani keharusan mencari nafkah.

Islam sendiri sudah menetapkan syariat di mana nafkah seorang perempuan menjadi tanggungan suami atau walinya. Ratusan abad yang lalu, penerapan syariat Islam oleh Daulah memberi banyak bukti tentang terjaminnya kesejahteraan ibu dan anak. Di masa itulah lahir banyak generasi emas yang memberi sumbangsih ilmu dan berbagai penemuan yang bermanfaat untuk dunia. Syariat Islam sangat memperhatikan kelangsungan tumbuh kembang anak, memperhatikan perawatan dan pendidikan yang pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya di bawah dukungan dan fasilitas terbaik Daulah.

Penerapan sistem kapitalis semakin membuat kehidupan umat jauh dari sejahtera. Berbagai persoalan umat diberi solusi yang tumpang tindih, tambal sulam dan tidak menyentuh akar permasalahan. Hanya Islamlah yang memberi solusi hakiki. Solusi yang berasal dari Sang Pencipta manusia, yang paling tahu dan memahami apa yang dibutuhkan makhluk-Nya.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Hesti Andyra Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Aku Bukanlah Cinderella
Next
Narkoba di Tengah Arus Liberalisme
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram