“Ironi klaim negara demokrasi, namun sayangnya ketika rakyat hendak bersuara, malah dijegal dengan produk hukum pemegang kekuasaan dan kepentingan. Inilah sejatinya sistem demokrasi, tidak akan mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat secara umum.”
Oleh. drh. Lailatus Sa’diyah
(Tim Kontributor Tetap Narasipost.com)
NarasiPost.Com-Pada 2006 silam, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menghapus pasal penghinaan terhadap presiden. Namun, saat ini pasal tersebut dihidupkan kembali melalui Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Ada apa di balik ini semua?
Fakta Kelam Produk Kolonial
Upaya penghapusan pasal penghinaan presiden oleh MK pada tahun 2006 karena MK menilai pasal tersebut inkonstitusional serta bertentangan pula dengan UUD 1945 dan semangat demokrasi. Adanya pasal penghinaan presiden tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Di mana suatu pernyataan, pendapat, maupun pikiran berpotensi ditafsirkan sebagai kritik atau penghinaan.
Perlu diketahui pasal penghinaan presiden ini merupakan produk hukum kolonial Belanda yang juga berpotensi menghambat hak menyatakan pikiran, tulisan, ekspresi, dan sikap masyarakat atas kebijakan yang ada. Kembali mencuatnya pasal tersebut dalam RKUHP dikhawatirkan akan menjerat banyak korban seperti pada masa kolonial di masa lalu.
Di sisi lain, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan soal masuknya pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP berbeda dengan pasal yang telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (nasional.tempo.co, 25/05/2022).
Dalam draf RKUHP tersebut menyebutkan bahwa pelaku penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden bisa dikenai ancaman maksimal 3,5 tahun penjara. Dan jika penghinaan itu dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik, ancamannya diperberat menjadi 4,5 tahun penjara.
Ironi klaim negara demokrasi, namun sayangnya ketika rakyat hendak bersuara, malah dijegal dengan produk hukum pemegang kekuasaan dan kepentingan. Inilah sejatinya sistem demokrasi, tidak akan mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat secara umum.
Kritik Muncul Karena Kinerja Buruk
Karut-marut kehidupan masyarakat kita akhir-akhir ini, tidak lain disebabkan berbagai kebijakan pemerintah yang memang tidak pernah berpihak kepada rakyat. Acuhnya pemerintah kepada kepentingan masyarakat dan cenderung hanya berpihak pada oligarki memicu berbagai kritik pedas oleh rakyat terhadap rezim berkuasa terutama kepada presiden dan wakil presiden selaku pemegang kekuasaan.
Tingginya pengangguran, naiknya berbagai kebutuhan pokok, meningkatnya kasus tindak pidana kriminal, mahalnya biaya pendidikan, penanganan pandemi yang tak kunjung usai serta mahalnya akses pelayanan kesehatan bagi orang tidak mampu menjadi deret panjang kegagalan rezim berkuasa dalam mewujudkan kehidupan bernegara.
Terang saja menjadi fenomena yang mencengangkan. Gagalnya rezim berkuasa dalam menyejahterakan rakyat, kini justru rakyat dibungkam saat ingin menyuarakan kepentingannya dengan pasal karet penghinaan presiden. Bak jatuh tertimpa tangga, inilah realitas kehidupan masyarakat dalam sistem demokrasi saat ini.
RKUHP Sarat Kepentingan
Penerapan sistem kapitalisme oleh rezim berkuasa meniscayakan kebijakan yang lahir adalah untuk kepentingan segelintir orang. Begitu pun lahirnya RKUHP yang notabene produk hukum buatan akal manusia juga cenderung hanya mengakomodasi kepentingan pihak tertentu bukan seluruh kepentingan rakyat Indonesia.
Menjadi realitas yang sangat lumrah jika RKUHP tidak mampu mengakomodasi kepentingan seluruh masyarakat. Karena terbatasnya akal manusia dalam melahirkan peraturan terbaik. Di sisi lain, peraturan yang lahir dari buah pemikiran manusia sarat akan pemenuhan hawa nafsu pembuat kebijakan. Tak ayal jika kebijakan yang dilahirkan justru memicu pertentangan di berbagai sendi kehidupan masyarakat.
Dengan lemahnya potensi akal manusia dalam membuat aturan kehidupan bernegara, harusnya manusia sadar bahwa tidak pantas aturan ini lahir dari pemikirannya. Dan harus berani memunculkan kesadaran untuk menyandarkan seluruh aktivitasnya pada Sang Pencipta kehidupan ini.
Namun nyatanya nafsu serakah atas duniawi telah mengubur hakikat penciptaan manusia sebagai makhluk Allah taala. Padahal sebagai Sang Pencipta, Allah telah memberikan peraturan yang fundamental untuk diterapkan. Yaitu dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Namun sayangnya, demi kepentingan kapitalisme, orang-orang saleh yang menyuarakan dan memiliki keinginan untuk diterapkannya aturan Allah taala yaitu syariat Islam kafah justru dicap radikal.
Pemerintahan Islam Tidak Anti Kritik
Kembalinya pemerintahan Islam adalah suatu kewajiban yang harus diwujudkan. Karena tanpa adanya mahkota kewajiban yaitu Khilafah, tidak akan mungkin syariat Islam dapat diterapkan secara kafah. Adapun penerapan Islam kafah oleh khalifah akan menjadikannya pemimpin yang memiliki integritas dalam menjalankan amanahnya sebagai pemimpin negara.
Tunduknya seorang pemimpin atas syariat Islam, akan menjadikannya berhati-hati atas setiap kebijakan yang dikeluarkan. Karena khalifah paham betul apa yang dilakukan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah taala. Di sisi lain, penerapan Islam secara kafah juga akan menghantarkan umat pada kesejahteraan. Karena hanya aturan Islamlah yang mampu mengakomodasi seluruh kepentingan makhluk ciptaan Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nuur ayat 63 : “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul, takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan Khalifah melakukan kesalahan dalam menjalankan kepemimpinannya. Dan Islam memberikan ruang bagi seluruh warga Khilafah untuk melakukan amar makruf kepada setiap kebijakan khalifah yang berpotensi melanggar hukum Allah. Baik secara langsung maupun melalui Majelis Umat. Adapun aktivitas muhasabah yang dilakukan kepada penguasa atas dorongan ketakwaan kepada Allah taala. Yaitu demi mendapatkan rida Allah taala bukan untuk menjatuhkan khalifah tersebut.
Sebagai contoh pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, ada seorang wanita yang mengkritik kebijakan Khalifah Umar dalam membatasi mahar pernikahan maksimal 400 dinar dengan berbagai pertimbangan. Wanita Quraisy menyampaikan bahwa sesuai syariat Islam tidak boleh adanya pembatasan mengenai nilai mahar yang diminta. Maka mendengar muhasabah dari wanita tersebut, Khalifah Umar mengubah kebijakannya sebagaimana apa yang dibenarkan dalam syariat Islam. Begitulah seharusnya sikap yang ditunjukkan seorang pemimpin jika melakukan kesalahan. Berani untuk diluruskan jika melakukan kesalahan.
Penerapan aturan Islam secara kafah, meniscayakan lahirnya iklim komunikasi yang produktif antara warga Khilafah dan khalifah selaku pemegang kekuasaan. Maka, dalam Khilafah seorang khalifah atau penguasa tidak memerlukan adanya pasal penghinaan untuk sekadar menyelamatkan kedudukan dan kepentingannya.
Wallahu’alam bishowab.[]
Photo : Pinterest
Benar banget, keterpurukan Indonesia di semua lini, akibat kebijakan penguasa yang tidak tepat. Bahkan ada saja kebijakan yang tak penting justru disegerakan. Tak sedikit juga peraturan yang mereka buat justru mereka langgar sendiri.