"Kekerasan seksual ataupun pencabulan yang semakin marak di pesantren tentu ada pemicunya. Hal itu terjadi akibat sistem kufur yang kini masih bercokol di negeri ini. Betapa sistem ini dengan mudahnya menghancurkan tatanan moral dan aturan agama yang menjadi penopang utama di sebuah institusi yang bernama pesantren. Begitu mudahnya pula para guru dan pembina pesantren terjerumus dalam tindakan asusila. Sistem kufur ini pula yang menyusup dalam proyek moderasi beragama."
Oleh. Atien
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Suasana di kota santri. Asyik senangkan hati. Suasana di kota santri…asyik senangkan hati
Penggalan lirik lagu kota santri di atas menggambarkan suasana menyenangkan di pesantren. Namun sayang seribu sayang, hal itu tidak bisa dirasakan oleh lima santriwati di Pondok Pesantren Shiddiqiyah Ploso, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Mereka justru mengalami perlakuan buruk yang menjadinya trauma seumur hidup. Kelima santriwati tersebut menjadi korban pencabulan dan kekerasan seksual oleh MSAT (42).
Lambannya Proses Hukum
MSAT adalah guru sekaligus putra pemimpin Pondok Pesantren Shiddiqiyah. Tindakan asusila yang dilakukan MSAT terjadi pada tahun 2017. Setelah itu, pada tahun 2020 MSAT dijadikan sebagai tersangka. Butuh waktu dua tahun untuk bisa menahan tersangka. Petugas dari Polda Jatim menahan tersangka setelah rilis kasus di Rutan Klas I Surabaya yang berada di Medaeng, Sidoarjo, Jawa Timur, Jum'at. (8/7/2022, Republika.co.id)
Penangkapan tersangka yang memakan waktu hingga dua tahun menuai protes dan kecaman dari Komnas Perempuan. Hal itu karena proses yang begitu panjang dan lama dalam menangkap tersangka. Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komisi Nasional Perempuan, Veryanto Sihotang, mengatakan bahwa proses hukum tidak berjalan lancar. Masih menurut Veryanto, polisi harus bertindak tegas kepada tersangka. Jangan sampai proses hukumnya lamban hanya karena tersangka merupakan anak pemilik pesantren. Hal itu disampaikan oleh Veryanto saat dikonfirmasi di Jakarta. (8/7/2022, Republika co.id)
Ladang Subur Kekerasan Seksual
Kasus kekerasan seksual yang terjadi di Pondok Pesantren Shiddiqiyah memang bukan kali pertama. Kasus yang sama juga pernah terjadi di Bandung, Jawa barat. Pemimpin salah satu yayasan pesantren berinisial HW (36) diduga melakukan tindakan asusila kepada para santriwati. Beberapa di antaranya bahkan sampai melahirkan. Dalam kasus tersebut terungkap bahwa 14 santriwati telah menjadi korban pencabulan HW dalam kurun waktu lima tahun, yaitu dari 2016 hingga 2021. (CNNIndonesia)
Kasus-kasus di atas menimbulkan kekhawatiran dan keprihatinan di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana tidak? Niatan orang tua untuk menitipkan anaknya di pesantren adalah untuk menuntut ilmu. Orang tua berharap agar anak memiliki pemahaman agama yang benar dengan menitipkan buah hatinya ke pesantren. Namun, yang mereka dapatkan justru sebaliknya, anak- anaknya menjadi korban pencabulan dan kekerasan seksual oleh guru maupun pemilik pesantren. Akhirnya banyak orang tua yang berpikir seribu kali untuk menitipkan anaknya ke pesantren karena takut akan terjadi peristiwa serupa.
Kekhawatiran berlebihan yang muncul dalam benak masyarakat kini menimbulkan krisis kepercayaan kepada pesantren. Masyarakat menganggap semua pesantren tidak layak dijadikan tempat untuk menimba ilmu. Mereka juga memberikan stigma buruk bahwa pesantren sudah tidak aman dan nyaman bagi anak-anak. Masyarakat terlanjur dijejali dengan dengan opini-opini menyesatkan tentang pesantren. Semua itu karena masifnya pemberitaan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren-pesantren melalui media massa maupun media sosial. Dunia pesantren yang notabene sebuah lembaga pendidikan berbasis agama kini telah ternoda. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Kekerasan seksual ataupun pencabulan yang semakin marak di pesantren tentu ada pemicunya. Hal itu terjadi akibat sistem kufur yang kini masih bercokol di negeri ini.
Betapa sistem ini dengan mudahnya menghancurkan tatanan moral dan aturan agama yang menjadi penopang utama di sebuah institusi yang bernama pesantren. Begitu mudahnya pula para guru dan pembina pesantren terjerumus dalam tindakan asusila. Sistem kufur ini pula yang menyusup dalam proyek moderasi beragama.
Agenda Moderasi Beragama
Guru maupun pemimpin pesantren seharusnya memberi teladan yang baik sesuai dengan aturan agama. Sebab tugas utama seorang guru adalah mendidik seluruh anak asuhnya sebagai sebuah amanah. Mereka juga harus bisa menjadi pelindung sekaligus orang tua kedua bagi para santrinya. Namun, lagi-lagi sistem kufur ini merusak semuanya. Agama hanya dijadikan ilmu pengetahuan saja. Agama juga sekadar kurikulum yang hanya cukup disampaikan, dihafalkan tanpa harus diterapkan. Amanah untuk menjaga dan melindungi para santri juga hanya sebatas janji.
Agama hanya sebuah akidah untuk dilaksanakan di ranah ibadah. Sedangkan untuk berperan di kehidupan umum dianggap menuai masalah. Akibatnya agama dijauhkan dari kehidupan. Hal itu juga berlaku di dunia pesantren yang telah disisipi agenda moderasi beragama. Moderasi beragama menjadi agenda besar untuk mengampanyekan Islam moderat yang bersifat kekinian. Islam moderat juga mengebiri aturan-aturan yang dianggap menghalangi kebebasan.
Maka, tidak heran jika pencabulan dan kekerasan seksual seringkali terjadi. Itulah buah moderasi beragama yang sudah mendominasi. Tidak peduli di mana pun tempatnya, moderasi beragama bisa memangsa siapa saja termasuk para guru maupun pemangku di institusi pendidikan yang berbasis agama.
Maka, tidak seharusnya masyarakat menyalahkan pesantren atas apa yang menimpa para santri. Sebab pesantren adalah lembaga yang memiliki standar pembelajaran yang berpacu kepada akidah Islam. Di pesantren tidak hanya berisi pembelajaran tentang pengetahuan umum. Sebagai institusi pendidikan berbasis agama, pesantren memberikan pendidikan tentang Islam berikut hukum- hukum yang ada di dalamnya.
Tujuan Pendidikan
Islam memiliki tujuan mulia dalam ranah pendidikan yaitu membekali akal dengan pemikiran dan ide-ide yang sehat dalam hal akidah ataupun hukum. (Sumber: Materi Dasar Islam)
Islam telah mengajarkan bahwa menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban bagi laki- laki maupun perempuan. Sebab dengan ilmu manusia akan memperoleh derajat yang mulia. Allah Swt berfirman yang artinya: "Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (TQS. Al Mujadalah [58]: 11)
Terkait dengan ilmu, Rasul saw juga menyampaikan dalam sabda yang artinya: "Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim." (HR. Ibnu Majah, Ibnu Adi, Al-Baihaqi dan art-Thabrani)
Dengan demikian, merupakan sebuah pilihan yang tepat saat orang tua memutuskan untuk memasukkan anak-anaknya ke pesantren agar terjaga akhlak dan tingkah lakunya dalam koridor agama yang benar, mengingat bahwa pendidikan agama di sekolah-sekolah umum sangat minim. Hanya saja, mencari pesantren yang tepat dan sesuai dengan standar Islam sangat susah di zaman sekarang. Sebab pesantren-pesantren yang ada masih terpapar sistem kufur Kapitalisme liberal dengan asas sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan.
Keadilan Sistem Islam
Oleh karena itu, butuh sistem Islam dengan aturannya yang sempurna agar pesantren berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam sistem Islam, pesantren akan menerapkan pendidikan Islam secara utuh. Aturan Islam bukan hanya sebatas pengetahuan, namun juga sebagai pemahaman yang akan diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan sistem Islam tak akan ada lagi kasus-kasus pencabulan maupun kekerasan di pesantren. Islam akan memberikan efek jera bagi siapa saja yang melanggar aturan. Proses hukumnya pun tidak akan memakan waktu lama dan berbelit-belit. Sebab Islam tidak pandang bulu dan tebang pilih dalam menghukum orang yang jelas-jelas melakukan pelanggaran.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan,
أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ، فَقَالُوا: مَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالُوا: وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ، حِبُّ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ؟» ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ، فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا»
“Sesungguhnya orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari bani Makhzumiyyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata, ‘Siapa yang bisa melobi rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka Usamah pun berkata (melobi) rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, ‘Apakah Engkau memberi syafa’at (pertolongan) berkaitan dengan hukum Allah?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan berkhutbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’” (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688)
Ketika menjelaskan hadis ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata, ”Inilah keadilan”. Inilah penegakkan hukum Allah, yaitu bukan atas dasar mengikuti hawa nafsu. Rasulullah bersumpah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri dan Fatimah tentu lebih mulia secara nasab dibandingkan dengan wanita bani Makhzum tersebut karena Fatimah adalah pemimpin para wanita di surga- maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan memotong tangannya.
(Sumber: muslim.or.id)
Situasi yang kondusif, aman dan nyaman juga akan menjadikan pesantren sebagai tempat yang ideal dalam menempa dan membentuk generasi pejuang Islam. Generasi yang akan menjadi garda terdepan dalam memperjuangan tegaknya kembali peradaban Islam.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab.[]