"Tapi lebih dari itu, isu nikah beda agama ternyata mengandung pesan tersirat mengenai pengokohan sekularisme dan penguatan moderasi beragama, yang keduanya sangat tidak relevan dengan nilai-nilai Islam."
Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh kaum muslimin hari ini adalah berusaha teguh dalam memegang syariat. Berbagai dalih dan alasan untuk meletakkan aturan menjadi lebih fleksibel begitu gencar disuarakan. Misalnya dalam urusan pernikahan. Menikah sering kali dilihat sebagai suatu masalah untuk menyatukan dua insan yang saling jatuh hati semata. Padahal, bagi umat Islam, urusan pernikahan sama sekali tidak bisa dipisahkan dari syariat-syariat terkait membangun rumah tangga. Hal ini disebabkan karena menikah bukan hanya urusan cinta di dunia saja, tapi menikah juga adalah urusan yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Meski demikian, kondisi pemahaman ideal yang seharusnya dimiliki umat tentang pernikahan baru-baru ini mendapat guncangan lagi. Pasalnya, Pengadilan Negeri di Surabaya mengabulkan permohonan pernikahan beda agama antara pasangan muslim dan kristiani. Alasan yang diungkap oleh humas PN Surabaya tersebut adalah untuk menghindari aktivitas kumpul kebo yang bisa saja terjadi jika dua orang yang mencintai tapi tak terikat pernikahan (Sindo, 20/6/22). Pengabulan permohonan ini juga dilakukan karena menurut pihak pengadilan, belum ada regulasi yang melarang pasangan yang berbeda agama atau keyakinan untuk menikah.
Fakta ini memang mencuat di Surabaya, namun realitas pernikahan beda agama pasti sudah banyak terjadi di daerah lain, hanya tidak terangkat ke media saja. Meski sudah menjadi sebuah fenomena yang marak –jika tidak dikatakan lazim-, satu hal yang pasti dari pengabulan oleh PN Surabaya ini adalah bahwa dengan adanya hukum yang memayungi, praktik nikah beda agama ke depannya tidak menutup kemungkinan akan semakin tumbuh subur.
Pro dan Kontra Nikah Beda Agama
Di mana ada regulasi baru, di situ ada pro dan kontra. Ini merupakan sebuah sunatullah. Apatah lagi jika regulasi tersebut dekat dengan hajat umat Islam, pasti suara-suara kritis akan selalu mengudara. Para dai banyak yang angkat suara kontra terkait kejadian ini, pun pihak-pihak lain tak sedikit yang malah menyuarakan sikap setuju. Misalnya Koran Tempo, sebagai media yang cukup masyhur di Indonesia, pandangannya tentu sangat bisa memengaruhi pembacanya. Dalam unggahannya di Instagram, @korantempodigital menunjukkan persetujuannya atas pernikahan beda agama. Koran Tempo berargumen bahwa perbedaan agama tak boleh menjadi halangan untuk melangsungkan pernikahan merupakan hal yang sejalan dengan konstitusi di Indonesia. Dikatakan juga bahwa pernikahan merupakan urusan perdata, bukan urusan yang seharusnya diatur oleh agama.
Berbeda dengan MUI dan jajaran ustaz lainnya yang menyuarakan ketidaksetujuan. Dilansir dari Sindonews (23/6/22), alasan yang menyebabkan PN mengabulkan permohonan tersebut masih bersifat prasangka, menurut MUI Jawa Timur, hal itu bisa terjadi dan bisa saja tidak terjadi. Namun satu hal yang pasti jika pernikahan beda agama itu berlangsung adalah bahwa itu melanggar ajaran agama, khususnya Islam. Dari kontroversi ini terlihat jelas, bahwa kalangan sekuler pasti amat riang mendapat kabar ini, tapi dari pihak Islam, hal ini bisa menjadi sebuah masalah baru yang semakin mereduksi ajaran agama.
Yang menjadikan kejadian ini menarik adalah karena adanya tarik-ulur antara satu regulasi dengan regulasi lainnya dalam memandang pernikahan beda agama. Menurut Inpres nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, pernikahan tidak bisa dilangsungkan bila pihak wanita tidak beragama Islam. Selain itu, menurut UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia, seorang konsultan hukum bidang keluarga, Hanna Marissa menyatakan bahwa pernikahan beda agama tidak dianggap sah secara hukum kecuali salah satu pihaknya mengikuti agama pihak yang lain (Kompas, 19/3/22). Tarik-ulur ini jika dilihat secara objektif sebetulnya menunjukkan betapa simpang siurnya sistem peraturan di Indonesia. Akal manusia yang relatif dan lemah memang akhirnya sangat berpotensi melahirkan produk pemikiran berupa tata aturan yang simpang siur dan kontradiktif satu sama lain.
Mengokohkan Sekularisme
Adanya pihak yang memosisikan pernikahan sebagai urusan yang menyangkut masalah perdata dan bukan agama sangat memberikan gambaran yang jelas betapa sekulernya negeri ini. Pertimbangan yang diambil bukan berdasarkan sudut pandang agama hanya akan semakin mempersempit ruang gerak agama dalam kehidupan, yang sejatinya memang hal itulah yang diinginkan oleh sekularisme. Meski demikian, ada paradoks lain saat menyoroti argumentasi kalangan sekuler. Mereka tidak sedikit yang mengatakan bahwa agama tidak usah dibawa-bawa dalam urusan publik, karena perkara agama hanya untuk urusan ibadah dan privat saja.
Dalih demikian memantapkan bahwa mereka sudah menjilat ludah sendiri, karena mereka jugalah yang memandang bahwa menikah di satu sisi adalah sebuah ibadah dan urusan privasi masing-masing orang. Inkonsistensi pola pikir yang seperti ini sangat umum terjadi di kalangan sekuler, karena mereka menjadikan standar yang nisbi sebagai patokan menjalani kehidupan. Lain lagi ketika mereka mengangkat dalih mengenai HAM untuk melegalkan berbagai kemaksiatan, termasuk nikah beda agama.
HAM serta prinsip freedom of act atau kebebasan bertingkah laku adalah argumen pamungkas jika mereka menemui “jalan buntu”. Padahal dengan menggunakan kedua dalih itu, semakin jelas juga bahwa apa yang mereka perjuangkan bukanlah sesuatu yang islami, sehingga mereka perlu mencari-cari landasan lain yang sekiranya dapat menggolkan rencana mereka. Baik HAM dan prinsip kebebasan bertingkah laku, keduanya sama-sama “anak” dari sekularisme yang lahir dari rahim peradaban Barat. Sehingga ketika prinsip tersebut ingin ditegakkan pada komunitas muslim, tak jarang ketidakcocokan yang justru muncul.
Sekularisme yang berusaha mereduksi peran agama dalam kehidupan juga sangat sejalan dengan agenda yang dicanangkan secara nasional –bahkan internasional-, yakni moderasi beragama. Dengan moderasi beragama, umat Islam diminta untuk toleran terhadap hal-hal yang bersifat prinsip, termasuk urusan akidah. Menikah beda agama pun tidak menjadi masalah bagi mereka yang mengusung agenda moderasi beragama ini, karena justru, ikatan pernikahan antara dua insan yang berbeda keyakinan seakan menjadi “kesuksesan” dari agenda tersebut.
Maka dari sini, sudah sangat gamblang betapa isu pernikahan beda agama ini bukan semata-mata masalah hak asasi, atau sekadar masalah menunaikan perasaan cinta dari dua manusia. Tapi lebih dari itu, isu nikah beda agama ternyata mengandung pesan tersirat mengenai pengokohan sekularisme dan penguatan moderasi beragama, yang keduanya sangat tidak relevan dengan nilai-nilai Islam.
Umat Islam Ambil Sikap
Pernikahan di dalam Islam bukan semata-mata untuk memenuhi rasa cinta semata dan melestarikan keturunan. Nikah memang manifestasi utama dari dorongan naluriah itu, tapi pemenuhan naluri pun tetap harus dibimbing oleh aturan-aturan terkait agar tidak hanya menghadirkan kebahagiaan di dunia tapi langgeng hingga di akhirat kelak. Jika seorang muslim hendak melangsungkan pernikahan, maka sudah selayaknya syariat seputar pernikahan sangat diperhatikan.
Memang terdapat beberapa pandangan mengenai hukum menikahnya seorang muslim dengan nonmuslim. Ada yang berpendapat keharaman menikah beda agama itu mutlak, tapi ada juga yang berpandangan bahwa keharaman itu hanya pada pasangan wanita muslim yang menikahi laki-laki nonmuslim, sementara laki-laki muslim yang menikahi nonmuslim yang menjaga diri –khususnya ahlulkitab- tidaklah haram. Meski untuk pendapat yang kedua, ada ketentuan lain yang mengikuti, seperti misalnya sang suami muslim tidak akan terpengaruh oleh agama istrinya, serta qawamah atau kepemimpinan suami bisa membawa sang istri dalam menjemput hidayah Islam kelak (tidak membiarkan dalam agamanya).
Di antara dalil yang membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahlulkitab adalah ayat kelima surat Al-Ma’idah:
وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ
“(Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya…”
Dalam Tafsir Al Muyassar dijelaskan bahwasanya terdapat kebolehan bagi laki-laki mukmin untuk menikahi wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan beriman atau Yahudi dan Nasrani jika memang mas kawin telah diberikan kepada mereka dengan niat bukan untuk berzina dan menjadikan mereka simpanan-simpanan.
Hanya saja, yang menjadi masalah dari hukum nikah beda agama dalam kultur sekuler hari ini adalah rambu-rambu tersebut tidaklah dianggap penting, karena mereka yang menikah beda agama pun banyak yang justru terjadi antara wanita muslim dengan laki-laki kafir. Ditambah lagi dengan dengan putusan pengadilan yang membolehkan ini, tentu akan menjadi sangat bahaya jika dijadikan landasan oleh mereka yang terlibat dalam hubungan beda agama.
Tapi lebih dari itu, isu nikah beda agama ternyata mengandung pesan tersirat mengenai pengokohan sekularisme dan penguatan moderasi beragama, yang keduanya sangat tidak relevan dengan nilai-nilai Islam. Pernikahan beda agama ini adalah isu yang tak boleh dibiarkan begitu saja terjadi di sekitar kita. Konsekuensi dari pasangan beda agama yang menikah bahkan dapat terkategori sebagai perzinaan di dalam Islam, yang di mana, jika terdapat keridaan terhadap perzinaan, sama saja dengan manusia menghalalkan Allah menimpakan azab kepada kita. Na’uzubillah. Begitu pun untuk umat Islam secara umum, jika bukan dengan agama, dengan apa kita hendak melangsungkan pernikahan? Dan jika bukan dengan agama, apa yang akan kita jadikan hujah dalam menjalankan kehidupan di dunia ini? Wallahu a’lam bisshawwab.[]
Suka mulai dari judul hingga arah analisanya. Mantap