"Sungguh tidak realistis menjadikan UMKM perempuan sebagai kunci pemulihan ekonomi. Jika terwujud pun, sebenarnya ini bertentangan dengan aturan Allah Swt. karena menjadikan perempuan sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi yang seharusnya menjadi kewajiban para lelaki."
Oleh. Tia Damayanti, M.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Kontributor NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Mungkin kalimat ini yang tepat untuk menggambarkan kondisi perekonomian rakyat saat ini. Setelah diterpa pandemi Covid -19 yang berkepanjangan, bidang ekonomi mendapat pukulan yang sangat telak. Efeknya terjadi PHK besar-besaran yang menyebabkan bangunan ekonomi keluarga goyah. Ditambah dengan meroketnya harga-harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng, telur, cabai, bawang, dan lain sebagainya. Nasib rakyat bak sudah jatuh tertimpa tangga. Sungguh memilukan.
Melihat kondisi yang demikian, Menteri Sosial Tri Rismaharini, mengusung program Pahlawan Ekonomi (PE) di Surabaya menjadi percontohan nasional. Selain itu, Kemensos juga ingin Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berkembang secara nasional. Program PE digagas untuk mengubah nasib warga yang kurang mampu. Melalui pemberdayaan UMKM ini, warga diajarkan dalam hal produksi, pengemasan, perizinan, hingga marketing. Sehingga banyak pelaku UMKM sukses memasarkan berbagai produk ke luar negeri dan merekrut banyak pekerja.
Kemensos mendorong 1.500 ibu keluarga penerima manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH) agar berani mengubah nasib dengan berwirausaha. Kegiatan tersebut diadakan untuk mendorong kemandirian finansial dan meningkatkan kesejahteraan KPM PKH. Mereka diharapkan segera lulus dari program PKH dalam waktu enam bulan ke depan.
UMKM memang mendapat tugas berat untuk memulihkan ekonomi bangsa yang terpuruk akibat pandemi Covid-19. Sebanyak 65 juta UMKM berkontribusi besar bagi perekonomian Indonesia. UMKM menyumbang 60% dari total ekonomi nasional dan 97% dalam penciptaan dan penyerapan kesempatan kerja. Dalam Rencana Kerja Pembangunan (RKP) 2022, salah satu strategi pembangunan yang ditetapkan pemerintah adalah meningkatkan peran UMKM terhadap ekonomi nasional.
Sebanyak 64% UMKM digerakkan perempuan, sehingga optimalisasi UMKM perempuan dianggap sebuah keniscayaan. Apalagi program Peningkatan Pemberdayaan Perempuan dalam Kewirausahaan merupakan satu arahan khusus presiden kepada Kemen PPPA.
Sehingga wajar jika UMKM perempuan menjadi harapan pemerintah untuk memulihkan ekonomi rakyat. Namun, mampukah perempuan mewujudkan harapan tersebut?
Perempuan dan Harapan Pemulihan Ekonomi
Perempuan diyakini sebagai pelaku penting di UMKM, bahkan pemain utama dalam keberlanjutan bisnis UMKM dalam negeri. Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKop UKM) merilis data mayoritas pelaku UMKM adalah perempuan, yakni 52% mengelola usaha mikro, 56% usaha kecil, dan 34% usaha menengah.
Harapan besar terhadap UMKM ini membuat berbagai pihak berupaya meningkatkan kapasitas dan kualitas UMKM. Sebanyak US$17,8 miliar telah digelontorkan pemerintah untuk kredit usaha rakyat (KUR) dan terserap di lebih dari 2,4 juta pelaku UMKM perempuan.
Selain itu, Indonesia juga meluncurkan US$1,1 miliar untuk Program Produktif Usaha Mikro, 63,5% di antaranya diterima pengusaha perempuan. Pemerintah juga berupaya memberikan kemudahan di bidang perizinan melalui online single submission (OSS). Dukungan yang besar juga diberikan dalam transformasi digital.
Di sisi lain, para pegiat gender—khususnya dalam Presidensi Indonesia G20 tahun ini—terus menarasikan peningkatan peran dan keterlibatan perempuan dalam aktivitas ekonomi, khususnya UMKM perempuan. Sebelumnya, dalam side event KTT G20 di Italia (Oktober 2021), presiden meminta G20 mendorong penguatan peran UMKM dan perempuan melalui berbagai langkah, yaitu meningkatkan inklusi keuangan UMKM dan perempuan, serta dukungan dalam transformasi digital.
Namun, faktanya, UMKM perempuan masih sangat membutuhkan dukungan dalam digitalisasi dan kerja sama teknologi. Kebutuhan ini sangat terasa karena jumlah UMKM yang terdigitalisasi sepanjang pandemi meningkat dua kali lipat.
Selain digitalisasi, UMKM perempuan di Indonesia masih terbelit banyak masalah. Berdasarkan data KemenKopUKM Oktober 2020, selama pandemi, kegiatan usaha mengalami penurunan omset hingga 70% akibat pembatasan sosial dan adaptasi kebiasaan baru. Sebanyak 87 perempuan pemilik bisnis mengalami kerugian, 90% di antaranya membutuhkan pendanaan yang sangat mendesak, dan 25% dari mereka kehilangan setengah dari pendapatannya. Bahkan, 2 dari 3 usaha yang dijalankan perempuan terpaksa tutup sementara, bahkan ada juga yang permanen.
Ditambah lagi, hampir setengah UMKM perempuan di Indonesia mengalami sulit dalam pembayaran tagihan dan utang. Akses kredit pun masih menemui hambatan, bahkan cukup minim, yakni di kisaran 20%. Prakarsa Policy Brief pada November 2020 menyebutkan 90% UMKM perempuan mengalami dampak negatif pandemi Covid-19 dengan perincian 90% mengalami penurunan omset, 67% terkendala pemasaran produk, 51% kesulitan mengakses modal, dan 35% kesulitan mendapatkan bahan baku.
Masalah lain yang menjadi kendala adalah kurangnya pemasaran. Selama ini, mereka lebih banyak ke pasar lokal dan hanya mengandalkan jaringan. Sedangkan sejumlah program bantuan dan penyelamatan usaha dinilai tidak tepat sasaran.
Melihat potret karut-marutnya UMKM perempuan tersebut, tampak sangat berat menjadikan UMKM perempuan sebagai kunci pemulihan ekonomi nasional. Tidak mudah bagi perempuan untuk mengejar kondisi ideal agar bisa berdaya dan bertahan. Kompleksitas pengembangan UMKM malah akan menjadi beban baru, apalagi jika fasilitas dan dukungan yang dibutuhkan tidak kunjung terwujud. Alih-alih ekonomi pulih, risiko ambruknya UMKM perempuan justru makin besar.
Di sisi lain, ketahanan keluarga dan keharmonisan rumah tangga pun terancam. Hak anak untuk mendapatkan pengasuhan seorang ibu dapat terabaikan.
Oleh karena itu, sungguh tidak realistis menjadikan UMKM perempuan sebagai kunci pemulihan ekonomi. Jika terwujud pun, sebenarnya ini bertentangan dengan aturan Allah Swt. karena menjadikan perempuan sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi yang seharusnya menjadi kewajiban para lelaki.
Islam Menjamin Kesejahteraan Perempuan
Allah Swt. telah menetapkan kewajiban perempuan adalah sebagai istri dan ibu, juga pendidik generasi. Upaya memaksa perempuan berperan sebagai pencari nafkah, selain merupakan bentuk eksploitasi perempuan, sebenarnya merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Allah Swt. yang meletakkan kewajiban menanggung nafkah hanya pada lelaki. Tentu pelanggaran aturan Allah ini akan menjauhkan keberkahan dan rida Allah Swt.
Tujuan kita di dunia semata-mata mengharap keberkahan dan rida Allah. Jadi, untuk apa sejahtera tanpa keberkahan Allah yang akan menjadi malapetaka besar bagi seorang muslim. Nilai inilah yang tidak akan pernah bisa dipahami oleh mereka yang hidup hanya untuk mengejar dunia, hanya mengandalkan akal semata, bahkan meminggirkan agama sebatas kehidupan privat.
Meski Islam menetapkan kewajiban mencari nafkah hanya pada lelaki, di sisi lain pun Islam menjamin kesejahteraan perempuan. Bahkan dalam Islam, menyejahterakan perempuan adalah kewajiban negara agar perempuan optimal menjalankan peran utama mereka, yaitu sebagai istri dan ibu, pengatur rumah tangga, dan pendidik generasi. Sehingga perempuan tidak harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan menjadi sejahtera. Setiap muslim memiliki tanggung jawab sebagaimana yang telah Allah tetapkan.
Allah Swt. telah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah: 233, “ … dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf….”
Rasulullah saw. bersabda, “Ketahuilah, setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka. Seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah suami dan anaknya dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang budak adalah pemimpin bagi harta tuannya dan ia bertanggung jawab atasnya. Maka, setiap dari kalian adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR Abu Dawud)
Islam memberikan ruang seluas-luasnya bagi perempuan untuk berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan sepanjang sesuai aturan Islam. Di sisi lain, Islam pun menetapkan bahwa hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah (boleh), sedangkan mengurus rumah tangga serta menjadi istri dan ibu adalah wajib. Suatu amal yang mubah tidak boleh mengalahkan amal yang wajib.
Jika karena suatu sebab syar’i perempuan tidak mendapatkan nafkah—misal suami meninggal atau sakit, perempuan hidup sebatang kara, ataupun sebab lainnya—, Islam memiliki berbagai mekanisme untuk menjamin nafkah perempuan dan anak-anaknya, mulai dari membebankan kepada walinya, hingga ditanggung oleh negara.
Walhasil, perempuan dapat optimal melaksanakan tugas kodratinya dalam kondisi sejahtera yang dijamin negara. Jaminan hakiki atas kesejahteraan rakyat, termasuk perempuan, hanya dapat terwujud ketika Islam diterapkan secara kaffah. Wallahua'lam bishshawaab.[]