“Islam masih membuka peluang wanita untuk beraktualisasi sesuai minat dan bakatnya: industri, ilmu pengetahuan, dakwah, filantropi, social service yang bersifat fardu kifayah bahkan aktivitas sosial politik (amar makruf nahi mungkar dan kontrol sosial). Namun, menjadi ibu adalah basic yang harus tuntas sebelum mengambil peran ganda dan menuntaskan peran tambahan di luar rumah.”
Oleh. Surani Ningsih
(Mompreneur dan Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-B20 Indonesia Women in Business Action Council (B20 WiBAC) menggelar forum bertajuk “Accelerating Inclusion of Women MSMEs in The Global Economy” di Jakarta, Jumat (17/6/2022). Pertemuan ini diharapkan dapat mengomunikasikan rekomendasi kebijakan dan aksi untuk memajukan pertumbuhan ekonomi global yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan melalui pemberdayaan perempuan. Termasuk di dalamnya, Ibu Sri Mulyani juga menekankan bagaimana pemberdayaan perempuan bagi ekonomi termasuk naiknya GDP sebuah negara. Data B20 WiBAC menyebutkan, kesetaraan partisipasi gender dalam perekonomian global dapat meningkatkan 28 triliun dolar AS dalam pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) global pada 2025 mendatang.
Ketika membaca berita ini, sebagai mompreneur dan juga seorang pendakwah, saya jadi tergelitik untuk mengangkatnya ke dalam sebuah kajian ringan dan renyah kepada ibu-ibu menurut kacamata Islam. Bagaimana sebenarnya kita sebagai seorang muslimah menakar produktivitas dan peran perempuan bagi peradaban?
Ketika kapitalisme menakar peran perempuan hanya dengan angka secara materiel tanpa menimbang secara holistik, Islam mendudukkannya jauh lebih tinggi dari itu. Posisi kita sebagai wanita begitu dimuliakan sebagai sentral yang sangat penting bagi keluarga yang bahkan memengaruhi ketangguhan sebuah masyarakat dan bangsa: ummun wa rabbatul bait (ibu dan manajer rumah tangga). Stabil dan sehatnya generasi hingga kokohnya daya tahan keluarga mutlak membutuhkan ibu sebagai titik sentral keluarga. Hal ini adalah peran perempuan yang tidak bisa diukur dengan materi namun punya efek masif bagi sebuah bangsa jangka panjang.
Proporsional Sesuai Syarak
Ya, dalam Islam, wanita mubah-mubah saja bekerja. Namun dengan catatan, ia tetap menjalan peran utama tadi. Islam masih membuka peluang wanita untuk beraktualisasi sesuai minat dan bakatnya: industri, ilmu pengetahuan, dakwah, filantropi, social service yang bersifat fardu kifayah bahkan aktivitas sosial politik (amar makruf nahi mungkar dan kontrol sosial). Namun, wanita-wanita yang maju ke domain publik ini adalah wanita yang memiliki support system di ranah domestik. Peran vital ibu tetap dijalani dengan sistem delegasi atau adanya dukungan jalur hadanah. Hingga detik ini saya meyakini bahwa support system ini adalah “privilege paling mahal” yang harus dimiliki seorang wanita sebelum mengambil peran publik, dalam bentuk apa pun itu. Menjadi ibu adalah basic yang harus tuntas sebelum mengambil peran ganda dan menuntaskan peran tambahan di luar rumah.
Sebut saja Khadijah yang meski fisiknya di rumah, ia memiliki bisnis multinasional menembus batas Arab-Syam kala itu. Privilege yang ia miliki sebagai salah satu top investor Quraisy saat itu bisa ia manfaatkan di bidang ekonomi. Namun, hal ini tidak meninggalkan fitrahnya sebagai ibu rumah tangga. Bahkan, pundi-pundi kekayaan yang ia kumpulkan kemudian menjadi modal perjuangan sang suami tercinta, Rasulullah saw. Atau sebut saja, Fathimah Al-Fihri, sang pendiri universitas pertama di dunia, ia memiliki privilege sebagai anak dari saudagar kaya yang mendermakan hartanya di dunia pengetahuan. Seorang muslimah taat ketika diberi keutamaan harta akan ia sumbangsihkan untuk peradaban Islam.
Namun, ada banyak wanita yang mungkin tak tersohor dalam sejarah di zamannya yang tidak memiliki privilege apa pun di bidang ekonomi, namun memiliki peran luar biasa: ibunda Imam Syafi’i yang dalam keterbatasannya bisa melahirkan ulama legendaris; ibunda Shalahuddin Al-Ayyubi yang bisa melahirkan generasi pembebas Al-Aqsa; ibunda Muhammad Al-Fatih yang dikabarkan keturunan Eropa dan ikut memotivasi anaknya untuk membebaskan Konstantinopel. Mungkin mereka tidak memiliki kontribusi besar bagi GDP global, namun mereka memiliki impaksi luar biasa bagi sejarah peradaban secara masif.
Lihatlah, sadarlah, peran kita begitu strategis, sahabat. Peran ummun wa rabbatul bait yang tak bisa diukur semata dari kacamata materiel ala kapitalisme. Peran yang bisa kita pandang begitu mulia dan mentereng hanya jika kita memakai paradigma Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “…perempuan adalah pemimpin atas rumah tangga suami dan anaknya, serta bertanggung jawab atas mereka…” (HR. Abu Dawud)
Yuk, kembali ke pos masing-masing. Di tangan kanan kita mengayun buah hati, di tangan kiri mari kita guncang kapitalisme dan menyebar benih-benih kebangkitan Islam. Silakan kembangkan diri di bidang apa pun itu, salurkan potensi kita dengan cara yang terbaik dan sesuai syariat, namun yakini tak ada peran yang lebih mulia dibandingkan menyandang predikat seorang ibu dan manajer rumah tangga. Wallahu a’lam bi ash-shawwab. []
Photo : Pinterest