Krisis Pangan Menghantui, Substitusi Jadi Solusi?

"Negara tak hanya gagal mewujudkan swasembada pangan, tetapi justru menjadi pecandu impor yang terus menggantungkan komoditas pangan dari negara lain."

Oleh. Sartinah
(Penulis Inti Narasipost.Com)

NarasiPost.Com- Ancaman krisis pangan global tengah menghantui dunia, tak terkecuali Indonesia. Alarm bahaya tersebut sudah dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Krisis tidak hanya disebabkan oleh ledakan penduduk yang tidak sebanding dengan jumlah pangan dunia, tetapi juga dipengaruhi oleh terganggunya pasokan pangan.

Pemicu terganggunya pasokan pangan dunia adalah perubahan iklim yang membuat banyak siklon dan hujan di atas kenormalan. Hal ini pun menyebabkan banyak tanah pertanian tergenang air yang pada akhirnya menurunkan produksi pangan dunia. Tak hanya itu, krisis pangan juga terjadi karena banyaknya negara yang masih menggantungkan kebutuhan pokok pangan dari negara lain, seperti beras, kedelai, gandum, sorgun, dan jagung.

Selain imbas dari krisis iklim, perang Rusia-Ukraina juga turut andil dalam memperparah krisis pangan dunia. Sebab, perang tersebut berimbas pada kenaikan harga pangan dan bahan bakar.

Bank Dunia dan IMF memprediksi, dari enam puluh negara yang akan mengalami krisis ekonomi, empat puluh di antaranya dipastikan bangkrut. Saat ini saja ada sekitar tiga belas juta penduduk dunia yang kelaparan karena masalah pangan dalam beberapa pekan terakhir. Kondisi krisis akan semakin parah karena 22 negara pengekspor pangan sudah mulai menyetop ekspornya untuk cadangan dalam negerinya sendiri. Jika banyak negara tidak lagi mengekspor bahan pangannya, lantas bagaimana solusi pemerintah untuk mengatasi kelangkaan pangan dalam negeri?

Solusi Nyeleneh Pejabat Negara

Indonesia yang masih sangat bergantung pada pasokan negara lain untuk berbagai komoditas pangan, tampaknya harus mencari jalan keluar. Solusi pun banyak dikemukakan oleh para pejabat negeri ini untuk mengatasi darurat pangan, di antaranya dari Anggota Komisi VII DPR, Firman Subagyo. Dia mengatakan agar semua pihak melakukan substitusi (penggantian) bahan pangan demi melepaskan diri dari ketergantungan bahan baku impor.

Legislator asal Pati, Jawa Tengah itu juga menyebut, penggunaan tepung singkong atau mokaf dapat menjadi pilihan sebagai pengganti ketergantungan gandum. Tak hanya itu, untuk menjaga ketahanan pangan, dirinya juga menyinggung penggunaan pupuk subsidi, seperti urea. Menurutnya, penggunaan pupuk kimia atau urea yang berlebihan menyebabkan lahan pertanian tidak produktif. Dia pun menyarankan untuk menggunakan pupuk organik produksi masyarakat agar pendanaannya tidak hanya bersumber dari APBN saja. (Liputan6.com, 22/07/2022)

Tak hanya kali ini, respons pejabat maupun mantan pejabat negara menanggapi problematika pangan dalam negeri acapkali membuat hati nyeri. Sebut saja saat harga bawang mahal, sang mantan menteri justru menganjurkan agar masyarakat tak mengonsumsi bawang. Juga saat harga beras melonjak, solusi yang diberikan adalah menawar. Pun saat harga cabai mahal, masyarakat justru diminta menanamnya sendiri.

Ucapan yang sejatinya bukan solusi tersebut, menunjukkan bahwa negeri ini tidak memiliki konsep yang jelas untuk menyelesaikan problematika pangan. Mungkinkah substitusi pangan menjadi solusi? Mengapa negeri ini tak mampu mewujudkan kemandirian pangan, padahal potensi SDA dan SDM pun berlimpah. Bagaimana pula solusi Islam dalam mewujudkan kemandirian pangan?

Gagalnya Negara Mewujudkan Ketahanan Pangan

Solusi tak biasa yang ditawarkan para pejabat dan mantan pejabat negeri ini sejatinya tidaklah menyentuh akar masalah. Misalnya saja terkait substitusi gandum. Gandum merupakan bahan dasar berbagai kebutuhan pangan dalam negeri, seperti mi instan dan roti. Namun, substitusi gandum tampaknya masih sulit dilakukan saat ini.

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, gandum sebagai bahan baku utama pembuatan mi instan dan roti, belum bisa digantikan oleh bahan pangan alternatif seperti tepung sagu dan tepung singkong. Menurutnya lagi, pengganti bahan untuk produk mi instan dan roti agak sulit dan belum banyak dilakukan. (Voi.id, 22/07/2022)

Berada di bawah bayang-bayang krisis pangan global, semestinya Indonesia membuat reorientasi atau kebijakan komoditas pangan demi terwujudnya swasembada. Pasalnya, cita-cita mewujudkan swasembada pangan pernah menjadi program prioritas Presiden Jokowi pada awal pemerintahannya. Kebijakan tersebut telah tertuang dalam Nawacita yang menjadi landasan program pemerintah, yakni mencapai swasembada dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Sayangnya, harapan tersebut jauh panggang dari api. Negara tak hanya gagal mewujudkan swasembada pangan, tetapi justru menjadi pecandu impor yang terus menggantungkan komoditas pangan dari negara lain. Padahal, siapa pun mengetahui bahwa Indonesia memiliki lahan yang luas, subur, juga ketersediaan sumber daya manusia yang ahli. Jika dimanfaatkan dengan pengelolaan yang benar, niscaya negeri ini mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya tanpa harus bergantung pada impor.

Sayangnya, dalam sistem kapitalisme, pemenuhan kebutuhan pokok rakyat bukanlah menjadi prioritas pemerintah. Setengah hatinya negara dalam mengurus rakyat, sering kali membuat kebutuhan rakyak terabaikan. Sebut saja kenaikan berbagai kebutuhan pokok yang terjadi bertubi-tubi dan gagal dikendalikan oleh negara. Rakyat pun akhirnya terseok-seok mengurus kebutuhan dasarnya sendiri, baik pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, hingga keamanan. Bahkan, solusi yang dikeluarkan pemerintah tidak menyentuh akar masalah sama sekali.

Terjerat Perjanjian Lembaga Asing

Ketergantungan Indonesia pada impor bahan pangan menunjukkan bahwa negeri ini masih jauh dari kemandirian pangan. Substitusi atau kebijakan apa pun sejatinya tidak akan mampu mewujudkan ketahanan pangan selama negeri ini masih terjerat kesepakatan dengan lembaga asing, semisal WTO. Pasalnya, ikatan perjanjian tersebut telah membuat negeri ini tidak memiliki kemandirian. Beberapa konsekuensi yang harus diterima karena keterlibatan dengan WTO, di antaranya:

Pertama, Indonesia telah meratifikasi (menandatangani) seluruh perjanjian yang ada dalam World Trade Organization (WTO) atau organisasi perdagangan dunia, yang di dalamnya mengharuskan penerapan liberalisasi perdagangan. Akibatnya, Indonesia harus mengaplikasikan Agreement on Agriculture yang di dalamnya berisi pengurangan subsidi ekspor, pengurangan subsidi dalam negeri, hingga membuka akses pasar.

Kedua, sebagai bentuk implementasi, negeri ini harus mengeluarkan kebijakan penghapusan bea masuk impor yang mengakibatkan membanjirnya berbagai produk impor termasuk bahan pangan ke dalam negeri. Seperti, beras, jagung, kedelai, gandum, dan sebagainya.

Tak hanya soal jerat perjanjian dengan WTO, Indonesia pun masih menganut paradigma batil neoliberal untuk mengelola pangan dan pertanian. Paradigma tersebut secara perlahan tetapi pasti telah meminimalisasi peran negara dalam mengurusi kebutuhan rakyatnya. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator yang hanya berkutat di seputaran regulasi. Hal ini justru kian membuka peluang bagi asing ataupun swasta untuk menguasai rantai pasok bahan pangan.

Inilah sejatinya pangkal dari berulangnya krisis pangan yang membelit negeri ini. Pengaturan ala kapitalisme yang hanya berorientasi pada profit dan bukan kemaslahatan rakyat, telah menghilangkan peluang bagi Indonesia untuk mewujudkan kemandirian pangan. Olehnya itu, negeri ini tak cukup sekadar mengubah kebijakannya, tetapi harus merekonstruksi sistem kehidupannya. Sedangkan, sebaik-baik sistem hanyalah Islam.

Mewujudkan Kemandirian Pangan dengan Sistem Islam

Islam memiliki konsep jelas dalam mengatur pengelolaan pangan, termasuk mewujudkan ketahanan pangan dalam negeri. Negara memang dituntut untuk mandiri agar tidak jatuh ke dalam cengkeraman negara lain. Konsep pengelolaan pangan dalam Islam adalah visi mewujudkan kemandirian dan jaminan pasokan pangan.

Terkait dengan visi tersebut, Islam memandang bahwa pangan merupakan komoditas penting yang menjadi hak setiap individu masyarakat. Sedangkan negara berkewajiban mengurus semua kebutuhan rakyatnya. Sebagaimana tertuang dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim, "Pemimpin masyarakat adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya."

Sejatinya, kebutuhan pokok pangan yang mampu dipenuhi oleh setiap individu akan menentukan ketahanan pangan sebuah negara. Karena itu, negara memiliki peran sentral untuk menjamin seluruh kebutuhan pangan, sekaligus menjamin ketersediaan dan keterjangkauan pangan untuk rakyat. Negara yang akan menjalankan peran tersebut adalah Khilafah. Dalam perjalanannya, Khilafah mampu memadukan berbagai kebijakan dari sistem ekonomi, politik, juga pertanian, dan telah berhasil mewujudkan kesejahteraan yang luar biasa kepada setiap warga negara.

Sementara itu, untuk mewujudkan ketahanan pangan, Khilafah menempuh beberapa cara berikut: Pertama, negara akan memberikan subsidi kepada para petani dalam jumlah besar, baik dalam bentuk modal, bibit, maupun alat-alat canggih pertanian. Dengan demikian, rakyat mampu mendapatkan untung besar meskipun dengan biaya rendah. Di samping itu, pangan merupakan masalah strategis yang harus diprioritaskan. Karena itu, negara tidak boleh memiliki ketergantungan pada negara lain. Ketergantungan pangan pada negara lain justru akan memudahkan mereka menjajah dan mendikte Khilafah.

Kedua, politik pertanian akan diterapkan oleh Khilafah dengan tujuan untuk meningkatkan produksi pertanian serta kebijakan pendistribusian yang adil dan merata. Karena itu, meskipun Khilafah menguasai tiga per empat dunia, setiap warga negara mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dengan sempurna.

Ketiga, selain perindustrian, perdagangan, dan jasa, pertanian merupakan sumber primer ekonomi. Dari sektor pertanian inilah, seluruh kebutuhan pangan dalam negeri terpenuhi.

Keempat, karena pangan merupakan salah satu pilar ekonomi negara, maka kebijakan dalam sektor pertanian harus dijaga dari dominasi dan dikte negara lain. Selain itu, dalam hal mengembangkan sektor pertanian, negara harus mempertimbangkan kelestarian lingkungan, bukan hanya memburu target produksi seperti yang dilakukan dalam sistem kapitalisme.

Khatimah

Krisis pangan menjadi sebuah keniscayaan dalam sistem kapitalisme. Solusi krisis pangan tak cukup dilakukan melalui subtitusi bahan pangan, apalagi jika semua kebijakan negara senantiasa mengikuti regulasi PBB. Karena itu, kedaulatan pangan hanya akan diraih jika negeri ini benar-benar melepaskan diri dari hegemoni sistem kapitalisme dan beralih kepada sistem sahih yang berdasarkan tuntunan wahyu, yakni Khilafah.

Wallahu a'lam bi ash shawab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Agama Mabda'i
Next
Anakmu, Bukan Robot
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram