"Peristiwa ini seakan menjadi kesempatan untuk semakin menyudutkan Islam. Apalagi mayoritas pelakunya adalah para tokoh agama atau dikenal baik dari sisi kereligiusannya, seperti guru ngaji atau ustaz. Ditambah media yang terus menjadikannya headline. Seolah ingin menyiratkan bahwa pesantren dan institusi semisalnya, tak lagi aman dari kekerasan seksual."
Oleh. Dwi Indah Lestari
( Kontributor NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Pesantren kembali disorot setelah kasus pencabulan di salah satu lembaga pendidikan Islam tersebut terkuak. Tanda tanya menyeruak. Bagaimana mungkin hal ini terjadi di lingkungan yang islami seperti itu?
Kasus kekerasan seksual yang terjadi di institusi pendidikan berbasis agama kembali mencuri perhatian publik. Peristiwa asusila terhadap lima orang santriwati yang diduga melibatkan putra pemilik pondok pesantren Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang, Jawa Timur, itu terjadi pada tahun 2017. Tersangka berinisial MSAT merupakan pengurus sekaligus guru di pesantren tersebut. (republika.co.id, 7/7/2022)
Pesantren dalam Cengkeraman Sekularisme
Tak bisa dimungkiri kasus semacam ini pastilah menyentak nalar publik. Bagaimana mungkin pesantren yang notabene kental nuansa religiusnya, bisa sampai terjadi kasus asusila? Bukankah setidaknya nilai-nilai Islam dijunjung tinggi dan diterapkan di dalamnya? Apalagi masalah pergaulan, pastilah benar-benar dijaga. Mirisnya, kasus serupa yang terjadi di lingkungan institusi agama atau dilakukan oleh tokoh agama saat ini terus bermunculan.
Di sisi lain, peristiwa ini seakan menjadi kesempatan untuk semakin menyudutkan Islam. Apalagi mayoritas pelakunya adalah para tokoh agama atau dikenal baik dari sisi kereligiusannya, seperti guru ngaji atau ustaz. Ditambah media yang terus menjadikannya headline. Seolah ingin menyiratkan bahwa pesantren dan institusi semisalnya, tak lagi aman dari kekerasan seksual.
Padahal, di tengah kondisi memprihatinkan yang tengah menimpa generasi, dengan kerusakan moral dan pergaulannya, pesantren merupakan alternatif terbaik untuk menyelamatkan anak-anak mereka. Maka tak heran, beberapa kurun terakhir, terlihat tren gandrungnya masyarakat yang memondokkan anak-anaknya. Tentu saja dengan adanya kasus pencabulan ini, citra pesantren menjadi tercoreng.
Namun, masyarakat perlu menyadari, bahwa kasus semacam ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Berita kekerasan seksual sudah menjadi bahan bacaan sehari-hari di berbagai media. Pelakunya pun beragam, dari warga biasa, pejabat, tokoh agama dari kalangan muslim maupun nonmuslim, dan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa problem kejahatan seksual bukan sebatas karena bobroknya moral individu pelaku, akan tetapi ada hal lain yang turut menjadi faktor pemicunya, yaitu lingkungan.
Bagaimana corak lingkungan masyarakat yang terbentuk, sangat dipengaruhi oleh sistem hidup yang berlaku saat ini, yaitu sistem demokrasi sekuler. Sistem ini telah menetapkan pemisahan agama dari aturan kehidupan. Alhasil, konsep pergaulan yang sebenarnya sempurna dibangun dalam Islam berhenti hanya di buku-buku, kitab-kitab pesantren dan kajian-kajian saja. Sementara praktik dalam kehidupan, interaksinya menggunakan prinsip kebebasan ala Barat. Pacaran bahkan zina sudah menjadi hal biasa.
Aturan hidup pun mudah berubah sesuai kepentingan. Bahkan menyediakan celah-celah yang memungkinkan para pelaku kejahatan membuat kompromi untuk mendapatkan keringanan sanksi bahkan bebas dari hukuman. Ditambah lagi ide kebebasan, buah dari sekularisme, masif dipromosikan melalui berbagai tayangan dan gaya hidup para publik figur, yang merusak benak serta mendorong bangkitnya fantasi-fantasi liar.
Maka jelas sudah, sekularisme menjadi bahaya laten yang melahirkan berbagai kerusakan. Salah satunya dengan bermunculannya para predator seksual dari berbagai kalangan, termasuk menjerat sosok-sosok yang dikenal agamis. Pesantren hanyalah satu dari berbagai elemen masyarakat lainnya yang terkena imbas dari virus sekularisme ini. Tak aneh, sebab kehidupan saat ini memang dalam cengkeraman sistem rusak tersebut.
Butuh Solusi Hakiki
Jelas sudah, kekerasan seksual tak akan henti merundung umat, bila sekularisme terus dibiarkan bercokol di negeri ini. Sistem fasad ini layak untuk dibuang sejauh-jauhnya. Lalu umat menggantinya dengan sistem yang bersumber dari Ilahi, yaitu Islam. Karena Islam sajalah yang mampu memberikan solusi hakiki bagi setiap persoalan umat.
Dalam pandangan Islam, keberadaan naluri seksual (ketertarikan terhadap lawan jenis) merupakan hal yang fitrah. Hanya saja pemenuhannya harus tetap terikat dengan aturan syarak, yaitu melalui pernikahan. Hal ini agar tujuan diciptakannya naluri tersebut, yaitu untuk melestarikan keturunan, dapat terpenuhi secara benar. Dengan begitu, hubungan antara laki-laki dan perempuan yang terjalin di luar pernikahan, haram hukumnya. Seperti pacaran, perzinaan, pemerkosaan dan lain-lain. Siapa pun yang melakukannya berarti melakukan kemaksiatan dan pantas diganjar dengan sanksi yang telah ditetapkan oleh syariat. Di antaranya adalah hukuman rajam bagi pelaku zina yang telah atau pernah menikah dan cambuk bagi yang belum menikah.
Hanya saja konsep pergaulan dan sistem sanksi dalam Islam ini baru bisa diberlakukan, bila ada institusi sesuai syariat, yang tegak untuk menerapkannya, yaitu Khilafah. Khilafahlah yang akan menerapkan sistem pergaulan Islam tersebut. Khilafah juga yang akan membangun suasana ruhiyah di tengah umat, dengan melakukan penanaman dan pengokohan akidah serta pemahaman Islam kepada umat. Dengan begitu, setiap individu terbiasa menjadikan Islam sebagai standar dalam berbuat.
Mereka akan menjalankan perbuatan yang diperintahkan oleh syarak dan menjauhi apa saja yang dilarang olehnya. Di sisi lain, umat pun akan terbiasa melakukan amar makruf nahi munkar, sebab ini merupakan bagian dari kewaiban yang dibebankan oleh Allah. Maka, mereka tidak akan membiarkan bila ada individu-individu yang berbuat maksiat karena hal itu akan menajdi bibit kerusakan di tengah masyarakat.
Khilafah juga akan melarang peredaran konten-konten porno dan ide-ide liberal yang dapat merusak benak umat dalam bentuk apa pun. Sebaliknya media akan dijadikan sebagai wasilah untuk menyebarkan pemikiran Islam yang semakin menguatkan pemahaman umat. Khilafah pun akan menyempurnakan penjagaan terhadap masyarakat dengan menerapkan sanksi tegas bagi para pelaku maksiat.
Inilah solusi hakiki bagi persoalan kekerasan seksual yang kini sangat kronis menimpa negeri ini. Hanya dengan Khilafah kehormatan dan jiwa setiap manusia akan mendapatkan penjagaan yang sesungguhnya. Sebab khilafah benar-benar hadir menjadi junnah bagi umat.
“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Wallahu’alam bisshowab.[]